Konkret, Dedi Mulyadi Temui Korban Rudapaksa Herry Wirawan di Garut Selatan, Jadi Orangtua Angkat
Minggu, 12 Desember 2021 08:42
Penulis:
Ichsan| Editor:
Ichsan
TRIBUNJABAR.ID - Anggota DPR RI
Dedi Mulyadi menemui secara langsung para korban
rudapaksa Herry Wirawan di
Garut Selatan, Sabtu (11/12/2021) malam.
Kediaman para korban
rudapaksa guru satu pesantren ini jauh di pelosok, dari satu kota di
Garut Selatan pun harus menempuh perjalanan selama tujuh jam.
"Saya baru menengok mereka tadi malam. Perjalanannya sangat jauh. Dari kota di Garut selatan saja menuju kampung mereka memakan waktu tujuh jam. Dan hanya bisa diakes oleh sepeda motor karena jalannya tidak begitu bagus," kata
Dedi Mulyadi melalui ponselnya, Minggu (12/12/2021).
Menurut
Dedi Mulyadi, para korban ketika ditengok sudah dalam keadaan baik-baik. Perlahan-lahan mereka bisa menjalani kehidupan normal. Meski ada beberapa di antara mereka masih sedikit trauma.
"Tapi rata-rata mereka (para korban) sudah mulai membaik. Mereka ingin kembali lagi ke sekolah," kata Dedi Mulyadi yang sudah lama dikenal sebagai sosok yang peduli rakyat kecil ini.
Untuk memenuhi keinginan para korban agar bisa tetap bersekolah,
Dedi Mulyadi menyatakan kesiapannya menjadi
orangtua angkat, termasuk membiaya semua kebutuhan sekolah mereka.
"Bahkan ada beberapa santriwati yang ingin ikut ke Purwakarta untuk sekolah dan masantren (pesantren). Akhirnya saya ajak mereka ke sana karena saya juga punya pesantren. Para orangtuanya sudah mengizinkan," kata
Dedi Mulyadi.
Dedi mengatakan, para korban
rudapaksa guru pesantren di Bandung itu sebagian besar berasal dari Garut selatan. Sisanya dari daerah lain.
"Sebenarnya korbannya bisa lebih dari belasan orang. Namun ada beberapa orangtua yang masih tidak percaya," kata Dedi.
Menurut
Dedi Mulyadi, para korban mayoritas dari Garut selatan karena memang pelakunya
Herry Wirawan ini berasal dari Garut selatan.
Herry Wirawan sengaja mencari korban dari kampung pedalaman di Garut selatan karena dianggap lugu. Menurut Dedi Mulyadi informasi itu didapat langsung dari pengakuan para korban ketika berbincang dengannya.
Fakta Kasus Herry Wirawan
Kasus
Herry Wirawan guru pesantren di beberapa pondok yang merudapaksa santriwati masih jadi perbincangan masyarakat. Herry Wirawan diketahui mencabuli 21 santriwatinya hingga mereka melahirkan 8 bayi. Aksi bejat guru tersebut dilakukan sejak 2016 di beberapa lokasi seperti di hotel serta Pondok Pesantren Manarul Huda Antapani dan di Madani Boarding School di Cibiru.
Kasus ini ditangani Polda Jabar dan sudah bergulir di Pengadilan Negeri Bandung sejak November 2021. Namun, publik baru tahu kasus ini sejak 7 Desember setelah viral di media sosial.
TribunJabar.id merangkum beberapa fakta baru mengenai perilaku biadab Herry Wirawan. Ini dia faktanya:
1. Alasan tak minta korbannya untuk aborsi: Duit!
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel mengatakan, tentang kasus Herry Wirawan, harus dilihat lebih detail hubungan antara pelaku dan korban.
"Masalah ini sebaiknya tak dilihat dari sisi pelaku-korban saja. Dalam kasus oknum guru bejat Herry Wirawan, misalnya, ada dua pertanyaan yang belum terjawab.
Pertama, mengapa dia tidak meminta para santri mengaborsi janin mereka," kata Reza Indragiri Amriel saat dihubungi pada Sabtu (12/12/2021).
Selama ini dalam banyak kasus pencabulan baik anak maupun dewasa, pelaku kerap meminta korban untuk aborsi. Sebut saja kasus Bripda Randy.
"Padahal, lazimnya, kriminal berusaha menghilangkan barang bukti. Kedua, apakah selama bertahun-tahun para santri tidak mengadu kepada orang tua mereka," kata Reza.
Salah satu fakta persidangan menyebutkan, anak-anak yang dilahirkan oleh santriwati di bawah umur ini diakui sebagai anak yatim piatu. Itu dijadikan
Herry Wirawan, dijadikan alasan untuk mencari duit kepala sejumlah pihak.
2. Korban Dipekerjakan sebagai kuli bangunan
Diah Kurniasari, Ketua P2TP2A Kabupaten Garut mengatakan, para korban dipaksa dan dipekerjakan sebagai kuli bangunan saat membangun gedung pesantren di daerah Cibiru.
Saat ini, Diah mengatakan mendampingi dan memberikan perlindungan pada 29 orang dimana 12 orang diantarnaya di bawah umur.
"Dari 12 orang santriwati di bawah umur, 7 diantaranya melahirkan anak pelaku," kata dia.
Diah juga menyebut Program Indonesia Pintar (PIP) untuk para korban juga diambil pelaku. Salah satu saksi memberikan keterangan bahwa ponpes mendapatkan dana BOS yang penggunananya tidak jelas.
3. Tempat khusus bagi korban yang hamil
Herry Wirawan juga memperlakukan korban-korbannya tak manusiawi. Korban yang kebanyakan masih di bawah umur harus melakukan hal-hal baru yang seharusnya tak dialami oleh anak seusianya. Ternyata korban yang hamil di minta tinggal di suatu tempat khusus sampai kondisinya pulih kembali.
Menurut Diah, selain tempat mereka belajar di Cibiru yang juga jadi tempat mereka tinggal, pelaku juga menyediakan satu rumah khusus yang biasa disebut basecamp. Tempat ini jadi tempat bagi anak-anak yang baru melahirkan hingga pulih dan bisa kembali kumpul.
“Jadi di lingkungannya, saat ditanya bayi-bayinya anak siapa mereka bilang anak yatim piatu yang dititipkan,” katanya.
Menurut Diah, dirinya mendampingi langsung kasus ini dan bicara langsung dengan para korban hingga detail bagaimana kehidupan mereka sehari-hari di tempat tersebut. Makanya, Diah merasakan betul kegetiran yang dialami anak-anak.
"Merinding saya kalau ingat cerita-cerita mereka selama di sana diperlakukan oleh pelaku,” katanya.
4. Doktrin dan bisikan agar korban menurut
Dalam berkas dakwaan, Herry Wirawan kerap melakukan perbuatannya di kamar rumah tersebut. Herry memang memiliki kamar tidur di lantai bawah.
Saat melancarkan aksinya,
Herry Wirawan selalu melakukan dengan bujuk rayu dan berpura-pura memanggil santriwatinya ke kamar. Herry meminta dipjat atau sekadar berbincang.
Meski korbannya sudah menangis ketakutan, Herry tetap merudapaksa korbannya.
Herry Wirawan, yang mengaku sebagai guru ngaji itu, selalu membisikkan sesuatu bila korbannya menolak.
"Kalau menurut keterangan dari anak-anak. Mereka itu awalnya menolak, tapi setelah si pelaku itu memberikan bisikan di telinga, korban jadi mau."
"Ada bisikan ke telinga korban dari pelaku setiap mau melakukan itu," ujar Yudi Kurnia saat di wawancarai Tribunjabar.id. Setelah dibisikkan, korban lalu mau melayani Herry. Tak sampai di situ saja, bila korban tetap menolak, Herry selalu melontarkan ucapan manis.
"Jangan takut, enggak ada seorang ayah yang akan menghancurkan masa depan anaknya," rayu Herry seperti yang tercantum dalam dakwaan.
Karena perbuatan bejatnya itu, empat korbannya hamil dan melahirkan. Ada sembilan bayi yang dilahirkan akibat pemerkosaan yang dilakukan Herry Wirawan.
Dia meyakinkan korban yang hamil akibat napsu bejatnya dengan berjanji akan merawat anak-anak hasil perudapaksaan.
"Biarkan dia lahir ke dunia, Bapak bakal biayai sampai kuliah, sampai dia sudah mengerti, kita berjuang bersama-sama," katanya.
Kepada para korbannya, Herry Wirawan menanamkan doktrin bahwa guru harus selalu ditaati. "Guru itu Salwa Zahra Atsilah, harus taat kepada guru," kata Herry seperti dikutip dari berkas dakwaan
5. Pelaku sempat berusaha sogok keluarga korban agar damai
Herry Wirawan, pelaku bejat pelaku
rudapaksa belasan santriwati ternyata pernah hendak menyogok keluarga korban. Hal tersebut diungkapkan oleh salah satu orangtua korban, YY (44).
Ia mengatakan, saat pertama kali kelakuan guru bejat tersebut diketahui orangtua murid, pelaku sempat terus menerus menelponnya. Pelaku berniat damai dengan cara ingin membayar orangtua korban dengan sejumlah uang.
"Si Herry itu nelpon terus sama saya, dia bilang ada uang buat saya, saya tolak, saya terus tolak," ujarnya saat diwawancarai Tribunjabar.id, Sabtu (11/12/2021).
Ia menjelaskan, meski dirinya sudah menolak, pelaku masih saja terus-terusan menghubunginya untuk meminta damai.
"Dia selalu nanya posisi saya di mana, saya selalu jawab posisi saya pindah-pindah, geram, untung tidak saya habisi," ucapnya. YY kemudian menolak keinginan pelaku lalu menghubungi saudaranya yang tergabung di lembaga bantuan hukum di Garut.
Dirinya dan korban lain kemudian secara resmi melaporkan pelaku ke Polda Jabar pada tanggal 18 Mei 2021 dengan nomor laporan LBP/480/V/2021/Jawa Barat.
Kelakuan bejat pelaku diketahui sejak korban pulang ke rumah saat liburan hari raya Idul Fitri.
Selama enam bulan berlalu ternyata kasus tersebut tidak mencuat ke publik lantaran demi menjaga mental korban dan keluarga.
Hal lain dikatakan oleh AN (34), AN yang merupakan saudara kandung dari awal menginginkan kasus tersebut mencuat ke publik karena perlu dikawal. Ia merasa takut jika kasus tersebut tidak diketahui publik, akan meringankan hukuman bagi pelaku.
"Kita gatau, ya, kasus hukum di negeri kita ini seperti apa, saya dari dulu dari awal kasus ini minta bantuan sana sini supaya kasus ini diketahui publik," ujarnya. Dari awal AN menginginkan yang harus diekpose oleh publik itu adalah kelakuan biadab
Herry Wirawan agar jika suatu saat dia bebas, masyarakat akan tahu siapa dirinya. "Kalo si Herry ini tidak diketahui publik, saat dia bebas nanti saya takutkan akan ada korban lagi, tapi saya berharap dia dihukum mati," ungkapnya penuh amarah.
6. Desakan hukuman kebiri
Desakan pemberian hukuman maksimal bagi pelaku
rudapaksa 12 santriwati di pesantren di Bandung muncul dari berbagai pihak. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pun mendesak agar Herry Wirawan dihukum maksimal.
“Kami berharap majelis hakim memutuskan agar terdakwa dipidana hukuman maksimal dan dijatuhkan restitusi untuk para korban,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi, kepada Kompas.com, Jumat (10/12/2021).
Siti juga meminta agar pemerintah daerah memfasilitasi proses pemulihan korban dan mendorong Kementerian Agama membuat mekanisme pengawasan dan evaluasi terhadap seluruh pesantren.
Selain Komnas Perempuan, hal senada juga disampaikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA). Deputi Perlindungan Khusus Anak Kementerian PPPA Nahar mengatakan, Herry Wirawan dapat diancam tambahan hukuman kebiri seperti tertuang dalam Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.
Desakan terkait hukuman kebiri juga disampaikan Ketua Komisi VIII DPR Yandri Susanto. Ia mengecam perilaku tersebut dan menyayangkannya, lantaran pelaku justru seorang yang paham agama. "Sebagai tindakan untuk efek jera itu perlu dikebiri, karena ini kan kejahatan yang sangat sadar dia lakukan dan karena berulang-ulang, banyak korbannya, dilakukan di beberapa tempat jadi ini sangat sadis ini," kata Yandri, Kamis (9/12/2021).
Update kasus mesum Herry Wirawan.
Banyak orang, termasuk kaskuser, yang mengutuk Herry, pengen bunuh atau nyiksa atau lain-lain, tapi sebenarnya itu reaksi yang murah. Ngomong gampang. Di artikel, beberapa tokoh juga kelihatan hanya komentar dan mengecam, misalnya dari Komnas Perempuan dan anggota FPAN DPR Yandri Susanto, atau malah yang mempermasalahkan sebutan pesantren seperti Wagub Jabar Uu Ruzhanul Ulum.
Yang mahal itu perbuatan, bantuan sungguhan yang bisa beneran berguna bagi para korban. Misalnya dari artikel ini, bantuan anggota FGolkar DPR Dedi Mulyadi yang mau menampung para korban di pesantrennya di Purwakarta. Juga Diah Kurniasari (istri Bupati Garut) yang mendampingi para korban.
Selain itu ada komentar menarik dari salah satu keluarga korban, AN. Justru kasus ini lebih baik kalau diangkat ke mata publik. Supaya Herry Wirawan tidak lolos atau dihukum ringan, selain itu publik akan ingat kelakuan dia. Apalagi Herry juga disebutkan pernah mau coba nyogok keluarga korban. Bisa saja dia atau pihak yang berkepentingan dengan dia coba nyogok pihak lain (polisi, hakim, dll). Ingat, penegak hukum Indonesia kalau tidak diawasi bisa permisif terhadap sogokan. Jangan lupa di kasus lain Saiful Jamil pernah menyogok hakim kasus pencabulan anak di bawah umurnya.
Terakhir, buat kaskuser dosen yang suka bikin tugas mahasiswinya disuruh bikin spam artikel soal Dedi Mulyadi di sini, awas ya kalau yang ini dijadiin tugas lagi. Mau di-doxxing?