Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Mertua Si Pahit Lidah (8-10)


Part 8


Benar saja, malam hari kami dipanggil ke rumah Mamak untuk disidang. Bang Bondan sejak tadi sudah menunjukkan tampang masam. Dia pasti kesal karena lagi-lagi aku bersitegang dengan Mamak. Apa kali ini aku akan disudutkan lagi? Disalahkan lagi? Aku menghela nafas dengan berat.


“Ngapa kau layani kali mulut Mamak itu, Na? males kali Abang kalok udah disidang-sidang kek gini.”


“Ya kan salahnya Mamak, Kak Ruli mintak pinjam duit untuk beli emas. Mamak maksa aku suruh kasi pinjam. Aneh!”


“Ya bilang aja gak ada, kan, udah!”


“Udah kubilang gak ada, Bang! Mamak nyuruh aku jual gelangku! Apa nggak gilak itu namanya?”


“Udahlah, kau diam aja nanti kalok Mamak merepet! Biar Abang yang ngomong!”


“Tapi ngomongnya yang betol!”


“Iya! Udah, ayok ke rumah Mamak! Sebelum tambah panjang ceritanya!” Kami berdua pun bergegas menuju rumah Mamak. Mamak dan Bapak sudah duduk di depan tv menunggu kami.


“Masok, masok kelen!” perintahnya tak sabar.


“Ada apa ini, Mak?” Bapak malah bertanya heran. Pasti Bapak belum tahu apa-apa.


“Sini kau, Dan! Mamak mau ngomong dulu sama kelen berdua!”


“Ada apa nya ini, Mak?” Bang Bondan duduk sambil menyalakan rokok. Riri aku suruh untuk duduk dan menonton tv.


“Tadi siang, Kak Ruli mu nelpon, minta tolong. Dia butuh pinjaman tiga juta. Tau kau apa kata binikmu ini?”


“Apa katanya?”


“Bukannya dia kasih, malah diungkitnya semua yang Mamak makan dari rumah kelen! Apa binik yang bagus sifatnya itu?” ujar Mamak berapi-api.


“Loh, apa iya, Na?”


“Mana ada aku ungkit-ungkit, Mamak kok kayak gitu kali samaku?”


“Halah! Diam kau! Mamak belum siap ngomong! Sekarang kalau kau gak senang, gak mau kau nolong keluarga, kau pilihlah! Kasi pinjam si Ruli apa kau angkat kaki dari sini!”


“Mak, kok Mamak langsung ngusir-ngusir si Nina?” Bapak bertanya heran.


“Pak, baru sekali nya si Ruli itu mintak tolong, sombongnya si Nina ini, bukannya kasi pinjam malah dia ungkit-ungkit yang kita makan! Ungkit-ungkit gaji si Bondan yang dikasikan sama Mamak!”


“Sekarang Kak Ruli itu minta pinjaman bukan karena sakit atau apa, Mak! Dia mau beli emas!” Aku berteriak membela diri. Aku tak tahan karena Bang Bondan tak bereaksi apa-apa di depan Mamak. Seperti kerupuk disiram air.


“Ya kenapa rupaknya kalau dia mau beli emas? Kok kau pulak yang sibuk?” ujar Mamak merasa tak bersalah.


“Ya Allah, Mamak ini kok tega kali sama aku? Mamak suruh aku kasi pinjam, aku bilang aku gak punya, Mamak suruh aku jual emas. Sementara aku bisa punya emas karena aku kerja, Mak!”


“Udah, udah! Paham Bapak duduk masalahnya. Gak salah si Nina! Mamak aja ini besar-besarkan masalah!” Bapak pun mulai mengeraskan nada bicaranya.


“Bapak belain si Nina lagi?” Mamak semakin tak terima.


“Bapak bela kebenaran! Sekarang gini, Bapak tanya sama Mamak, apa betul alasan Ruli mau pinjam duit itu untuk beli emas?’


“Iya! Memangnya Nina aja yang bisa beli emas?” gerutu Mamak.


“Jangan kayak anak kecil ngapa, Mak! Mana ada ceritanya orang pinjam duit walaupun sama sodara tapi untuk beli emas. Mikir kenapa, Mak! Mamak pun ngajari anak gak betul. Tau dari mana Ruli si Nina punya emas kalok bukan dari Mamak! Bukannya ngakurkan anak, Mamak ini!” Mamak langsung terdiam mendengar Bapak berbicara.


“Sekarang, Nina! Bapak tanyak, apa Nina keberatan kalau Bondan ngasi gajinya sama Mamak? Bapak gak pernah tau berapa Bondan kasi. Setiap Bapak mau tanyak Mamakmu selalu bilang diamlah diamlah! Bapak gak mau kalau yang kami makan ternyata hak nya Nina, Nina gak ridho. Bilang sama Bapak!”


“Empat juta tiap bulan, Pak. Dulu lima juta!” jawab Bang Bondan sambil menunduk, takut menatap mata Mamak yang melotot padanya.


“Kau kasi ke Nina berapa?”


“Sejuta, Pak.”


“Astaghfirullahal’adziim. Mamak udah dzolim sama mereka, Mak!” Bapak menunjuk wajah Mamak yang merah padam.


“Kok aku pulak? Wajar lah Bondan menafkahi orang tuanya. Kita kan udah gak punya penghasilan!”


“Gak kayak gitu caranya, Mak! Sama aja Mamak mau ngancurkan rumah tangga mereka. Udang dikasih sama Bondan terus Mamak apa-apa ambil jugak dari dapur si Nina! Mamak yang kelewatan jadi mertua!”


“Jadi kita mau makan apa, Pak? Bapak apa bisa ngasih aku duit? Nggak, kan? Jalan aja udah payah, banyak kali cerita!”


“Ya Allah, Mak. Hargailah sedikit Bapak ini. Siapa jugak yang mau sakit sampek habis harta, Mak? Setidaknya Mamak itu tau terima kasih sama menantu. Dia udah rela jatahnya Mamak ambil, kok malah Mamak masih aja cari-cari kesalahannya?”


“Bapak gak tau kayak mana mulutnya si Nina ini kalok ngelawan Mamak, jadi enak aja Bapak ngomong!” Mamak masih bertahan pada pendiriannya.


“Mamak jugak kalok ngomong sama Nina gak pernah halus.” Aku membela diri.


“Dan, sekarang gini aja! Mamak gak akan mintak-mntak lagi uang sama kau! Biarkan aja kami mati kelaparan!” Ancam Mamak.


“Mamak jangan gitu, lah!” Bang Bondan sepertinya termakan ancaman Mamak.


“Udah! Kau kasikan aja semua uangmu sama binikmu yang tak tau diri itu!”


“Nanti Mamak sama Bapak cemana?” Bang Bondan malah merengek seperti anak kecil.


“Bilang sama binikmu itu, kalau masih mau tinggal di rumah itu, bayari tanah tempat rumah kelen berdiri itu! Kalau tak mau suruh dia angkat rumahnya pindahkan ke tempat lain!”


“Mak!” Bapak membentak Mamak yang tak bisa berhenti mengoceh.


“ Bapak diam! Bapak pun gak bisa kasih solusi!”


“Oke, Mak! Nina bayar itu tanah tempat rumah kami berdiri! Berapa Mamak mintak?” tanyaku geram.


“Na, mana ada kita uang untuk bayari tanah!” Bang Bondan masih saja menyebalkan.


“Biar Nina yang cari!”


“Bagus! Jangan lama-lama! Mamak gak akan lagi mintak-mintak uang sama kelen. Biar aja mau kami makan mau nggak makan gak usah kelen openi lagi Mamak!” Aku yakin Mamak berbicara begitu hanya untuk mengancam Bang Bondan yang sifatnya lemah.


“Berapa Mamak Mintak?” ulangku lagi.


“Udah, Na! jangan kelen ambil hati kata-kata Mamakmu itu!” ujar Bapak berusaha melerai.


“Gak bisa, Pak. Kalok dia itung-itungan, Mamak pun bisa! Bahkan seluruh dunia ini dia kasikan sama Mamak, pun, gak akan bisa dia balas jasa Mamak. Durhaka itu namanya!”


“Mak, janganlah ngomong kek gitu!” Bang Bondan masih juga memelas pada Mamak.


“Diam kau, Dan! Mamak mintak lima puluh juta!” Suara Mamak masih menggelegar di telingaku. Uang segitu terlalu mahal jika hanya untuk membayar tanah dengan ukuran enam puluh empat meter persegi. Seukuran rumah kami, delapan kali delapan meter. Tanah di kampung ini masih tergolong murah. Tapi biarlah, semoga setelah ini Mamak betul-betul berhenti merongrong hidupku.


“Oke, Nina usahakan seminggu!” Aku langsung beranjak dan menggendong Riri dan membawanya pulang. Rasa kesal di hatiku selama ini selalu direndahkan, membuat diriku dengan mudah mengiyakan kata-kata Mamak. Semoga Bang Bondan juga bisa adil setelah ini.


Sampai di rumah, aku kemasi pakaianku dan Riri. Bang Bondan menyusul dan langsung bertanya mengapa malam-malam aku mengemasi pakaian kami dan memasukkannya ke dalam travel bag.


“Mau kemana kau, Na?”


“Mau pulang ke rumah bapakku!”


“Kapan?”


“Besok pagi!”


“Tapi kau ngajar?”


“Cuti!” Sengaja aku menjawabnya dengan ketus.


“Cemana cara kita dapat uang lima puluh juta?”


“Biar aku yang mikir! Abang gak biasa mikir berat-berat! Biar aku aja!”


“Mau mintak sama Bapakmu?”


“Iya, lah!”


“Nanti kau bikin malu Abang di depan orang tuamu?”


“Jangan suudzon jadi orang! Seumur-umur aku nikah sama kau, Bang, gak pernah sekalipun aku ceritakan kesusahanku sama orang tuaku! Tenang, ku jaga nama baikmu, Mamak sama Bapakmu!” Aku menyuruh Riri untuk segera tidur. Aku keluar kamar dan duduk di sofa. Bang Bondan mengikut seperti anak ayam pada induknya.


“Gak usah dituruti kata-kata Mamak, cuman ancaman aja nya itu, kebawak emosi!” ujarnya mulai merayu.


“Mau sampek kapan aku ini diinjak-injak harga dirinya sebagai menantu? Kalok Abang sedikit aja peka sama perasaanku, Abang pasti tau kenapa tetangga semua gak sukak sama aku! Karna apa? Karena setiap hari aku ini jadi bahan gunjingan! Tau?” Bang Bondan menunduk.


“Ya buktikan, lah, kalau kau nggak kayak gitu!”


“Percuma! Biar Tuhan saja nanti yang tunjukkan!”


“Nyumpahi Mamak kau, Na?”


“Ada rupaknya aku ngomong gitu? Sama aja pun Abang sama Mamak ini! Mikir jelek aja terus samaku!”


“Udahlah. Biarkan aja, gak nya dimintak betol itu sama Mamak!”


“Nggak! Aku mau tetap bayar tanah tempat rumah ini berdiri! Aku pun gak pernah Mintak, dulu Bapak yang kasih. Kalau sekarang diungkit, oke!”


“Jangan, lah, Na! Malu nanti Abang sama bapakmu!”


“Sejak kapan Abang tau malu?” Aku tertawa sinis.


“Iya, Abang memang gak adil selama ini samamu! Kalau sampai Bapakmu tau kau gak bahagia sama Abang, bisa-bisa kita disuruh pisah!”


“Kan! Otakmu itu bisa apa nggak sikit aja mikir yang baik-baik? Bapakku gak sama kayak Mamakmu, Bang! Duit lima puluh juta itu kecil bagi dia!”


“Ya itu masalahnya, Na! Masak kau udah punya suami tapi masih mintak sama bapakmu?”


“Jadi? Mau mintak sama siapa lagi aku? Apa perlu aku jual diri aja sekalian?” Aku semakin tersulut emosi mendengar kata-kata Bang Bondan.


“Ya udah, lah! Jangan dilawan emosi sama emosi!”


“Udahlah udahlah! Kalok yang ditagih Mamak itu Abang gak masalah, nanti pasti aku yang ditagih! Dicerita-ceritakan lagi sama tetangga! Mau ditarok mana mukaku, Bang?”


“Jadi rencanamu cemana?”


“Setelah tanah aku bayar, aku mau mintak suratnya sama Mamak! Setelah itu mau aku jual! Kita pindah yang jauh sekalian!”


“Apa?” Bang Bondan ternganga mendengar kata-kataku yang terakhir. Aku membanting bantal sofa, dan meninggalkannya sendiri di ruang tamu. Suami tak bisa diajak kompromi! Mertua Si Pahit Lidah (8-10)



jiyanq
bukhorigan
rinandya
rinandya dan 3 lainnya memberi reputasi
4
2K
16
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.