Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Suamiku Tak Menyesal Telah Menceraikanmu


Suamiku Tak Menyesal Telah Menceraikanmu

Story by: Dianti W

Part 1

“Ayaah … minta duit!” Terdengar teriakan anak kecil di depan rumah. Aku tahu dia adalah Kezia, anak suamiku dengan mantan istrinya. Aku bergegas keluar rumah untuk menghampiri Kezia.

“Kezia, sini masuk dulu, Nak! Di luar panas.”

“Ga maok! Kezia mau minta duit sama Ayah!” jawab bocah kecil itu ketus. Dia masih bertengger di atas sepeda kecil yang ditumpanginya. Kulitnya yang berkeringat berkilat diterpa cahaya matahari siang ini. Entah kenapa anak ini selalu bersikap kasar padaku.

“Ayah belum pulang kerja, Nak. Ayo masuk dulu. Nanti Bunda buatin Kezia es susu coklat.”

Akhirnya bocah itu manut. Turun dari sepedanya dan duduk di bangku teras. Mungkin dia memang kehausan setelah bermain.

“Tunggu di sini, ya. Bunda buatin Kezia es susu coklat kesukaan kamu.” Bocah itu tak menjawab. Tatapan matanya masih tetap saja sinis padaku. Entah siapa yang sudah mengajarinya. Setahuku, anak kecil bukan seorang pembenci jika tidak diajari.

Aku cepat-cepat membuatkan es susu coklat untuk Kezia, lalu menyuguhkannya pada Kezia. Bocah cilik itu menenggak habis segelas susu coklat yang aku berikan. Ia mengelap mulutnya dengan tangan. Aku tersenyum dalam hati. Begitu polos tingkahnya meskipun dia tak bersikap ramah padaku.

“Kezia mao minta duit sama Ayah.”

“Kalau Bunda boleh tau, untuk apa, Nak?”

“Serah aku, lah, mau buat beli apa.”

“Iya, memang terserah kamu mau beli apa. tapi Bunda mau minta tolong sama Kezia.”

“Apa?” tanyanya ketus.

“Lain kali, kalau Kezia datang ke sini mau minta uang, Kezia ucap salam dulu, ya.”

“Ga mauk!”

“Gak baik begitu. Kalau anak pintar harus ucap salam kalau bertamu.”

“Ayah ako manaaa?” ucapnya lagi dengan nada merengek kesal.

“Ayah belum pulang. Kezia mau minta berapa? Pakai uang Bunda saja.”

“Mapoloh rebo!” jawabnya singkat.

“Ya sudah, ini Bunda kasih enam puluh ribu, tapi Kezia janji, ya, kalau besok datang lagi harus ucapkan salam dulu.” Lagi-lagi bocah itu tak menjawab. Tangannya dengan cepat hendak merampas uang yang aku sodorkan, tapi sengaja dengan cepat bergerak menghindari tangannya.

“Eits, janji dulu!”

“Iyaaaa ….” Kezia menjawab dengan terpaksa. Lalu uang itu aku berikan padanya. Tanpa mengucapkan terima kasih, cepat-cepat dia berlari kembali mengambil sepedanya dan kabur. Aku mengelus dada dan mengucapkan istighfar. Ya Allah, semoga aku selalu diberikan kesabaran.

Aku Hafizah, panggil saja Fiza. Aku menikah dengan Mas Ari dua bulan yang lalu melalui jalan ta’aruf. Aku menerimanya meski dia seorang duda satu anak. Masalah rumah tangganya terdahulu aku tak mau tahu. Yang jelas, Abah dan Ummi merestui pernikahan kami. Abah dan Ummi tak mungkin semberangan melepaskan anak gadisnya untuk menikah dengan sembarang orang.

Mas Ari memang benar-benar lelaki yang baik dan bertanggung jawab. Dia taat agama, dan juga sudah cukup mapan. Setelah menikah, aku diboyong untuk tinggal bersamanya di rumah miliknya. Rumah itu adalah hasil usaha Mas Ari sejak dulu dia belum menikah dengan Mbak Murni, mantan istrinya. Begitulah cerita yang aku tahu. Mas Ari juga bekerja di kota tak jauh dari kampung tempat kami tinggal.

Satu hal yang aku ketahui setelah kami menikah, ternyata Mbak Murni mantan istrinya itu tinggal satu kampung dengan kami. Ayah dan Ibu mertuaku dan juga ayah ibunya Mbak Murni adalah warga asli kampung ini. Mau tak mau, aku jadi sering bertemu dengannya. Sayangnya, dia tak pernah bersikap ramah padaku. Entahlah, yang jelas aku tak pernah mencari musuh dengan siapapun. Mbak Murni juga sudah menikah lagi. Bahkan lebih dulu daripada pernikahan Mas Ari denganku.

Kedatangan Kezia tadi membuatku termenung. Bukan sekali dua kali bocah cilik itu datang untuk meminta uang jajan. Bukannya aku tak boleh dia minta uang pada suamiku yang juga adalah ayah kandungnya. Suamiku setiap bulan selalu rutin menyisihkan gajinya untuk diberikan pada Kezia. Bocah itu sudah bersekolah kelas satu sekolah dasar. Sedikit banyak pasti dia punya kebutuhan juga. Aku sama sekali tak pernah melarang Mas Ari untuk menafkahi anaknya. Tapi herannya, beberapa hari setelah diberi jatah bulanan, Kezia selalu datang lagi untuk meminta uang. Bahkan sebulan bisa lima sampai enam kali dia datang meminta tambahan uang jajan. Apa uang yang diberikan Mas Ari tidak cukup? Entahlah.

Menjalang sore, saat semua pekerjaan rumah sudah selesai, iseng-iseng aku berselancar di media sosial berwarna biru. Mataku tertumbuk pada sebuah status yang diposting oleh Mbak Murni beberapa menit yang lalu. Aku memang berteman dengannya di media sosial, karena kupikir aku tak punya masalah apapun dengan Mbak Murni. Apa salahnya tetap menjalin silaturahmi?

“Aduh, si sok alim itu bisa-bisanya sok ngajarin anakku. Gak usah sok baik, deh! Baru ngasih lebihan sepuluh rebu aja udah mau ngatur-ngatur anak aku! Aku bisa ngajarin anakku sendiri! Dasar PELAKOR!” Demikian status yang ditulis oleh Mbak Murni. Jantungku langsung berdegub kencang.

‘Astaghfirullah ….’ ucapku dalam hati. Apa maksud kata-kata Mbak Murni ini? Aku memang melebihkan sepuluh ribu untuk Kezia.

Aku mengajarinya untuk bersikap sopan, apakah aku salah? Kupikir aku juga ibunya meskipun ibu tiri. Aku ingin mengajarkan hal baik pada Kezia. Ya Allah, sedih sekali hatiku. Belum lagi kubaca komentar-komentar pedas yang ikut nimbrung di postingan Mbak Murni itu. Mereka yang tidak tahu, langsung ikut mendukung dan menghakimi orang yang dimaksud oleh Mbak Murni. Sesak rasanya dadaku.

“Assalamu’alaiku, Fiza … Mas pulang, Dek!” Terdengar suara Mas Ari di depan rumah. Aku langsung berlari menyambutnya. Kucium tangannya dan mengambil alih tas kerja miliknya.

“Wa’alaikum salam, maaf Fiza tadi lagi rebahan di kamar. Gak dengar suara mobilnya Mas.”

“Gak papa, kamu pasti capek seharian ngurus rumah,” ujarnya sambil tersenyum. Dikecupnya keningku dengan mesra.

“Ya sama aja, Mas juga capek abis pulang kerja. Fiza buatin minum, ya.”

“Oke, deh. Mas mandi dulu, ya.”

“Iya, Mas.”

Setelah Mas Ari selesai sholat dan mandi, aku menyuguhkan segelas teh hangat padanya. Kami duduk di sofa ruang tamu.

“Mas, jangan marah, ya! Fiza mau kasih tau sesuatu.”

“Apa, Dek?” tanya Mas Ari setelah menyeruput teh di cangkir.

“Tadi Kezia dateng, Mas.”

“Minta uang lagi?”

“Iya. Tapi bukan soal itunya, Mas.”

“Soal apa?”

“Kalau Fiza kasih tau Kezia supaya lain kali kalau datang ucap salam, salah, gak, Mas?”

“Ya enggak, lah. Malahan baik.”

“Ooh … ya sudah. Kalau baik, berarti Fiza gak salah.”

“Emang siapa yang nyalahin kamu, sayang?” Mas Ari duduk merapat padaku, dan menjawil hidungku dengan gemas.

“Gak ada, sih, Mas.”

“Kamu jangan boong. Bilang aja, kenapa emangnya?” Kalau sudah didesak begini, aku gak mungkin bisa mengelak lagi.

Aku menyodorkan ponselku pada Mas Ari. Mas Ari membaca status Mbak Murni dan komentar-komentarnya. Entah apa yang diotak-atiknya, lalu dia mengembalikan ponselku.

“Sudah Mas Blokir. Kamu jangan pikirin apapun yang dia bilang. Mas jadi semakin yakin kalau memang Mas gak nyesal sudah menceraikan dia," pungkas Mas Ari.



bukhorigan
dewisuzanna
dewisuzanna dan bukhorigan memberi reputasi
2
923
5
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.