Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Ambisi Jenderal Kandas Karena Ormas Intoleran
Spoiler for Salam:


Spoiler for video:


“Be courteous to all, but intimate with few, and let those few be well tried before you give them your confidence” – George Washington

Ucapan itu disampaikan George Washington di penghujung revolusi AS kepada salah satu keponakannya yang bernama Bushrod Washington, yang saat itu mempelajari hukum di Philadelphia. Bushrod pada akhirnya menjabat di Mahkamah Agung AS. Setelah George dan Martha Washington meninggal, Bushrod pun mewarisi Mount Vernon yang merupakan lahan perkebungan dari Presiden AS pertama tersebut.

Wejangan dari Washington ke keponakannya itu menunjukkan bahwa dalam mencapai suatu tujuan maupun berpolitik kita harus pandai-pandai memilih teman. Sebab teman sejati tumbuh lewat proses yang lama, dan harus mengalami cobaan sebelum dapat disebut sahabat.

Prinsip seperti inilah yang agaknya terlupakan oleh mereka yang gagal mendapatkan posisi penting dalam suatu jabatan. Contohnya pada penunjukkan Panglima TNI yang baru-baru ini diumumkan.

Mengapa bisa begitu?

Sebelum kita mengulas inti dari analisis ini, mari kita tengok pemberitaan tahun lalu, tepatnya pada 3 Juli 2020. Sebuah artikel ilmiah saat itu melaporkan bahwa pengikut Nahdlatul Ulama (NU) memiliki tingkat intoleransi yang sama dengan umat muslim Indonesia pada umumnya, bahkan dalam beberapa hal lebih intoleran.

Artikel ilmiah tersebut ditulis oleh Marcus Mietzner, pengajar ilmu politik Australian National University dan Burhanuddin Muhtadi, dosen ilmu sosial dan politik UIN Syarif Hidayatullah. Secara ringkas, Mietzner dan Muhtadi mengatakan bahwa klaim NU sebagai penopang pluralisme dan toleransi tidak sejalan dengan temuan data survei.

Sebab saat Pemilu 2019 lalu, NU selalu mendeklarasikan diri sebagai pembela pluralisme dan toleransi. Namun, data Mietzner dan Muhtadi justru memperlihatkan bahwa sebagian besar pengikut NU intoleran.

Data yang mereka berdua gunakan adalah data Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada September 2019. Selain survei tersebut, mereka juga membandingkannya dengan data survei dari lembaga yang sama tahun 2010, 2016, dan 2018. Menurut data itu, berdasarkan aspek kultur maupun politik, intoleransi beragama di Indonesia meningkat sejak 2017.

Pada 2017, keberatan terhadap pendirian rumah ibadah non-Islam tercatat 48%, lalu pada 2018 dan 2019 naik menjadi 52% dan 53%. Data LSI dari responden yang mengaku pengikut NU ternyata menunjukkan tren yang sama.

Peningkatan sejak tahun 2017 menunjukkan bahwa tahun itu menjadi catatan penting dalam dinamika intoleransi Indonesia. Sebab pada tahun itu, Basuki Tjahaja Purnama, mendapat hukuman penjara dengan tuduhan penistaan agama serta gagal untuk duduk kembali di kursi orang nomor 1 DKI.

Mietzner dan Muhtadi menjelakan temuan peningkatan intoleransi di NU berkaitan dengan perilaku elite NU sejak ormas Islam terbesar di Indonesia itu berdiri. Elite NU merupakan pihak yang terbuka terhadap pengaruh tradisi lokal, seperti menghormati leluhur. Namun keterbukaan ini berkaitan erat dengan kepentingan ekonomi politik karena tujuan dari sejumlah kyai menidirikan NU pada 1926 adalah respons terhadap gerakan Islam modernis Muhammadiyah yang terjadi pada 1912.

Muhammadiyah, yang mengikuti pandangan-pandangan Timur Tengah menilai praktik keagaman yang dicampuradukkan dengan tradisi lokal sebagai praktik sesat, yang tentunya mengancam eksistensi dan legitimasi kyai-kyai di mata para pengikutnya.

Demi kepentingan ekonomi politik pula, pada masa awal kemerdekaan, NU cenderung berkoalisi dengan kelompok nasionalis ketimbang partai Islam. Berkat koalisi tersebut, NU mendapat jatah posisi menteri agama.

Retorika serupa dilakukan ketika NU dipimpin Gus Dur, yang dianggap paling berjasa dalam melakukan transformasi di tubuh NU. Gus Dur memang mengubah pandangan ideologi politik NU dari negara Islam ke model negara yang menghormati ragam agama. Namun menurut kedua peneliti, hal itu bukanlah semata karena komitmen terhadap pluralisme, melainkan buah kesepakatan Gus Dur dengan pemerintahan Soeharto.

Soeharto mewajibkan Pancasila sebagai dasar organisasi agar dapat mengontrol kekuatan Islam. NU pun menerima kewajiban itu agar NU tetap memiliki posisi dalam pemerintahan Soeharto.

Kini, NU mengampanyekan “Islam Nusantara” sebagai payung bagi advokasi toleransi dan pluralisme. Menurut Mietzner dan Muhtadi wacana ini tidak bisa dilepaskan dari kepentingan ekonomi-politik. Kampanye Islam Nusantara pula yang akhirnya diadopsi Presiden Jokowi guna menjelaskan konsep Islam moderat semasa kampanye. Hasilnya, Maruf Amin yang saat itu memiliki posisi tinggi di PBNU dipilih sebagai wakil presiden.

Sehingga Mietzner dan Muhtadi mengambil kesimpulan bahwa wacana toleransi di tubuh NU tak bisa dilepaskan dari upaya NU melawan pesaing politik dan mengamankan kepentingan politik, ketimbang gerakan organik.

Sumber : Suara[Studi Terbaru Temukan NU Ormas Intoleran, Benar Demikian?]

Pertanyaannya, apakah ada bukti dari intoleransi NU tersebut?

Mietzner dan Muhtadi mengatakan pada karya ilmiah mereka bahwa peningkatan intoleransi NU terlihat jelas dari 2017 saat kasus Ahok dan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya. Masih teringat jelas pada kasus Ahok, bahwa ada video Maruf Amin yang mengatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama sebagai sumber konflik dan harus dihabisi.

“Menurut saya, Ahok itu sumber konflik. Bangsa ini akan konflik, tidak akan berhenti kalau Ahok tidak.... Maka itu.. Maka itu Ahok harus kita habisi... Itu sudah pakainya fikih siyasah namanya,” ujar Maruf saat berbincang dengan beberapa ustaz.

Sumber : Detik [Ma'ruf Amin Jelaskan Video Viral 'Ahok Sumber Konflik, Harus Dihabisi']

Bukankah itu tidak sesuai dengan tagline NU soal terdepan dalam toleransi lewat Islam Nusantara? Bukankah itu justru menunjukkan bahwa NU sebenarnya intoleran namun demi kepentingan politik, elite NU mengaku paling toleran?

Warna asli NU yang intoleran dan chauvinsime makin terlihat pada pernyataan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj 17 Oktober 2021 lalu. Saat itu Kyai Said mengatakan bahwa jabatan yang menyangkut agama, baik itu Menteri Agama maupun Majelis Ulama Indonesia (MUI) harus diduduki oleh orang NU. Pasalnya jika tidak dipegang NU, maka akan salah semua.

Sumber : Liputan 6 [KH Said Aqil: Jabatan Agama Harus NU Semua yang Pegang, Kalau Tidak Salah Semua Nanti]

Pernyataan tersebut pun makin diperkuat oleh ucapan Menag Yaqut yang membantah Kemenag adalah hadiah untuk umat Islam. Menurut Ketua GP Ansor ini, Kemenag justru didirikan sebagai hadiah bagi NU.

Sumber : CNN Indonesia [Yaqut Kontroversial, Anwar Abbas Serukan Pembubaran Kemenag]

Tentu banyak yang akan membantah soal intoleransi NU, namun ketiga pernyataan dari elite NU yang telah dipaparkan di atas justru makin memperkuat penelitian dari Mietzner dan Muhtadi bahwa NU sebenarnya ormas Islam yang intoleran namun mengusung tagline Islam Nusantara dan paling toleran hanya demi kepentingan politik, bukan sikap organik.

Sikap intoleransi ini tidak akan menjadi masalah jika dalam lingkup kelompok. Akan tetapi, dalam lingkup suatu negara, sikap yang mementingkan chauvinsime - sektarianisme kelompok tersebut amat berbahaya, terutama bagi rakyat Indonesia yang bersifat plural.

Itulah mengapa, Presiden Jokowi justru memilih KSAD Andika Perkasa sebagai Panglima TNI yang baru.

Loh, apa hubungannya dengan penunjukkan Panglima TNI?

Kita ketahui, pada awal kepemimpinan Presiden Jokowi, ia terus menerus menekankan pentingnya Indonesia sebagai negara maritim. Tapi mengapa selama kepemimpinannya, ia belum pernah menunjuk Panglima TNI dari matra laut? Bukankah seharusnya setelah Panglima TNI Hadi, ia memilih KSAL Yudo Margono menjadi Panglima TNI baru? Selain tradisi rotasi antar matra yang seharusnya giliran matra laut, juga soal keinginan dari presiden memperkuat Indonesia dalam bidang maritim.

Ada banyak faktor yang menjadi pertimbangan, mulai dari soal penanganan terorisme, hingga pergerakan geopolitik di perairan dalam Indonesia. Namun, faktor yang menjadi sorotan di tulisan kali ini adalah soal kedekatan KSAL dengan NU.

Pada 19 September 2021 lalu, Wapres Maruf Amin sempat salah ucap menyebut KSAL Yudo Margono sebagai Panglima TNI. "Hari ini saya hadir di Pondok Pesantren An Nawawi Tanara, Serang, Banten untuk mengikuti vaksinasi yang diselenggarakan oleh TNI Angkatan Laut bersama dengan pemerintah daerah. Dan ada Bapak Panglima hadir di sini. Eh, Bapak KSAL," ujar Ma'ruf.

Sumber : Tempo [Cerita Ma'ruf Amin Panggil KSAL Yudo Margono Sebagai Panglima TNI]

Jubir Wapres Masduki Baidlowi lantas mengklarifikasi ucapan wapres sebagai salah ucap biasa dan meminta agat tak dianggap serius.

Namun dalam politik, momen seperti itu justru menunjukkan bahwa ada kedekatan antara NU dengan KSAL. Hal tersebut dapat diartikan bahwa dalam mendapatkan kursi Panglima TNI, KSAL sudah mendapatkan dukungan dari Wapres, yang berarti dukungan dari NU.

KSAL dan NU tengah membentuk simbiosis politik, dimana KSAL berharap jalannya menuju Panglima TNI semakin mulus dan NU berharap kepentingan politiknya nanti jika KSAL menjadi Panglima TNI akan semakin mudah dilaksanakan.

Sumber : Tempo [Cerita Ma'ruf Amin Panggil KSAL Yudo Margono Sebagai Panglima TNI]

Namun, pihak istana tidak akan mau, kepentingan negara disetir oleh ormas yang intoleran, bukan? Padahal mungkin jika KSAL fokus pada tugasnya semata, dialah yang dipilih menjadi Panglima TNI.

Kini, sepeninggal Jenderal Andika menjadi Panglima TNI, tentu menjadi pertanyaan, siapa yang akan menduduki posisi orang nomor wahid di Angkatan Darat?

Ada dua naman perwira tinggi TNI bintang tiga yang menguat, yakni Pangkostrad Letjen Dudung Abdurachman dan Kasum TNI Letjen Eko Margiyono.

Sumber : Detik [Letjen Dudung Abdurachman Vs Letjen Eko Margiyono di Bursa KSAD]

Jika kita melihat sikap istana yang tidak inginkan ormas intoleran mendapatkan kekuatan yang lebih besar dalam politik, maka KSAD baru tidak akan jatuh ke tangan Pangkostrad, melainkan ke Kasum TNI.

Sebab pada 5 Oktober 2021 lalu, Pangkostrad Dudung ternyata mengunjungi Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj. Bertepatan pula dengan momentum peringatan HUT ke-76 TNI.

Sumber : Sindonews [Letjen TNI Dudung Abdurachman Temui Ketum PBNU KH Said Aqil Siradj, Ada Apa?]

Setelah pertemuan tersebut, tepatnya pada 13 Oktober 2021, di acara pelepasan secara simbolis 183 ribu paket sembako dari alumni AKABRI ’89 di Mabes TNI Cilangkap, ada pemandangan menarik. Yakni di acara yang notabenenya adalah acara Angkatan, ada Ketum PBNU Said Aqil turut serta.

Saat itu Panglima Hadi dan Kyai Said berpamitan dengan para perwira tinggi TNI-Polri alumni AKABRI ’89. Panglima Hadi sempat berkelakar terkait pelaksanaan vaksinasi yang masih berlangsung di Mabes TNI bahwa ia mau jalan dulu dengan Pak Kyai, nanti ia doakan dari atas.

Sumber : Tribunnews [Panglima TNI Supiri Ketum PBNU: 'Saya sama Pak Kiai mau Jalan dulu, nanti Saya Doakan dari Atas']

Ucapan tersebut kemungkinan besar adalah kode, bahwa Kasum TNI yang turut serta saat itu adalah pihak yang Panglima TNI doakan untuk menggantikan posisi Andika Perkasa. Itu adalah kode kepada Said Aqil bahwa Panglima TNI justru mendukung Letjen Eko Margiyono ketimbang Letjen Dudung yang telah merapat pada ormas intoleran.

Oleh karena itu, seandainya analisa tentang istana yang berupaya menjauh dari kepentingan ormas intoleran tepat, maka mustahil Letjen Dudung menjadi KSAD. KSAL yang seharusnya sejalan dengan impian kekuatan maritim Jokowi serta tradisi rotasi antar matra saja bisa gagal dalam bursa Panglima TNI akibat salah memilih ‘teman’, apalagi Pangkostrad Dudung Abdurachman.






Diubah oleh NegaraTerbaru 06-11-2021 06:27
satyadimitri
ashrose
jazzcoustic
jazzcoustic dan 4 lainnya memberi reputasi
5
2.8K
13
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.