Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas! (8)
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas!

#Part 8

Bergetar seluruh tubuhku mengetahui kabar dari Ani. Bagaimana kondisi Mas Wisnu sampai-sampai ia sendiri pun tak bisa memberikan kabar padaku? Ya Allah … semoga Mas Wisnu baik-baik saja. Kuperiksa sisa uang di dalam dompet, hanya tersisa satu juta rupiah lebih sedikit. Semoga besok aku mendapat kiriman dari Kak Dini.

Sampailah aku di rumah sakit umum milik pemerintah daerah, bertanya sana-sini sampai aku mendapatkan arah menuju kamar tempat perawatan Mas Wisnu. Jantungku masih terus berdebar tak karuan, aku takut tiba-tiba nanti Ibu melihatku lalu melarang aku bertemu suamiku sendiri.

Kususuri lorong-lorong panjang rumah sakit, lalu aku pun tiba di depan ruangan perawatan yang tadi disebutkan oleh resepsionist rumah sakit. Bersyukur jam besuk malam baru saja dibuka. Hampir saja aku mendorong pintu ruangan itu, tetapi tiba-tiba sebuah tepukan di bahu membuatku hampir menjerit. Aku pun menoleh.

“Ngapain kamu ke sini?” Plak! Satu tamparan keras mendarat di pipi kiriku. Perih, panas.

“Mbak Fitri? Mbak kenapa pukul aku? Emang aku salah apa?” geramku sambil berusaha menantang tatapan matanya yang sombong itu. Aku masih berusaha menahan suaraku agar tak terlalu keras, aku tahu ini kawasan rumah sakit yang pengunjungnya dilarang membuat keributan.

“Apa kamu bilang? Apa salah kamu? Salah kamu banyak! Pake pura-pura bego lagi!” ujarnya sambil melotot.

“Astagahfirullah … Mbak itu bicara apa? aku gak merasa buat salah ke kamu, Mbak! Mbak tolong jangan bikin keributan! Ini rumah sakit!”

“Emang bukan ke aku, tapi ke anakku, Bima! Masih gak merasa bersalah kamu, hah?” jawabnya tak peduli, meskipun suaranya tak sekeras tadi, tapi kalimatnya cukup membuat hatiku sakit.

“Bima?”

“Kamu ini, ya, mukanya asli bikin kesel, pengen aku jambak-jambak rambutmu itu, Arin!”

“Mbak jelasin dulu, emang aku ngapain si Bima sampe Mbak marah-marah? Aku ke sini mau jengukin suami aku!”

“Heh, perempuan gak jelas! Jelas-jelas kamu kabur dari rumah ibu aku setelah menghajar anak aku, bisa-bisanya sekarang kamu seenaknya bilang mau jengukin si Wisnu! Kamu itu bentar lagi bakalan dicerai sama dia, tau? Perempuan kasar seperti kamu itu gak pantas jadi menantu di keluarga kami, paham?”

“Astaghfirullah … fitnah, Mbak! Aku gak pernah apa-apain Bima! Mbak harusnya tanya sendiri sama Bima, apa benar aku pernah mukulin dia? Ini pasti Ibu yang ngarang cerita!” desisku tak terima.

“Heh, pake nyalahin ibu aku lagi, kamu! Kamu itu udah lempar batu sembunyi tangan! Kalau kamu gak salah ngapain kamu kabur dari rumah, hah?” tanyanya sambil mendongak.

“Karena aku diusir sama Ibu! Bukan karena aku jahat ke Bima! Kejam sekali fitnah yang ibu lakukan ke aku, Mbak. Aku memang selama ini sudah cukup diam, tapi aku juga punya harga diri!”

“Halaah … ngomongin harga diri segala kamu!”

“Aku gak mau berdebat lagi, Mbak. Aku mau ketemu suami aku!”

“Awas kamu kalau berani masuk!” ancam Mbak Fitri. Namun tiba-tiba pintu kamar terbuka. Keluarlah seorang wanita cantik dari ruangan perawatan Mas Wisnu. Siapa dia?

“Eh, ada Mbak Fitri. Aku mau pamit, Mbak!” ucap wanita itu, sambil bergantian memandangi aku dan Mbak Fitri.

“Siapa kamu?” tanyaku sambil menahan emosi yang memburu.

“A-aku? Aku Ratih, sahabatnya Mas Wisnu. Kamu Arin, ya?” tanyanya pula, tatapan matanya menyapu tubuhku dari ujung rambut sampai ujung kaki.

“Ngapain kamu tanya-tanya? Kamu itu cuma istri yang gak becus! Suami kecelakaan kerja malah kamu minggat dari rumah! Ratih ini teman Wisnu dari jaman kuliah, dia anaknya bos di tempat Wisnu kerja!” ujar Mbak Fitri lagi. Aku hanya bisa mengucap istighfar lagi dalam hati.

“Mbak, aku pamit aja, ya! Salam sama Ibu. Aku males entar ribut-ribut sama istri orang, bisa-bisa dia mikir aku ini pelakor!” ucapnya tanpa ragu.

Melihat mereka berdua masih sibuk bicara, aku langsung cepat-cepat masuk ke dalam ruangan. Tak kuhiraukan suara Mbak Fitri yang melarang.

“Mas ….” Kuhampiri ranjang tempat Mas Wisnu berbaring. Kedua kakinya dibalut perban tebal.

“Arin?” ujarnya sambil menoleh.

“Ya Allah, Mas. Kenapa bisa begini?” Tangisku langsung pecah.

“Ya ini gara-gara kamu! Perempuan bawa sial!” ujar Mbak Fitri yang sudah berdiri di belakangku. Namun aku memilih tetap diam tak membalas lagi ucapannya.

“Kamu ke mana, Rin? Kenapa baru datang?” tanya Mas Wisnu lemah, air mataku semkain membanjir deras.

“Mas, maafin aku. Aku memang pergi dari rumah, aku ingin cerita, tapi Mas tolong percaya sama aku!”

“Wisnu, udah, gak usah didengar lagi. Suruh saja dia pergi sekarang! Si Ratih besok akan bantu kamu untuk pindah ruang perawatan ke VVIP! Biar kamu cepet sembuh, dia yang akan urus semuanya! Untuk apa lagi kamu harapkan perempuan ini? Sudahlah jahat, miskin, selingkuh pula dengan suami Mbak Lilis!”

“Apa, Mbak? Selingkuh? Yaa Allah … fitnah apa lagi ini, Mbak?”

“Sudahlah, Rin! Gak usah pura-pura kamu! Fotomu dengan suami si Lilis itu sudah tersebar di kampung, nih, mau lihat buktinya?” Mbak Fitri menunjukkan sebuah foto dari ponselnya.

Ya, itu adalah saat aku baru saja keluar dari rumah ibu. Di situ aku terlihat seolah sedang berpegangan tangan dengan suami Mbak Lilis. Padahal aku tahu betul, itu adalah saat aku mengulurkan tangan untuk mengembalikan ponsel, dan Mas Adi menerima ponsel miliknya sendiri. Mengapa momen yang ditangkap begitu pas, seolah aku dan Mas Adi sedang berselingkuh. Siapa pula pelakunya yang sempat membuntutiku waktu itu? Ya Allah … ujianku kali ini sangat berat.

“Masih gak mau ngaku kamu? Kalau aja Ibu gak melarang, udah aku laporin kamu ke polisi gara-gara mukulin anakku! Aku aja ibu yang melahirkan dia gak pernah sekalipun mukulin Bima, kamu malah seenaknya sendiri!”

“Apa benar itu semua, Rin?” tanya Mas Wisnu.

“Demi Allah, aku gak melakukan itu, Mas! demi Allah!” jawabku tegas.

“Jadi kamu tahu Wisnu di sini dari siapa kalau bukan dari si Adi itu?” tanya mbak Fitri sinis.

“Dari Ani! Tolong Mbak jangan memperkeruh suasana!” bentakku kesal.

“Lihat, Nu, istrimu ini memang aslinya kasar! Kamu gak usah lagi percaya sama dia! Dia itu mau sama kamu cuma karena kamu punya kerjaan bagus, gajimu banyak. Buktinya waktu kamu berikan gajimu ke Ibu, dia marah!”

“Mbak terlalu ikut campur urusan rumah tangga kami!” ujarku kesal. Iparku ini terlalu banyak omong. Pantas saja suaminya jengah dan memilih menceraikannya. Aku tahu ceritanya. Dia yang hobinya selingkuh, makanya ia pun berpikir bahwa orang lain juga selingkuh.

“Arin, Mas cuma mau tenang. Kamu lihat, kan? Kaki Mas keduanya cidera parah. Mungkin kalaupun aku sembuh, perusahaan sudah gak akan mau terima aku lagi sebagai karyawannya. Memang lebih baik kamu tinggalkan saja aku.”

“Mas, kamu jangan ngomong begitu! Mas ingat calon anak kita. Berjuang buat sembuh, Mas! kalaupun Mas gak bekerja lagi di perusahaan itu, kita akan buka usaha sama-sama, Mas. Aku akan merawatmu!” Aku membelai pipi suamiku itu dengan penuh rasa sayang. Meski lelaki ini bukan tipe laki-laki romantis yang peka pada perasaan istrinya, tapi aku tahu dia mencintaiku dengn tulus.

“Mana cincin kimpoi di jarimu, Arin?” tanya Mas Wisnu tiba-tiba.

“Nah, nah, kan? Apa Mbak bilang? Baru pergi dua hari dari rumah, cincin kimpoi sudah melayang!” Lagi-lagi Mbak Fitri jadi kompor untuk memperparah keadaan.

“Jawab, Arin!”

“Sudah aku gadaikan, Mas. Ceritanya panjang, tapi aku bisa jelasin! Semua yang dituduhkan padaku itu bohong, Mas! aku gak sejahat itu! Aku diusir sama Ibu, Mas!”

“Ibu ngusir kamu? Gak mungkin ibu setega itu, Arin! Sudahlah, terserah kamu saja. Aku mau istirahat, silahkan kamu keluar dari sini! Luka di hatiku lebih sakit dari luka di tubuhku ini, Rin.”

“Mas … kamu percaya sama aku, Mas ….” Setengah berteriak aku memohon agar suamiku mengerti dan percaya padaku, namun Mas Wisnu malah memalingkan wajahnya.

“Udah, pergi sana! Kamu bisa bebas mau ngapain. Kalau di rumah Ibu, kan, kamu gak bebas!” Mbak Fitri menarik tubuh lemahku untuk menjauh dari ranjang Mas Wisnu.

“Mas! aku gak bohong sama kamu, Mas! Mas!” Aku tak kuasa mencegah saat diri ini diseret keluar. Mas Wisnu tetap diam, tak ada sedikitpun pembelaannya untukku. Apa karena dia sudah terlanjur percaya pada fitnah yang dibuat ibu mertuaku? Atau karena sekarang ada Ratih yang lebih mampu memberikan apa yang dia butuhkan dibandingkan aku yang hanya wanita lemah tak berdaya ini?

Dalam hatiku tiba-tiba saja muncul perasaan muak yang membuncah. Baik, aku sudah bicara jujur mwski kini aku kalah. Namun suatu saat nanti semuanya pasti terbuka. Sampai kapan fitnah itu akan menyelamatkan hidup kalian?

❤❤❤❤❤

Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata, semoga pembaca bisa mengambil hikmah dari cerita ini. Semoga wanita-wanita lain yang punya nasib serupa dengn tokoh Arin, selalu diberikan kekuatan dan kesabaran. Jalan hidup setiap manusia berbeda-beda, dan ujian hidup kita juga berbeda. Kuatlah, kalian bukan wanita bodoh apalagi lemah, karena setiap keputusan yang kalian ambil pasti dengan penuh pertimbangan.

37 part di joy.
bukhorigan
MFriza85
MFriza85 dan bukhorigan memberi reputasi
2
884
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.