Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Mertua Si Pahit Lidah (11-13)
Mertua Si Pahit Lidah



Part 11




Saat akan memasak untuk makan malam, aku bingung karena kini kulkasku kosong. Beras dalam rice box juga hanya tersisa beberapa butir. Padahal aku masih ingat baru saja membeli beras sepuluh kilogram sehari sebelum aku pergi pulang kampung. Yang tersisa di dalam kulkas hanya daun seledri yang sudah mengering. Padahal biasanya aku membungkusnya dengan kertas koran agar tetap segar selama satu minggu. Kini semua isinya sudah habis tak bersisa. Kertas koran pembungkusnya pun sudah tak ada lagi.


“Bang! Ngeri kali makan Abang selama ku tinggal, ya?”


“Bah! Abang makan di luar teros, kok.”


“Jadi? Kok habis beras kita? Kok hilang sayur daging ikan sama ayam dalam kulkas?”


“Paling ya Mamak!”


“Mantap!” jawabku kesal. Untung saja kedua orang tuaku sedang di ruang tamu. Sehingga tak mendengar apa yang kami bicarakan.


“Ya daripada busuk, kan bagusan dimakan Mamak!”


“Mana ada makanan jadi busuk disimpan dalam kulkas baru tiga hari.”


“Ya kau pun ngapa gak kau kunci aja sekalian kulkas itu?” ujarnya tak terima.


“Masih belum melek jugak matamu, ya, Bang? Mumpung Mamak Bapakku ada di sini, mau kau kuadukan?” ancamku sambil mengangkat spatula untuk menggoreng alias sutil.


“Eeh! Jangan-jangan! Bisa jatuh harga diri Abang!”


“Sekarang kita mau makan apa? semua yang ada dalam dapur ini dilibas habis sama Mamak. Kek gitu lah!”


“Ya udah, Abang pigi dulu sebentar beli makanan. Mau apa kau?”


“Betol? Apa ada duetmu? Biasanya kalok kusuruh belik kau bilangnya gak pernah punya duet!”


“Punya, punya! Udah jangan kuat kali kau ngomongnya! Bilang aja mau makan apa biar Abang cari, lekas!”


“Sop tunjang tiga porsi, Sate kambing tiga porsi, Pempek palembang dua puluh bijik, sama minumnya jeruk peras sama boba tea yang di simpang itu beli jugak masing-masing tiga.”


“Alamak, banyak kali?”


“Mau apa nggak?”


“Iya, iya! Tunggu sebentar Abang pigi!”


“Cepat! Udah lapar itu mertuamu. Jangan mertuaku aja yang ku kenyang-kenyangkan teros!”


“Hish! Mulutmu ini!” dengusnya kesal.


“Udah cepat sana pigi! Sop tunjangnya pakek nasi jugak, tiga!”


“Iya! Tapi kok tiga? Kita kan orang lima?”


“Abang gak usah! Beli sendiri kalau mau ikut makan!”


“Hiih yang tega lah kau sama Abang!” Bang Bondan bergegas keluar rumah untuk membeli makanan. Rasakan kau, Bang! Sesekali aku makan makanan yang kau belikan. Mumpung ada dekinganku di sini sekarang. Hahaha.


“Mau kemana si Bondan?” tanya Mamak.


“Ke simpang bentar, beli lauk.”


“Gak masak aja?” tanya Mamak padaku.


“Punya kaki kurasa isi kulkasku, Mak. Udah minggat semua! Padahal baru tiga hari aku pigi.”


“Hahahaha ….” Mareka malah tertawa renyah melihat kedongkolanku.


“Kulkas udah kosong gitu pun bukannya dicabut cok nya. Buang2 arus listrik aja. Heran!”


“Gak ada kuncinya kulkasmu itu rupaknya?” tanya Mamak.


“Gak ada, Mak.”


“Hahaha. Kita selesaikan lah dulu masalahnya malam ini, ya!”


“Iya, Mak. Udah capek kali aku dibuat.”


Kami menunggu Bang Bondan sampai habis maghrib. Selesai sholat, baru dia muncul.


“Lama, ya, Bang?” tanyaku sambil menyiapkan piring dan gelas.


“Banyak kali pulak pesananmu! Arahnya lain-lain, jadi bolak-balik lah Abang!”


Hmm, rasakan! Sengaja aku mengerjaimu, Bang!


“Ayok lah makan, udah lapar kali perut Abang.”


“Kami pun sama!” Aku langsung mengajak kedua orang tuaku dan juga Riri untuk makan bersama di meja makan.


“Ayok, Mak, Pak. Makan yang banyak. Mumpung di sini. Puas-puasin makan enak hasil jerih payah menantu!” sindirku. Bang Bondan hanya melirik sekilas kemudian melanjutkan makannya.


“Habis ini, kita kumpul di rumah Mamak Bondan. Ada hal penting yang mau Bapak bicarakan sama mereka.”


“Iya, Pak.” Aku melihat roman wajah Bang Bondan mulai gelisah. Hahaha.


Selesai makan, Bang Bondan menarikku ke arah kamar.


“Apa?” tanyaku kesal.


“Ada masalah apa kok sampek harus ngomong serius sama Mamak Bapak jugak?”


“Masalah bayari tanah, lah!”


“Ya ampuun! Mati aku!”


“Mati lah sana! Biar banyak aku dapat duit sumbangan!” Aku berkata sambil melipat tangan di dada.


“Mau ditarok mana mukak Abang ini, Na?”


“Sukakmu mau ditarok mana!”


“Cemana kalok Mamak betul-betul gak mau lagi mintak duit sama Abang? Abang bisa jadi anak durhaka!”


“Kan itu maunya Mamak! Lagian besok dia dapat lima puluh juta. Aman hidupnya lebih setahun kalok dia pande ngelola uangnya!”


“Aduuh!”


“Kok jadi pening sendiri kau, Bang?”


“Ya Abang nanti malu lah sama orang tuamu! Ketauan selama ini Abang berat sama Mamak daripada samamu!”


“Biar aja! Biar seluruh dunia tau!”


“Aduuh!”


“Na! Dan! Ayok kita ke rumah Mamakmu!” terdengar suara Mamakku memanggil kami dari ruang tamu.


“Jangan bikin masalah kau disana, Bang!” ancamku sebelum kami keluar kamar.


Kami semua langsung menuju ke rumah Mamak mertua. Mereka sudah menunggu di ruang tamu. Aku dudukkan Riri di depan tv yang bersebelahan dengan ruang tamu.


“Mulai aja langsung, ya. Ini semua untuk keberlangsungan keharmonisan rumah tangga anak-anak kita. Saya selaku orang tua hanya bisa memberikan saran tanpa mau ikut campur apapun masalah mereka. Jadi, disini saya selaku orang tua Nina, ingin menyerahkan pembayaran tanah yang sekarang berdiri rumah anak-anak kita di atasnya.” Bapak langsung bicara pada pokok permasalahan.


“Adduh! Masalah itu udah jangan dibahas lagi. Kemaren itu cuma emosi nya Mamak. Makanya jadinya ngomong gitu.” Mamak berakting sangat manis di depan orang tuaku.


“Iya, Pak. Udah jangan dipermasalahkan lagi. Biasa itu ada senggolan antara menantu dan mertua. Sudah kumarahi jugak nya Mamak si Bondan ini,” ujar Bapak mertuaku.


“Kami gak masalah kalau memang tanah itu harus kami bayar.” Aku ikut angkat bicara karena sepertinya Mamak mertuaku akan beraksi dengan sandiwaranya.


“Nina ini, gampang tersinggung. Mamak gak betulan nya kemaren itu, Na!” Mamak kembali berkata sangat manis. Ketahuan bobroknya barulah berakting. Menyebalkan.


“Jadi, betul tanah itu gak perlu dibayar?” tanya Bapakku lagi.


“Betul!” jawab Bapak mertua.


“Orang kami ngasi sama anak, kok. Masak kami minta bayaran. Lagian kalok bukan si Nina sama Bondan yang dekat sama kami, sama siapa kami mintak tolong? Kami udah tua, anak-anak jauh, susah nanti kami. Lagian, kan, gak bisa kami jauh-jauh dari cucu, ya kan, Na?”


“Entah, iya kurasa!” jawabku ketus.


“Udahlah, masalah yang udah ya udah! Jangan kita permasalahkan lagi!” ujar Mamak lagi. Pandainya bersilat lidah. Kalau di depan tetangga bukan main lajunya mulut menggibah.


“Kalok memang betul udah gak masalah, ya sudah! Kita anggap ini selesai. Jadi saya juga tenang menitipkan Nina sama Bondan dan keluarganya. Nina jugak, jangan lagi sampek Bapak dengar ada masalah dengan mertua.” Bapak tersenyum melirik ke arahku.

"Iya, Pak. Semoga aja abis ini bisa lebih tenang hidup kami." Aku melirik Bang Bondan, dia seperti kucing yang kedinginan.


Malam itu aku batal menyerahkan uang lima puluh juta pada mamak mertuaku. Lumayan, bisa untuk tabungan Riri, pikirku. Kata-kata manis Mamak mertuaku sangat meyakinkan bahwa tanah tempat rumah kami berdiri sudah tidak akan pernah diungkit-ungkit lagi. Tapi aku yakin mamak punya rencana lain.


Keesokan harinya kedua orang tuaku pamit untuk kembali ke rumah mereka. Aku dan Bang Bondan menyalami mereka sebelum mereka pergi. Begitu juga dengan kedua mertuaku. Para tetangga sudah mulai bergerombol melihat orang tuaku mengendarai mobil mereka. Dasar orang kampung! Udik! Lihat mobil saja sampai harus bisik-bisik dan bergerombol.


Setelah mereka pergi, Bang Bondan juga bersiap untuk pergi bekerja. Sedangkan aku masih harus menitipkan Riri sebelum pergi mengajar. Aku masuk ke dalam rumah untuk memakai hijab formal. Ternyata Mamak mengikutiku.


“Na! Kok Mamak tengok cantik ya kalungmu itu?” ujarnya dengan nada mendayu-dayu tak seperti biasanya.


“Kenapa rupaknya, Mak?” tanyaku.


“Sor lah Mamak.”


“Ini dikasi sama mamakku, Mak. Banyak aku mau dikasi tapi kutolak. Cuman kalung sama dua cincin aja yang kuambil,” ujarku memanas-manasi sambil menunjukkan dua cincin emas di jariku.


“Kok gak kau ambil aja? Aturan kau ambil, kalau kau gak sukak kan bisa untuk Mamak.” Lagi-lagi suaranya dibuat halus mendayu-dayu.


“Bulan depan lah Nina belikan, tunggu Bang Bondan gajian. Dia udah janji bulan depan gajinya full sama Nina semua.”


“Apa?  Bondan bilang gitu? Anak kurang ajar! Jadi Mamak sama Bapakmu mau makan apa?” dengusnya mulai kesal.


“Makan nasi, lah!”


“Sengaja kau, ya? Mempengaruhi anakku biar durhaka?” ujar Mamak kembali pada tabiat aslinya.


“Mana ada! Mamak aja yang selalu bilang durhaka-durhaka.”


“Kalok kayak gitu caranya, sekarang jugak bayar lah tanah tempat rumah kelen ini berdiri!”


“Loh, tadi malam katanya udah ikhlas gak akan di ungkit-ungkit lagi?” tanyaku sambil tertawa.


“Gak mau tau! Bayar sekarang jugak!” bentak Mamak.


“Gampang, lho, Mak! Mamak siapkan dulu surat-suratnya, baru Nina bayar.”


“Surat-surat apa pulak?”


“Ya surat tanah, lah!”


“Gak bisa! Kelen urus aja sendiri!”


“Ya udah, gak ada surat gak ada uang! Dan gak ada lagi gaji bulanan.  Bulan depan semua kebutuhan makan dan arisan-arisan Mamak biar Nina yang atur.”


“Kok jadi mantu kurang ajar kau?”


“Mamak yang ngajarin!” jawabku tegas.

 Kugandeng Riri dan aku bergegas keluar,  kutunggu Mamak di ambang pintu, Mamak langsung keluar juga dengan wajah kesal. Aku akan mengunci semua rumahku supaya Mamak tak bisa lagi masuk dengan seenaknya dan mengambil apa yang dia mau dari dalam rumahku. Bukan aku yang pelit, tapi Mamak yang pelit pada dirinya sendiri.

"Mau kau kunci rumahmu?" tanyanya sebelum berlalu.

"Iya, Mak. Bahaya, isi rumahku punya kaki soalnya. Bisa jalan keluar sendiri kalok rumah gak dikunci," jawabku santai. Sengaja supaya Mamak merasa kalau selama ini dirinya penyebab aku tak bisa tenang menikmati apa yang aku punya.

Mamak langsung melengos dan langsung pergi. Ku starter sepeda motorku dan meluncur meninggalkan Mamak yang sudah kongkow di warung Buk Ros.


pulaukapok
rinandya
khuman
khuman dan 6 lainnya memberi reputasi
7
1.6K
9
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.