Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

museonindonesiaAvatar border
TS
museonindonesia
Lelaki Tua dan Laut : Tegangan Kehidupan
NOVEL Lelaki Tua dan Laut yang saya baca ini merupakan novel terjemahan Sapardi Djoko Damono, terbitan Kepustakaan Populer Gramedia, tahun 2016. Judul aslinya adalah The Old Man and The Sea (1952) karya dari seorang prosais terkenal asal Amerika; Ernest Hemingway. Karya-karyanya antara lain The Sun Also Rises, For Whom the Bell Tolls, The Farewell to Arms, ditambah lagi dengan cerpen-cerpennya yang sering dibicarakan seperti Nick Adams, Hills Like White Elephants, dan masih banyak lagi.
 
Dari sekian banyak karyanya, novel Lelaki Tua dan Laut inilah yang menghantarkan Ernest Hemingway meraih Nobel Sastra pada tahun 1954, setelah pada tahun sebelumnya, 1953, Ernest Hemingway meraih Hadiah Putlitzer.
 
Banyak hal yang bisa kita gali dari novel Lelaki Tua dan Laut ini. Salah satunya adalah simbol-simbol yang ada di dalam cerita novel ini seperti lautan, pantai, ikan-ikan, ombak, dan masih banyak lagi. Hemat saya, setelah membaca novel ini, simbol-simbol tersebut merupakan simbol-simbol yang mewakili kehidupan itu sendiri. Misal, lautan, yang menjadi latar utama dalam cerita novel ini, adalah representasi dari kehidupan. Sebagaimana halnya lautan, kehidupan adalah sesuatu yang indah dan sekaligus mengerikan pada saat yang bersamaan. Kita melihat lautan sebagai sesuatu yang indah karena ia menawarkan pemandangan indah seperti perahu nelayan yang merangkak di garis cakrawala yang memisahkan bumi dan langit, juga semilir angin dan debur ombak di tengah pantai; sebuah lanskap yang bisa membuat kita terdiam, saat-saat tak ada celah bagi kata-kata. Akan tetapi, di saat yang bersamaan, kita juga dapat merasakan sesuatu yang tampak “mengerikan” ketika memandang lautan; ombaknya yang bergulung-gulung indah itu punya kesempatan untuk menyeret kita. Dalam novel ini, kita bisa melihat bagaimana Santiago bergumam tentang watak lautan:
 
Laut memang baik hati dan indah. Tetapi ia bisa sangat kejam dan itu tiba-tiba saja datangnya sedangkan burung-burung yang terbang menukik ke air dan berburu, dengan suara lirih dan sedih adalah terlalu lembut untuk laut.” (hlm. 18)
 
Novel Lelaki Tua dan Laut ini menyuguhkan kisah tentang seorang lelaki tua renta bernama Santiago. Dia adalah seorang lelaki tua yang baik, seorang lelaki tua yang begitu dekat dengan lautan, seorang lelaki tua yang menyerahkan sisa-sisa hidupnya untuk bercengkrama dengan lautan. Kita bisa melihat ini sebagaimana narator pada awal cerita memberitahukan kita bahwa Santiago sudah delapan puluh hari lebih menghabiskan waktunya untuk memancing. Inilah, yang bagi saya, merupakan salah satu hal yang menarik dalam novel ini. Biasanya, di awal cerita dari novel-novel yang biasa kita baca, pertama-tama narator dalam bercerita menginformasikan latar belakang dan karakter dari tokoh utama. Novel Lelaki Tua dan Laut ini justru menampilkan tokoh-tokoh yang tidak jelas latar belakangnya. Saya tidak terlalu yakin, apakah Santiago, lelaki tua renta itu masih memiliki keluarga atau tidak? Dia memang memiliki keluarga, akan tetapi, narator memberitahu latar belakang Santiago itu dalam suasana nolstagia yang terdengar sendu, kenangan-kenangan menyenangkan yang hanya terjadi di masa lalu yang tak akan bisa terulang kembali.
 
Dalam benak saya ketika membaca novel ini, saya merasa bahwa lelaki tua itu, Santiago, adalah seorang lelaki tua yang malang, tidak punya kerabat ataupun teman, mirip seperti kakek-kakek yang kesepian di panti jompo. Terasa suatu sikap pasrah, akan tetapi tidak terdengar retak; tegar. Satu-satunya tokoh yang mempuyai hubungan dengan Santiago adalah seorang pemuda bernama Manolin. Manolin begitu perhatian terhadap Santiago, dia adalah tokoh yang baik. Yang menariknya adalah, Manolin tidak memiliki keterikatan biologis dengan Santiago. Biarpun begitu, kita akan merasakan betapa Manolin sangat menyayangi Santiago, semacam hubungan anak yang mencintai ayahnya, juga sebaliknya. Bagi saya, hubungan Santiago dan Manolin sangatlah misterius, mengundang banyak pertanyaan, siapa mereka? Apa hubungan mereka? Bahkan, pada akhir cerita hubungan Santiago dan Manolin yang sulit dipecahkan itu tiba-tiba menjadi mendebarkan, menegangkan, dan mengangkat bulu kuduk, karena perasaan sedih yang tak sulit dikatakan. Inilah hal menarik lainnya dalam novel ini. Akhir cerita dari novel ini menggantung, semacam akhir yang merupakan sebuah awal, epilog yang diam-diam menjadi prolog. Oleh karenanya, cerita pun berlanjut, tetap hidup di dalam benak pikiran; makna-makna bermunculan.
           
Terlepas dari itu, saya menyukai novel ini karena penyajiannya yang sederhana, tidak bertele-tele semacam pemborosan kata-kata. Biarpun demikian, kita bisa menangkap perasaan estetis, lalu membayangkannya. Barangkali di sinilah letak kelebihan sastra. Ia tidak seperti lukisan ataupun seni-seni visual lain yang menyerahkan dirinya secara utuh, sedangkan sastra menyerahkan dirinya secara perlahan-lahan, kata demi kata, kalimat demi kalimat, dan tiba-tiba kita pun tersentak. Dalam novel ini kita bisa melihat ketika Santiago dan Manolin berbicang-bincang hangat mengenai topik-topik sederhana di dalam kapal sambil makan. Kita diberitahu bahwa saat itu bahwa hari sudah malam, lalu tiba-tiba paragraf akhir memberitahu:
 
Anak laki-laki itu pergi. Tadi mereka berdua makan tanpa ada lampu di meja dan lelaki tua itu melepaskan celana lalu bersiap tidur dalam gelap. Celana itu digulungnya untuk bantal, koran untuk ganjal di dalamnya. Ia menyuruk dalam selimut dan tidur di atas koran-koran tua yang menutup per-per dipannya.” (Hlm. 14)
 
Bulu kuduk saya tiba-tiba merinding, terkejut karena tidak menyangka bahwa ternyata saat itu mereka berbincang-bincang hangat dalam tempat yang remang-remang. Ya, kesederhanaan, kebahagiaan, canda dan tawa, tidak mesti berada di tempat-tempat mewah. Pun selain itu, dari kutipan di atas, kita bisa merasakan perasaan liris yang disampaikan dengan kata-kata yang sederhana, namun mengena. Dalam hal ini saya mesti berterimakasih pada penerjemah, Sapardi Djoko Damono. Kentara di situ sentuhan kepenyairannya; suasana liris yang disampaikan dengan cara sederhana, dan emosi menggebu-gebu tidak menunggangi kata-kata. Biarpun begitu, penggambarannya sangat kuat, kata-kata yang digunakan memiliki kekuatan membangkitkan perasaan estetis. Misal, kata “menyuruk” di situ cukup membuat saya terdiam membayangkannya untuk beberapa saat.
 
Biarpun novel ini cukup singkat, tidak sampai seratus halaman, namun, setiap kalimatnya benar-benar kuat, penuh citra-citra yang sering menyentak. Pada awal-awal, saya tidak terlalu “mengunyah-memamah” setiap suapan-suapan kalimat yang disuguhkan, karena saya kira, premis-premis dalam cerita novel ini tidak terlalu penting. Apa lagi saat pertengahan cerita, sebab di situ hanya menampilkan monolog-monolog Santiago di tengah-tengah laut. Misal, dia menggumamkan tentang penyu yang melintasi perahunya, monolognya terasa tidak penting. Akan tetapi, monolog tentang penyu itu tiba-tiba, dan ternyata, menjadi semacam metafor yang gamblang tentang hidup yang patah:
 
Kebanyakan orang bersikap dingin saja terhadap penyu sebab jantung penyu masih juga berdenyut meski setelah beberapa jam disembelih dan dipotong-potong. Jantungku seperti jantungnya dan tangan serta kakiku seperti tangan dan kakinya juga, pikir lelaki tua itu.” (Hlm. 24)
 
Saya pun akhirnya menyadari, monolog-monolog di pertengahan cerita dari novel ini adalah hal yang paling menarik. Santiago memang seorang nelayan, senang menangkap ikan. Kepergiannya ke laut bukanlah semata-mata karena dia senang menangkap ikan. Dia tidak seperti nelayan-nelayan kebanyakan yang menangkap ikan demi mata pencaharian semata. Dalam hemat saya, laut baginya adalah penghayatan atas kehidupan; sebuah tempat untuk mengasingkan diri dari dunia yang bising. Kita lihat kutipan di bawah ini:
 
Ia memandang lepas ke laut dan menyadari betapa sepi sendiri ia kini. Tetapi disaksikannya prisma-prisma dalam air yang dalam dan kelam, tali yang melereng lurus ke air dan ketenangan tanpa batas yang terasa asing.” (Hlm. 44)
 
Apa maksudnya “Ketenangan tanpa batas yang terasa asing”? Ketenangan macam apa yang tak bisa dikenal? Apakah memang ada ketenangan yang tanpa batas? Jangan lupa, Santiago adalah seorang lelaki tua, seorang yang telah letih atas kehidupan. Akan tetapi, kita juga jangan lupa, Santiago tetap melawan ketika ikan-ikan hiu menyerang perahunya yang rapuh dan ikan-ikan hasil tangkapannya. Ikan-ikan hiu yang ada di dalam cerita novel ini adalah simbol dari tantangan yang ada dalam kehidupan. Kita akan lihat, Santiago tetap melawan mereka, biarpun pada akhirnya dia mengakui bahwa dia kalah. Saya ingin meminjam larik terkenal dari puisi Chairil Anwar untuk menyimpulkan tulisan ini:
            “Hidup hanya menunda kekalahan
 
 
Selamat membaca, dan selamat menjadi bagian sastra kelas dunia!
 
 
 
 
Hemingway, Ernest. 2016. Lelaki Tua dan Laut (diterjemahkan oleh Sapardi
Djoko Damono). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. 116 halaman 

Penulis M Arip Apandi
Editor Minfadly Robby

Versi Website Lelaki Tua


0
1.4K
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.