Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

kurkur1Avatar border
TS
kurkur1
Ku Kira Obat, Nyatanya Pemberi Luka Terhebat (Cerpen)
Kesibukan hari ini cukup membuatku lupa akan waktu, jam sudah menunjukkan pukul 15.30 Wita, sebentar lagi sudah waktunya untuk pulang. Aku salah satu karyawan di Rumah sakit swasta daerah Kalimantan timur sebagai seorang Human Resources Development (HRD), ya walau terbilang dulu kuliahku sebagai Kesehatan lingkungan bukan di jurusan tersebut namun pihak management rumah sakit memberiku kepercayaan untuk memegang bagian HRD.
Setelah selasai mengemasi barang, tepat waktu menunjukkan pukul 16.00 Wita aku keluar ruangan, beberapa temanku masih sibuk dengan kesibukan masing – masing sehingga ku urungkan niatku untuk menyapa mereka. Ku susuri koridor rumah sakit untuk menuju parkiran, hari ini terbilang hari yang sangat melelahkan. Di akhir bulan banyak laporan yang harus aku selesaikan ditambah dengan payroll untuk karyawan rumah sakit, sehingga itu yang membuat waktu terasa berjalan sangat cepat. Setelah sampai diparkiran yang terletak di samping rumah sakit aku menuju motorku, tak banyak orang pulang pada jam tersebut dikarenakan mereka kerja dengan Shift, jadi hanya jam tertentu parkiran ramai dengan karyawan yang hendak pulang. Kebetulan jarak tempuh dari kosku menuju rumah sakit kurang lebih setengah jam dengan jalan santai, jadi aku sering menggunakan motor atau terkadang nebeng teman yang kebetulan sama satu arah.

*triiingg triiinggg* di ujung telepon
Ku ambil handphone dari dalam tasku, kulihat nama Nina muncul dilayar HP ku
“halo Assalamuallaikum”
“halo waalaikumsalam, Via aku bisa minta tolong?”
“ Iya nina, mau minta tolong apa?” jawabku
“Via udah balik dari RS belum?” tanya nina
“Ini aku udah ada diparkiran, bentar lagi mau jalan, kenapa?” jawabku kembali
“Via, aku minta tolong dong! Bawain aku obat, hari ini aku meriang, pusing gak bisa keluar ke apotik”
“yaudah kalau begitu aku balik ke farmasi”
“Nanti anterin sekalian ke kosanku ya via, bisa kan?” tanya temanku dengan nada memelas
“iya nanti aku anterin ke kosanmu” jawabku
Karena kebetulan kosan temanku dengan kosku tidak jauh dan searah akhirnya ku putuskan untuk Kembali ke bagian apotik untuk meminta obat seperti dengan apa yang dikeluahkan oleh temanku.

Tak butuh waktu lama, setelah mendapatkan obatnya aku segera bergegas menuju kos temanku.
Sesampainya di kos nina, aku parkir motorku dihalaman kos dekat pohon mangga. Kosan nina adalah salah satu mess fasilitas dari Rumah sakit. Entah alasan kenapa mereka lebih senang menyebutnya kos kosan. Karena aku sering main ke kos Nina jadi aku sudah tahu letak kamar yang di huni oleh nina dan dulunya pun aku juga tinggal disini sebelum akhirnya aku pindah ke kos kosan yang sekarang aku tinggali.

Aku menyusuri anak tangga yang tersusun rapi dengan balok kayu yang menjadi pijakan tangga menuju kos kosan yang ditinggali oleh Nina. Karena hari ini rasa capek sudah menguasai diriku, aku bergegas untuk menyerahkan obat yang aku bawa kepada Nina, agar aku bisa segera pulang karena hari ini terasa capek dan hanya ingin merebahkan tubuhku.
Setelah menaiki tangga ada sebuah teras yang lebar, itu merupakan teras yang menyambung antara kamar kamar kos, karena desain rumah untuk daerah disini adalah bentuk rumah panggung, jadi rumah seperti memanjang dan akses untuk masuk harus menaiki tangga yang kebetulan ada disamping rumah.
Sesampai diteras yang panjang aku harus menuju kamar yang tepat berada di ujung, karena kamar Nina terletak paling ujung dari tangga untuk masuk. Alangkah terkejutnya, kulihat dua insan sedang duduk terlihat mesra di teras dan salah satunya tiduran di paha seorang Wanita. wajahnya tak asing buat aku, wajah yang sering aku lihat, wajah yang sehari hari hadir dalam kehidupanku.

“Hendra, itukah kau?”

pertanyaan yang muncul dari dalam hati. Hendra adalah kekasih hati yang selama ini mengisi hari hariku, sosok yang telah merebut hati ini, sosok yang selalu membuatku rela tidur malam hanya untuk sekedar obrolan yang tak ada ujungnya. walau hati ingin menepisnya, namun kenyataan berkata lain, di depan mata kepalaku sendiri, dia bermesraan dengan cewek yang tak lain adalah temanku sendiri. Ingin ku urungkan niatku untuk memberikan obat kepada Nina sebelum dua insan menyadari akan kehadiranku, namun di satu sisi aku sudah berjanji untuk mengantar obat ini kepada Nina. Ku bulatkan tekatku, ku tegakkan langkahku, kutarik nafas dalam- dalam

“aku harus bisa berjalan melewati mereka”

Karena letak kamar Nina berada di ujung, mau tidak mau aku harus melewati dua makhluk yang sedang bermesraan itu. Dengan Langkah tegap walau hati teriak hebat, perasaan hancur akan pengkhianatan, air mata yang ingin mengucur deras namun harus tertahan. Dengan Langkah lebih cepat aku melewati mereka, rasa muak, marah, benci, dan kecewa bercampur aduk di dalam hati membuatku tak sudi menoleh bahkan melirik kearah mereka.

“Via!” ku dengar ucapan lelaki dengan perempuan serentak Ketika aku melewati mereka, namun aku tak sedikitpun mengubris panggilan tersebut.

*tok tok tok* ku ketuk pintu kamar Nina
“Assalamuallaikum, Nina ini aku Via!” seruku
“Waalaikumsalam Via, masuk aja kamarnya gak aku kunci” seru Nina dari dalam kamar
“Ini obat kamu, cepet sembuh ya Nin” ucapku
“iya Vi, makasih” jawabnya
“Nin, aku langsung balik ya?”
“loh gak mau mampir dulu Vi?”
“Enggak dulu deh, aku lagi capek banget pengen cepat balik” sahutku
“yaudah hati hati ya Via, makasih obatnya udah dianterin”
“sama sama, Assalamuallaikum”
“Waalaikumsalam” segera kututup pintu kamar Nina, dengan Langkah yang sedikit cepat aku berlari kecil karena harus melewati dua makhluk itu Kembali.
“Via aku bisa jelasin” teriak Hendra berdiri dan sedikit menahanku. Namun kuhiraukan dan kutepiskan tangannya tanpa sedikitpun aku berkata.

Aku berlalu menuju motorku dengan air mata yang sudah tidak bisa terbendung lagi. Ku pacu motorku menuju kosan dengan hati yang hancur dan sedikitpun tak menyangka akan pengkhianatan yang tak terduga terlihat jelas oleh mata kepalaku sendiri. “kau yang ku kira obat, nyatanya pemberi luka terhebat”
Sedari tadi aku sampai di kos kosan Nina, perasaanku memang sudah terasa tidak nyaman seperti biasanya, namun pikiranku menepisnya mungkin ini karena efek aku terlalu capek. Sebelum memarkirkan motorku, sempat ku lihat motor terparkir di depan kos kosan nina, dan motor itu terasa tidak asing olehku. Ya itu adalah motor Hendra.
Hendra pun tak berani mengejarku, karena dia tahu Ketika aku marah aku ingin sendiri, aku gak mau siapapun mengejarku bahkan menahanku. Sesampainya di kos kosan tangisku semakin menjadi jadi. Bagaimana tidak pacar yang selama ini mengisi hatiku harus bermesraan dengan orang lain tepat di hadapanku, Wanita mana yang hatinya tak hancur.
Aku raih handphone kemudian memanggil sahabatku Ichel. Ichel adalah salah satu sahabatku di RS, seluruh kisah cintaku, keluh kesahku dia sudah mengetahui semuanya. Ku curahkan semua kesaksian, pengkhianatan dari orang yang mengisi hatiku, tangisku seenggukan sampai akupun tak bisa berkata kata lagi. Aku hanya ingin di dengar setidaknya untuk mengurangi rasa sakit yang aku terima agar tifak terlalu meluap luap di dalam hati.

"Sudahlah Via, sabar ya!" Suara Ichel menenangkanku
"Kamu tenangin diri kamu dulu, habis itu bisa dibahas baik baik lagi sama Hendra, jika memang jodoh pasti akan baik baik saja, dan bila memang tidak jodoh pasti akan di Jauhkan, mungkin Tuhan punya rencana lain dan sedang menyiapkan yang terbaik buat kamu, anggap aja ini ujian dariNya untuk mengangkat derajat kamu".
"Makasih Ichel" Jawabku dengan parau

Setelah air mataku mengucur deras, sesak dalam dada terasa lega. Tidak menyangka, aku mendapatkan luka yang begitu menyayat hati.

“tok tok tok” Suara ketukan pintu kamarku
Aku sudah tahu kalau itu si Hendra yang datang ke kos kosanku, dengan langkah gontai ku buka pintu kamarku. Dia pun akhirnya masuk kedalam kamar. Memang tak butuh waktu lama untukku sedikit melegakan perasaanku saat sedang kalut.
“Via aku bisa jelasin, ini tak seperti yang kau lihat” kata dia dengan sedikit nada tinggi
“kenapa datang kemari!” Sahutku
“Via, aku bisa jelasin, kamu tahu sendiri kan aku sama Lita Cuma temenan. Ini gak seperti yang kamu kira. Kamu juga tahu temen Lita, pasti juga paham mana mungkin aku selingkuh sama temen kamu juga” Hendra memberi penjelasan
“Terus mau kamu apa Hen?” tanyaku
“Aku mau kamu gak salah paham, Lita itu temen kita, dia juga sudah tahu kalau kita dekat kan?”

Memang, untuk masalah hubungan aku bukan tipe orang yang suka mempublikasikan hubunganku kepada semua orang, hanya orang orang yang aku percaya dan dekat denganku saja yang tahu tentang hubunganku dengan seseorang tak lain juga lita, dia salah satu temanku satu kerjaan dan juga satu kos- kosan dulu sebelum akhirnya aku pindah.

“kalau tak ada apa – apa kenapa kamu bisa semesra bahkan tidur di pangkuannya?” aku masih menyangkal
“iya aku tahu salah, tak seharusnya aku seperti itu, namun Via sungguh aku tak ada hubungan apa – apa dengan Lita. Dia aku anggap teman seperti lainnya dan sama – sama dari kota lain tak ada niat mapun maksud apa – apa. tolong percaya sama aku!” pembelaan dari Hendra

Kita disini memang berasal dari kota berbeda beda, sama sama berjuang untuk masa depan masing masing. Alasan Hendra pun bisa aku terima. Aku berusaha untuk berfikir positif walaupun tadinya begitu menyayat hati. Entah dia benar atau salah namun aku berusaha untuk yakin kepadanya bahwa dia tidak sedikitpun berniat untuk mengkhianatiku.

“terus mau kamu apa?” jawabku dengan suara parau
“aku ingin kamu percaya pada aku, itu aja” jawab Hendra

entah karena aku sayang kepada dia, dan aku tak mau masalah ini berlarut larut akhirnya hatiku pun luluh Kembali.

“kamu tahu kalau itu salah! Kenapa kamu lakuin hal tersebut, itu sama saja menyakiti perasaanku Hendra!”
“Iya Via, aku minta maaf, aku tahu kalau salah, tolong maafin aku. Aku gak akan mengulangnya lagi”.
“Alasan kamu bisa aku terima Hendra, namun jika kamu ulangi lagi, jangan harap ada maaf dariku lagi”

Setelah insiden tak terduga yang aku alami akhirnya pun aku baikan lagi sama Hendra. Dia sudah berusaha meyakinkanku, dia sudah berusaha menemui aku. Buat aku itu udah cukup aku anggap sebagai perjuangan dia, apalagi Lita juga salah satu teman kita.
Akhirnya hari hariku yang kalut, hati yang hancur sudah mulai pulih Kembali. Setiap malam kita telpon telponan sampai tertidur. Kita mengobrol tentang apa saja yang menurut kita bagus untuk di bicarakan. Hatiku merasa Kembali dimiliki si Hendra.

Hari hariku tak ada yang spesial, kecuali tiap berangkat dan pulang kerja selalu bareng dengan Hendra. Aku terkadang sudah bilang ke Hendra kalau ada kerepotan aku bisa naik motor sendiri. Namun si Hendra tetap kekeh ingin selalu bareng dengan aku tiap berangkat dan pulang kerja. Namanya juga lagi pacaran, pasti apapun itu pengennya berduaan tak terkecuali aku. Namun jika itu ada kerepotanpun aku juga tidak memaksakan, setiap orang pasti ada kerepotan masing – masing, aku menyadarinya. Aku dan Hendra memang satu arah Ketika berangkat kerja namun kos – kosan kita berbeda. Jika ada kerjaan yang bersifat dinas luar aku mengabarinya untuk berangkat sendiri, karena aku bagian HRD dan terkadang harus berurusan dengan Dinas Kesehatan (Dinkes).

“Via, kamu tahu dokter baru di RS kita?”
“Oh dr. Putri? Ya tahu lah, kenapa emang?”
“dia tadi chat aku” bilang Hendra
“emang chat apa?”
“katanya besuk dia mau bareng aku berangkatnya, karena dia belum ada motor untuk ke RS, kebetulan kosannya arahnya sama dengan kita”
“Lantas?” sahutku
“kamu bisa gak via besuk berangkat sendiri dulu bawa motor?”
“aku kasihan sama dia” imbuhnya

Memang di RS ku apalagi di bagian Instalasi Gawat Darurat memang sedang butuh dokter, aku yang bagian personalia juga tahu kalau ada dokter baru di RS kami. Memang kasihan jarak kosnya jauh dengan RS, dan untuk motor dinasnya pun sampai saat ini juga belum datang.

“yaudah kamu bareng aja sama dr. Putri, besuk aku bisa bawa motor sendiri, kasihan juga dia motor jatah dari pemerintah juga belum datang. Jadi gak ada salahnya kamu boncengin dia, ada ada motor jadi nanti aku bisa berangkat sendiri” jawabku
“yaudah besuk kamu hati – hati ya bawa motornya” kata Hendra
“iya” jawabku singkat

Seiring berjalannya waktu Hendra lebih sering berboncengan dengan dr. Putri ketimbang aku, aku menyadari akan hal itu. Tak sedikitpun terbesit dalam hatiku dan berfikir negatif kepada Hendra. Aku sudah percaya sama Hendra. Bahkan teman satu RSku pun berkata apakah itu tidak aneh, setiap hari mereka berboncengan, namun aku bukan orang yang langsung menelan mentah – mentah apa yang dikatakan orang lain. Setelah satu bulan mulai muncul kejanggalan, aku mendapatkan kabar bahwa motor jatah yang di berikan kepada beberapa dokter untuk sarana transportasinya sudah datang, namun dr. putri masih sering berboncengan dengan Hendra. Aku tetap berfikir logis, mungkin jalan yang di lewati memang terbilang medannya agak susah untuk di lewati apalagi orang baru. Dulunya akupun begitu sering menebeng teman Ketika berangkat kerja, bahkan aku juga sudah dua kali jatuh di jalan tersebut karena memang akses jalannya masih banyak berlubang dan licin. Namun lain halnya Ketika jalan sudah diperbarui dan sudah layak untuk dilewati, mereka masih tetap saja berboncengan. Muncul rasa curiga dalam hati, namun lagi – lagi hati ini menepisnya dan masih berfikir untuk positif.
Hari sudah larut sore, suasana terasa sendu, matahari sore pun tak menunjukkan keberadaannya karena tertutup awan mendung. Selepas pekerjaan sudah selesai, aku memutuskan untuk pulang lebih dini. Setelah merapikan berkas berkas yang sudah selesai akhirnya aku menuju parkiran, seperti biasa aku sekarang lebih sering naik motor sendiri. Dalam perjalanan aku sedikit tergesa – gesa karena nampaknya hujan tak ingin lama – lama dipangkuan sang awan. Aku memacu motorku lebih sedikit kencang dari biasanya, entah ada angin apa rasanya seperti disambar petir, lagi – lagi aku melihat di depan mata kepalaku Hendra berboncengan dengan mesra yang tak lain adalah dr. Putri. Nampak tangannya melingkar erat memelukan Hendra. Rasa kecewa Kembali melandaku, bedanya kali ini tak ada rasa marah, tak ada rasa sesak dalam dada, tak ada api cemburu yang menguasai hati. Iya Hendra, aku sudah mati rasa untukmu. Aku tak menyesali apa yang aku lihat dihadapanku sekarang ini, namun yang aku sesalkan begitu bodohnya aku yang harus menaruh percaya padamu Kembali. Tak ada lagi air mata untukmu, tak ingin ku sia – siakan air mataku hanya untuk seseorang seperti dirimu.
Ku pacu motorku kencang sengaja membalapmu yang sedang bermesraan. Aku tahu pasti kamu menyadarinya. Seperti dugaanku kau Kembali mendatangiku ke kosku.

*tok tok tok* suara ketukan pintu
“kenapa kau kemari?” ketusku
“Aku mau jelaskan padamu!”
“Tak ada lagi yang perlu dijelaskan, sudah jelas alasanmu sering berangkat bareng dengan dia!” kataku dengan nada sedikit ku tinggikan
“terus mau kamu apa?”
“aku mau kita PUTUS” sahutku
“tapi Via, aku gak mau putus denganmu!”
“Gak, Pokoknya mulai sekarang kita PUTUS, dan jangan pernah tunjukkan mukamu di hadapanku” sambil aku melotot ke arahnya
“oke baiklah, jangan sampai kau menyesal dengan keputusanmu” akhirnya dia berlalu

Tidak ada dalam kamusku bahwa aku menyesalkan semua keputusanku. Tuhan sepertinya memberikanku sebuah gambaran bahwa ini sudah tidak dilanjutkan Kembali. Ini mungkin Langkah yang baik buat kita, mungkin dengan perpisahan kita, kamu bisa lebih leluasa dengan cewek barumu. Dan untukku, kamu bukan orang yang pantas aku pertahankan bahkan aku perjuangkan. Aku blokir semua akses yang berhubungan dengan kamu. Ketika kita sudah selesai, taka da lagi kata jumpa bahkan sapa. Terimakasih untuk rasa yang selama ini kau tanamkan. Rasanya begitu hebat hingga aku tak kuat untuk membendungnya.

“Terkadang orang terdekat kita justru sering memberikan rasa Kecewa”
pulaukapok
bukhorigan
ades15795
ades15795 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.3K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.