Hai Gansis. Keragaman etnis dan budaya kita ternyata menyebar ke seluruh belahan bumi. Kecanggihan dan kecepatan transportasi menjadikan manusia mulai menapaki dunia baru untuk memulai petualangan. Sering kita melihat di tempat-tempat wisata dimana terdapat pengunjung dari luar negara Indonesia berseliweran menikmati pemandangan dan wahana yang ada. Wisatawan manca negara tadi mungkin adalah orang yang sedang berlibur atau sudah menetap di Indonesia.
Begitu juga dengan Indonesia dan Malaysia. Negeri yang khas dengan etnis melayu nya ini, sejak jaman penjajahan dan persemakmuran sudah mulai bermigrasi. Mereka dulunya dibawa oleh pelaut bangsa-bangsa eropa untuk menjadi budak dan pekerja kasar di kapal dan ladang mereka. Sebut saja nama Belanda, Cocos, Suriname, dan Kaledonia yang sebagian besar didiami oleh etnis melayu, bahkan Bahasa Jawa sekalipun juga mereka terapkan disana.
Bagi kalian yang belum mengetahuinya, TS ingin memperkenalkan Cocos Keeling Island ini karena juga merupakan tetangga dekat kita, dibawah Pulau Jawa.
Kepulauan Cocos terdiri adalah milik Pemerintah Australia. Pada abad ke-19, ada seorang pelaut bernama William Keelingyang menemukan pulau tersebut dan belum berpenghuni. William Keeling tidak menempati pulau ini karena sedang melayani Perusahaan Hindia Timur Britania.
Kepulauan Cocos memiliki sistem pemerintahan Monarki Konstitusional, di bawah kekuasaan Ratu Elizabeth II. Kenapa Ratu Inggris terkait jauh sampe Australia? karena Australia juga merupakan salah satu negara persemakmuran Inggris. Apa itu negara persemakmuran? Silahkan baca di sini.
Ibukota dari Kepulauan Cocos adalah West Island atau sebenarnya merupakan bagian sebelah barat dari kepulauan tersebut. Sementara Home Island adalah tempat pemukiman penduduknya, lebih tepatnya di desa Bantam.
Pulau yang berjarak sekitar 1300 km dari arah barat daya Jakarta ini, merupakan tetangga dari Christmas Island. Memiliki penduduk sekitar 590 jiwa, dimana sebelumnya mencapai 4.000-an orang kembali ke Sabah, Malaysia untuk menghindari perbudakan di masa itu (1950-an).
Sebagian dari mereka adalah petani kelapa, pepaya, sayuran dan pisang. Menjadi nelayan juga mata pencaharian utama untuk kebutuhan sehari-hari.
Setelah William Keeling menemukan pulau tersebut, pada tahun 1814 ada sosok pelaut bernama John Clunies-Ross asal Skotlandia yang menancapkan bendera Britania Raya di pulau ini, tetapi tidak segera menempatinya.
Sebenarnya, John Clunies-Ross adalah mantan anak buah dari seorang eks. Gubernur Maluka (sebuah wilayah di Kalimantan) bernama Alexander Hare yang selanjutnya menetap di pulau ini. Sebelum menemukan Cocos Island, Alexander Hare yang juga berkebangsaan Skotlandia adalah seorang petualang dan pedagang yang sudah mengelilingi wilayah Malaysia, Indonesia, Afrika Selatan dan New Guinea.
Pada tahun sekitar 1826, Hare membawa sekelompok orang dari masing-masing wilayah tersebut untuk dijadikan budak dan pekerja paksa di Pulau Cocos. Hare juga membawa serta harem-nya yang terdiri dari 40 wanita melayu, dimana Ia berencana membuat kediaman pribadi di pulau tersebut.
Setahun setelah keberadaan Hare, John Clunies-Ross bersama keluarganya kembali ke pulau Cocos untuk menempati pulau. Kedatangan John mengusik ketentraman Hare, para harem-nya mulai beralih setia kepada John. Hare pun ditinggalkan. Melihat kenyataan kekalahan kharisma ini, Hare akhirnya angkat kaki dari pulau itu. Akhir hayatnya, Hare meninggal di Bencoolen atau Bengkulu pada tahun 1834.
Pada abad ke-19, pihak Australia tidak senang dengan cara pemerintahan keluarga Ross. Pemerintahan berbau feodal di Cocos sangat tidak cocok menurut pemerintahan Australia. Oleh karena itu, Australia berniat membeli dan mengusir Keluarga Ross dari tanah Cocos.
Dari beberapa usaha yang dilakukan bersama PBB, tahun 1984 diambil sebuah jalan demokrasi dimana setiap warga berhak memilih untuk merdeka penuh, berasosiasi bebas dengan Australia atau berintegrasi dengan Australia. Hasilnya, sekitar 229 orang dari 261 peserta memilih untuk berintegrasi dengan Australia.
Sejak tanggal 1 Juli 1992, maka seluruh pemerintahan di Kepulauan Cocos berada di bawah hukum negara Australia, berdasarkan Territories Law Reform Act 1992.
Walaupun Kepulauan Cocos dimulai dengan masa-masa kelam perbudakan, namun perkembangan agam islam masih terjaga dan merupakan mayoritas di pulau ini. Keberadaan kaum melayu yang kental dengan keturunan muslimnya, terpelihara dengan baik hingga sekarang. Tidak ada pergaulan ala barat yang tertanam di negeri ini, setiap mereka yang sudah cukup umur akan menikah dengan persetujuan masing-masing keluarga. Bahkan pengunjung yang datang ke pulau ini harus mengenakan pakaian yang sopan pula.
Kebiasaan-kebiasaan seorang muslim tergambar dari keseharian penduduk. Makan tidak boleh dengan tangan kiri, memasuki masjid dan rumah harus membuka alas kaki, berjabat tangan pada saat bertemu adalah juga bagian dari adat ketimuran.
Hal unik yang tidak biasa kita temukan adalah tamu yang akan bertandang tidak diperkenankan mengetuk pintu rumah, melainkan harus berputar menuju dan masuk dari pintu belakang. Mengetuk pintu ketika pintu depan tidak terbuka adalah salah satu perbuatan yang tidak sopan menurut adat setempat.
Dari total 27 pulau, terdapat sebuah pulau yang dihuni oleh sekitar 450 orang muslim. Pulau Salma, dimana pulau mayoritas muslim yang sama sekali tidak menjual minuman beralkohol dan daging babi. Pemilik toko di area ini adalah kaum keturunan melayu.
Pulau ini menjadi pulau percontohan, bahwa sangat jarang ditemukan penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan tingkat kehadiran siswa/pelajar di Pulau Cocos mencapai 93%. Tidak ada kata patah semangat, karena sekolah di sini hanya tersedia hingga tingkat SMP saja, sedangkan jika ingin melanjutkan ke SMA atau Kuliah, para pemuda-pemudi Pulau Cococs harus menyeberang ke Australia.