Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

penacintaAvatar border
TS
penacinta
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas! (part 4)
Aku Hanya Minta Semangkuk Mie Ayam, Mas!

#Part 4

Gemetar seluruh tubuhku, jujur baru kali ini aku mendengar suara teriakan marah yang mengarah padaku. Aku menutup telinga seperti orang bingung. Tremor, tak bisa kukendalikan.

“Ibu jangan begitu, dong, sama Arin! Wisnu pikir dengan kami tinggal di sini kita bisa saling menjaga, Bu!”

“Ibu gak butuh menantu seperti dia, kamu seharusnya dulu ikut apa kata Ibu! Menikah sama perempuan yang sepadan dengan kamu! Bukannya perempuan gak jelas kayak gitu!”

“Ibu bicara apa, sih? Wisnu cinta sama Arin, dia perempuan baik-baik. Hidupnya sejak kecil menderita, Bu.”

“Kamu itu bukan cinta, Wisnu, tapi kasihan saja sama dia! Apa hebatnya dia dibandingkan Ratih? Ratih jauh lebih cantik, lebih berkelas, berpendidikan tinggi.”

“Bu, apa Ibu melihat kelebihan Wisnu sehingga patut disepadankan dengan Ratih? Gak bisa, Bu, kami gak sebanding!”

“Justru itu, keluarga kita bakalan terangkat martabatnya jika kamu dengan Ratih!”

“Kalau Ibu seperti ini terus, Wisnu dan Arin lebih baik tidak tinggal di sini lagi, Bu. Hidup kami damai sebelum pindah ke rumah ini.”

“Kamu berani mengancam Ibumu demi perempuan itu, Wisnu?”

“Sudahlah, Bu. Wisnu tak mau lagi berdebat.”

Aku menangis terharu mendengar kata-kata terakhir Mas Wisnu. Itu alasannya mengapa Ibu mertuaku benci sekali padaku. Bukan aku menantu yang dia inginkan.

***

Esok harinya, aku bangun lebih pagi seperti biasanya. Menyiapkan sarapan untuk Mas Wisnu. Semua sudah aku hidangkan di atas meja. Kejadian semalam sudah berusaha aku lupakan. Semoga saja Mas Wisnu benar-benar ingin mengajakku pindah. Biarlah hidup sederhana asalkan kami bahagia. Toh selama kami menikah aku tak pernah melarang Mas Wisnu membagi gajinya sebagian diberikan untuk ibunya. Bahkan aku bisa menabung walau sedikit.

Setelah hidangan siap, aku ke dalam kamar untuk menyiapkan pakaian kerja Mas Wisnu. Setelahnya kuajak ia untuk sarapan.

“Sayur sop kesukaanku,” gumam Mas Wisnu. Wajahnya sumringah, syukurlah iapun sudah melupakan kejadian semalam.

“Bima … ayo sini sarapan!” panggil Mas Wisnu.

“Kayaknya belum bangun, Mas.”

“Ya sudah, Ibu mana?”

“Sepertinya juga belum bangun.”

“Hmm ….” Mas Wisnu berdehem kecil.

Aku menyendokkan nasi dan mengambilkan lauk sayur sop untuknya. Mas Wisnu pun mulai menyuapkan satu sendok nasi ke dalam mulut.

“Cuih! Arin, sayur sop apa ini?” Mas Wisnu mendadak melepeh nasi yang terlanjur masuk ke dalam mulutnya.

“Kenapa, Mas?”

“Ariin … ini asinnya kelewatan, tau?”

“Ma-maaf, Mas. Tapi tadi sudah aku cicipin, dan gak asin,” ucapku tak percaya. Kusendok sedikit kuah sop lalu mencicipinya. Ya Tuhan, benar, ini benar-benar sangat asin.

“Kamu rasain, kan? Gimana, enak?”

“Tapi bener, Mas, tadi gak asin begini.”

“Lah, terus siapa yang kasih garam?”

“Aku gak tau, Mas.”

“Aduh, Rin! Gak selera makan kalau begini. Gimana mau hidup mandiri kalau kamu masaknya jadi begini, Rin?”

Mas Wisnu beranjak, wajahnya berubah masam. Aku merasa ini ada yang tidak beres. Apa mungkin Ibu sempat menyelinap ke dapur untuk menambahkan garam? Tapi aku tak punya bukti apa-apa.

“Jadi, Mas, kapan kita pindah?”

“Rin, kata orang tua dulu, orang hamil itu dilarang pindah. Pamali!”

“Mas, kamu masih percaya sama mitos? Bukannya semalam Mas sendiri yang bilang kita akan pindah?”

“Ck … terserah kamu saja lah!”

“Mas kok begitu ngomongnya?”

“Gini, deh, ya, kita pindah setelah proyek ini selesai. Mas masih harus fokus ngurus kerjaan, Rin. Gak bisa kalau pikiran ini terbagi, Mas gak bisa!”

“Kapan itu, Mas?”

“Sekitar dua bulan lagi.”

“Baik, tapi janji, ya, Mas. Setelah itu kita cari kontrakan lain.”

“Iya!”

Aku terpaksa menurut pada Mas Wisnu. Aku sangat paham pada karakternya, jika ia sudah fokus pada satu hal, maka ia tak bisa membagi fokusnya pada hal lain. Bisa-bisa semuanya buyar. Kupandangi punggung suamiku yang berlalu semakin menjauh, mendo’akan di dalam hati, semoga ia selalu dilindungi. Jujur, kata-kata ibu mertua waktu itu membuatku sangat takut.

“Bagus, ya, Wisnu semakin nurut sama kamu!” Tiba-tiba saja Ibu mertua berdiri di belakangku dengan kedua tangan menyilang di dada.

“Yang aku minta bukan sesuatu yang berlebihan, kok, Bu.” Aku malas menggubris, aku berlalu menuju kamar. Seharian ini aku tak ingin melakukan apa-apa. Pekerjaan wajibku sudah selesai. Menyiapkan sarapan dan mencuci pakaian suamiku.

“Heh, kamu mau ke mana? Mandiin, tuh, si Bima!”

“Ajari dia mandi sendiri, Bu! Dia sudah cukup besar!”

“Kamu berani bantah?”

“Iya, Bu, maaf. Ibu sendiri yang bilang sama Mas Wisnu kalau Arin gak boleh ngerjain apa-apa di rumah ini. Arin nurut saja. Arin memang sedang capek.”

“Arin! Kamu sadar diri, dong! Kamu itu cuma perempuan yang dinikahi anakku karena rasa kasihan!”

“Gak apa-apa, Bu. Apapun alasannya yang penting sekarang kami suami istri. Mas Wisnu wajib melindungi Arin,” ucapku setengah bergetar. Entah kekuatan dari mana yang membuatku berani bicara membantah perkataan Ibu barusan. Jiwaku benar-benar lelah.

“Gara-gara kamu, semalam Wisnu belum kasih Ibu uang!”

“Tenang saja, nanti Arin ingatkan Mas Wisnu. Tapi jangan diminta semua, ya, Bu! Arin juga punya kebutuhan, ingin menabung untuk memepersiapkan kelahiran cucunya Ibu.”

“Gak sudi aku punya cucu dari perempuan macam kamu!”

“Udah terlanjur jadi, Bu, gimana, dong?”

“Kamu ini semakin berani melawan Ibu, ya?” bentaknya lagi.

“Bu, Arin gak pengen juga melawan Ibu, tapi Arin juga gak mau diperlakukan semena-mena. Arin ini manusia juga, Bu, punya perasaan. Ibu juga punya anak perempuan, kan? Mbak Fitri gak akan mungkin selamanya menjanda. Bagaimana perasaan Ibu kalau anak perempuan Ibu diperlakukan begini sama mertuanya?”

“Kamu nyumpahin Ibu?”

“Maaf, Bu. Arin mau istirahat dulu!”

Kututup pintu kamarku sebelum Ibu menahannya. Aku yakin, Ibu tak akan berani main fisik padaku. Kalau sampai itu terjadi, aku pasti tak akan tinggal diam.

“Ariiin … kenapa baju belum kamu cuci?” teriaknya lagi. Aku tak menyahut.

“Sialan kamu, Arin! Ini rumah juga belum kamu sapuin, Arin! Kamu mau makan gratis di rumah in, hah?”

“Pergi kamu dari rumahku, Arin! Menantu tak tahu diri kamu!” teriak Ibu lagi. Aku tetap bergeming.

Meski di dalam hati aku masih merasakan was-was, tapi aku bertahan tetap berada di dalam kamar. Tiba-tiba ponselku berdenting, sebuah pesan chat masuk dari Mbak Dini.

[Dek, kamu lagi apa? mbak VC, ya?] tulisnya.

[Boleh, Mbak.]

Lalu icon panggilan video call pun terpampang di layar ponselku. Bahagia sekali melihat Mbak Dini. Ia kelihatan sehat, cantik. Meski berbeda negara, selisih waktu kami saat ini hanya satu jam saja. Kami mengobrol cukup lama.

“Kamu masih di rumah mertua, Rin?”

“Iya, Mbak.”

“Mertuamu baik, kan?” tanya Mbak Dini. Aku urung menjawab. Tiba-tiba saja pintu kamar digedor dengan keras.

Dor dor dor!!!

“Ariiin … keluar kamu, menantu durhaka!” teriak Ibu. Jelas saja Mbak Dini mendengarnya.

“Arin, apa kata ibu mertuamu barusan?” tanya Mbak Dini dengan dahi berkerut.

“Ng-nggak apa-apa, Mbak.”

“Kamu jangan bohong Arin! Kamu dikatai durhaka, kan?”

“I-iya, Mbak. Arin sama Ibu sedang ada salah paham sedikit.”

“Arin! Mbak gak terima kamu diperlakukan begitu sama mertuamu itu! Kamu ajak suamimu untuk pindah, Rin!”

“Aaariin … kamu itu sengaja, ya? kamu mau jadiin Ibu babu, hah?" Dor dor dor!! Lagi-lagi Ibu menggedor pintu kamar dengan keras. Kali ini sepertinya benda keras yang ia gunakan untuk mengetuk pintu.

“Arin, sudah, kamu jangan bohong sama Mbak! Mbak dengar suara mertuamu itu!”

Aku hanya bisa menangis di depan kamera, suara-suara keras itu membuatku kembali merasa ketakutan, tremor yang tak bisa dikendalikan.

“Arin, kamu jangan diem aja, dong! Emang kamu salah apa?” tanya Mbak Dini tak sabar.

“Aku gak tau salahku apa, Mbak, Ibu memang gak suka sama aku.”

“Terus? Kamu di apain sama ibu mertuamu? Bilang sama Mbak, Rin!”

Aku menggeleng, aku tak mau Mbak Dini jadi kepikiran dengan keadaanku saat ini.

“Wisnu tau kalau Ibunya berbuat kasar sama kamu, Rin? Kamu jangan diem aja, dong! Kalau kamu gak salah, kamu lawan!”

“Aku bertahan karena Mas Wisnu janji kalau kami akan segera pindah, Mbak. Aku gak bisa apa-apa karena aku gak punya ….” Belum selesai aku bicara, Mbak Dini sudah menyahut.

“Keburu kamu mati berdiri, Arin! Ingat, ya, Arin, Mbak gak mau kamu jadi perempuan lemah yang tertindas! Mbak gak rela. Kamu butuh apa? uang? Biar Mbak yang kirim secepatnya supaya kalian bisa segera pindah!”

“Mbak ….”

“Ingat, Arin, jadi perempuan gak boleh lemah! Kamu harus lawan kedzoliman yang kamu alami! Jangan cengeng! Mau sampai kapan kamu ditindas, Arin?”

“Iya, Mbak. Arin janji.”

“Ya sudah, Mbak mau pergi buat kirim uang. Kamu tunggu saja!”

“Mbak, maafin Arin selalu merepotkan Mbak Dini!”

“Sudah, kamu hapus air mata kamu. Ngapain nangis begitu?”

“Iya, Mbak.” Sambungan VC pun terputus. Akhirnya Mbak Dini jadi tahu semuanya, dan Ibu entah pergi kemana. Tak kudengar lagi suaranya.

Namun tak berapa kama kemudian, kudengar suara kasak-kusuk di luar pintu kamar ini. Sepertinya seseorang sedang berusaha membuka kunci pintu dari luar secara paksa. Segera aku membuka pintu, khawatir pintu kamar ini jadi rusak.

Ternyata Ibu, ia langsung menerobos masuk. Ia berjalan cepat menuju ke lemari pakaian. Dengan kasar Ibu menghamburkan semua pakaianku dari dalam lemari.

“Pergi kamu dari rumah ini! Ibu haramkan kamu menginjakkan kaki di rumah ini lagi!” Seketika darahku bagaikan berhenti. Aku diusir dari rumah ini. Tampaknya kekesalan Ibu padaku sudah memuncak. Baik, aku akan pergi!



***
Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata, alurnya memang begitu, tokohnya hanya wanita biasa yang memang terhimpit keadaan, bukan bodoh apalagi lemah. Saya sebagai penulis kisah ini juga yakin sangat banyak wanita di luar sana yang juga mengalami keadaan serupa namun terus berusaha bertahan dan tak sedikit juga yang akhirnya memilih menyerah setelah berusaha sekian lama. Mohon bijaklah dalam berkomentar. Kisah ini saya sajikan gratis tanpa koin, link bisa dicek di berandaku ya. Terima kritik dan saran tentang kaidah kepenulisan yang baik dan benar.

Terima kasih.
bukhorigan
a.rizzky
a.rizzky dan bukhorigan memberi reputasi
2
1K
3
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.