Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

  • Beranda
  • ...
  • Buku
  • Review Buku Wisanggeni (Sang Buronan), Kisah Pewayangan yang Memukau

YenieSue0101Avatar border
TS
YenieSue0101
Review Buku Wisanggeni (Sang Buronan), Kisah Pewayangan yang Memukau
Review Buku Wisanggeni (Sang Buronan), Kisah Pewayangan yang Memukau


Judul : Wisanggeni (Sang Buronan)
Penulis : Seno Gumira Ajidarma

*ini lebih mirip seperti rangkuman plus curhatan pribadi, jadi jika tidak obyektif dan terkesan bertele-tele harap maklum.

Saya baru pertama kali ini membaca novel yang berkisah tentang wayang. Buku berketebalan 194 halaman ini saya dapat dari seorang teman jauh yang memberikan secara cuma-cuma buku-bukunya. Plak! Jangan ngayal. Saya cuma membaca hasil jepretan per halaman di layar smartphone.

Menurut saya, ini salah satu alternatif yang bagus jika kamu ingin membaca suatu buku tetapi tak terbeli dan kebetulan temanmu(yang rumahnya jauh) memilikinya tetapi tak mungkin memaketkannya dengan ikhlas padamu. Minta saja dia memotret per halaman dengan kamera smartphone-nya dan kirim via whatsapp atau BBM, atau Mesengger, atau Line, atau Wechat, atau Email, atau dan atau yang lainnya. Betapa canggihnya teknologi jaman sekarang sehingga memungkinkan kita untuk berbagi apa saja di dunia maya dengan mudah.

Oke. Back to the topic!
Yep! Jadi, singkat cerita saya berhasil merampungkan membaca buku karya Seno Gumira Ajidarma tersebut hanya sekelebatan saja. Kurang dari satu jam. Secepat itukah? Selain karena jumlah halamannya tak sampai 200-an halaman, ada beberapa paragraf yang sengaja saya skip. Kenapa? Nanti saya jelaskan.

Karena saya tidak memegang fisik bukunya, jadi tidak akan membahasnya. Mengenai sampul, saya kurang tertarik karena pada dasarnya memang tidak suka wayang. Jadi, ilustrasi wayang di sini malah membuat tidak menarik. Menurut saya loh ya. Kan ini review ala saya. Hahah. Tetapi seperti kata pepatah : dont judge book by the cover, maka saya memutuskan untuk mengenal buku ini lebih dekat dengan mencoba membaca isinya.

Buku ini terdiri dari tujuh bab. Bab pertama berjudul : Pertarungan Cahaya. Dari judul ini saya sudah bisa menebak pasti isinya tentang peperangan dengan saling mengeluarkan ajian-ajian khas wayang. Meskipun tidak suka wayang, tetapi masa kecil saya dicekoki wayang terus di kampung halaman jadi ingat sedikit-sedikit. Ini semacam nostalgia bagi saya.

Benar saja, baru membaca beberapa paragraf sudah disuguhi peperangan antara seorang yang mengaku Utusan Dewa dan seorang pemuda berangasan berpakaian compang-camping layaknya pengemis yang kemudian diketahui bernama Wisanggeni, si tokoh utama. Ceritanya, Wisanggeni ini dikejar-kejar para Utusan Dewa untuk dibunuh. Alasannya adalah karena dia anak yang tak dikehendaki. Anak yang lahir di luar rencana.

Sekedar informasi, Wisanggeni adalah anak dari seorang manusia bernama Arjuna dan seorang bidadari Khayangan bernama Dewi Darsanala (Dresanala, setelah saya googling). Para Dewa beranggapan bahwa anak dari manusia dan dewa tidak layak untuk hidup karena merupakan aib. Dan juga, jika Wisanggeni dibiarkan hidup maka akan merusak ketetapan takdir. Maka, jadilah Wisanggeni diperlakukan seperti buronan yang dikejar ke sana ke mari. Tetapi, seperti biasa, dia selalu bisa mengalahkan para Utusan Dewa dengan mudah.

Pada bab berikutnya muncullah tokoh inti ke dua yaitu Hanuman. Seekor monyet putih dari pertapaan Kendalisada. Wisanggeni tanpa sengaja bertemu Hanuman ketika melayang-layang di angkasa. Dia mengira Hanuman adalah Utusan Dewa yang mengejarnya, jadi tanpa ba-bi-bu Wisanggeni langsung menyerangnya.

Pada akhirnya dia tahu bahwa Hanuman bukanlah Utusan Dewa. Dia menceritakan siapa dirinya dan apa tujuannya. Hanuman serta merta tak percaya bahwa dia adalah anak dari Arjuna dan Dresanala. Hanuman beranggapan bahwa Wisanggeni berbicara ngawur. Mana mungkin bayi yang baru beberapa waktu lalu digendongnya kini sudah tumbuh dewasa dengan cepat?

Peperangan pun kembali terjadi. Terus terang, sampai sini saya sedikit bosan. Bayangkan, dalam dua bab saja sudah terjadi tiga peperangan. Saya tak mau repot-repot membayangkan bagaimana Wisanggeni meluncur ke angkasa, bersalto, mengeluarkan ajiannya, dan bla-bla-bla. Itulah alasan saya meng-skip beberapa paragraf yang menggambarkan peperangan.

Lanjut.

Oke. Saat berikutnya Sri Kresna muncul. Dia adalah tokoh inti ke tiga yang menurut saya paling berperan dalam perjalanan kisah Wisanggeni. Dia adalah Dewa berkulit hitam yang diagungkan dan memiliki sifat bijaksana.

Sri Kresna datang untuk melerai peperangan yang terjadi karena kesalahpahaman tersebut. Setelah dialog singkat, dia meyakinkan Hanuman bahwa Wisanggeni adalah benar anak dari Arjuna dan Drasanala. Usut punya usut, ternyata Sri Kresna lah yang memberikan nama untuk bayi mereka.

Wisanggeni sudah tak sabar untuk mendengarkan kisah asal usul dirinya tetapi Sri Kresna menunda ceritanya. Dia mengatakan ada masalah yang lebih penting.

Di kejauhan sana, di salah satu tempat yang sunyi dan gersang, Arjuna sedang bertarung melawan tiga ksatria bergelar Tri Eka Sakti. Mereka adalah lawan yang sangat sakti, tidak bisa dikalahkan dan tidak bisa mati.

Dalam keadaan terdesak, Sri Kresna, Hanuman dan Wisanggeni datang membantunya. Setelah Tri Eka Sakti berhasil dikalahkan, mereka berempat (Sri Kresna, Hanuman, Wisanggeni dan Arjuna) duduk bersama dan kisah asal-usul Wisanggeni pun dimulai.

Hanuman berkisah, ketika Arjuna diusir dari Khayangan, dia sendirilah yang membantu persalinan Dewi Darsanala di pertapaan sunyi. Ketika pada akhirnya bayi itu lahir, Hanuman membawanya ke luar pertapaan dan menaruhnya di atas daun talas yang diberi mantera perlindungan. Hanuman kembali ke pertapaan dan merawat Darsanala yang pingsan usai persalinan.

Beberapa saat kemudian, Hanuman dibuat berang karena bayi itu hilang. Dia terheran-heran, siapakah orang sakti yang berhasil mematahkan mantera perlindungannya yang kuat. Serta merta dia teringat Gendeng Pramoni, batari penghuni Setra Ganda Mayit yang memiliki dendam terhadap Dresanala dan Arjuna.

Anaknya sulungnya, Dewasrani pernah meminta untuk memperistri Dresanala tetapi Dewata telah menikahkan Dresanala dengan Arjuna sebagai hadiah atas kemenangannya terhadap Niwatakawaca. Selaku orang tua, tentu Pramoni tak terima dengan keputusan tersebut. Bahkan dia nekat menculik Dresanala pada waktu itu. Jadi, bisa saja kali ini Pramoni melakukan hal serupa dengan mencuri bayi itu.

Di tempat terpisah, di angkasa tepatnya, Sri Kresna tanpa sengaja melihat Batara Brahma terbang sambil membawa seorang bayi. Penasaran, Sri Kresna membuntutinya. Sementara di kejauhan dia mendengar amukan Hanuman. Dalam dilemanya apakah harus membuntuti Batara Brahma atau menghentikan amukan Hanuman, akhirnya Sri Kresna membelah dirinya menjadi dua. Satu mengejar Hanuman dan satu lanjut membuntuti Batara Brahma.

Sri Kresna yang mendatangi Hanuman mendapat penjelasan bahwa Hanuman telah kehilangan bayi Dresanala yang kemungkinan dicuri Gendeng Pramoni. Kera putih itu sudah bersiap mengobrak-abrik Setra Ganda Mayit setelah kemudian dicegah Sri Kresna dengan mengatakan bahwa bayi itu masih hidup dan menjamin keselamatannya. Hanuman pun kembali ke pertapaan sunyi Kendalisada untuk merawat Dewi Dresanala.

Sementara itu, Sri Kresna yang membuntuti Batara Brahma telah sampai di angkasa di atas laut. Batara Brahma selaku kakek dari bayi itu ditugaskan untuk membunuh cucunya sendiri. Dengan perasaan yang masygul dia mengeluarkan bisa dengan menggigit leher bayi kemudian menjatuhkannya di lautan. Kalau versi Google yang kemudian saya ubek-ubek setelah membaca buku ini, bayi itu tidak dibuang ke laut, tetapi dijatuhkan di atas kawah Candradimuka dan dijadikan mainan para Dewa. Entah yang mana yang benar.

Setelah bayi itu terlempar, lautan mendadak menjadi merah penuh dengan bisa api. Segala makhluk hidup yang ada di lautan mati kecuali bayi itu. Dia tetap hidup dan melayang-layang di lautan. Usut punya usut, ternyata Batara Brahma tidak tega membunuh cucunya sehingga dia tidak menggunakan bisanya untuk menyakiti si bayi. Keterangan ini saya dapat dari obrolan Sahyang Antaboga, penguasa pertapaan Saptapratala yang berada di dasar laut dan Batara Baruna, sang Dewa Laut.

Kekacauan di lautan mau tak mau membuat mereka berdua keluar dari kediamannya untuk melihat apa yang terjadi. Keduanya menemukan bayi tak dikenal melayang di lautan dan bertanya-tanya. Sri Krisna yang sedari tadi menyaksikan perbuatan Batara Brahma pun mendatangi mereka. Dia menjelaskan tentang siapa si bayi dan meminta mereka untuk merawatnya. Hyang Antaboga dan Batara Baruna menyanggupinya. Saat itulah kemudian Sri Kresna memberi nama Wisanggeni pada bayi itu, berdasarkan kejadian yang mengiringinya. Wisanggeni berarti wisa geni, atau bisa api.

Nah, dari sini pengetahuan saya jadi bertambah-tambah. Tentang siapa Wisanggeni, asal usul namanya dan kisahnya. Selama ini saya hanya pernah mendengar nama Wisanggeni sebagai tokoh wayang, tetapi tak tahu dia siapa. Saya harus berterima kasih pada buku ini. Heheh.

Oke. Lanjut.

Dari situlah akhirnya Wisanggeni dirawat dan dibesarkan oleh Hyang Antaboga dan Batara Baruna. Dia tinggal di pertapaan bawah laut, Saptapratala dan mewarisi ilmu-ilmu dari keduanya. Dia tumbuh menjadi dewasa dengan cepat dan memiliki kesaktian tiada tanding. Setelah dewasa, dia berkelana demi mencari jati diri dan asal-usulnya. Dan Sri Kresna lah sang Dewa yang mengetahui segalanya.

Dari Sri Kresna, Wisanggeni akhirnya tahu alasan kenapa para Dewa ingin membunuhnya. Mendengarnya, dia murka. Tidak terima dengan anggapan Dewata bahwa dia adalah aib, Wisanggeni pun berontak. Dia terbang ke Suralaya dan mencari Sang Dewa dari segala Dewa, Hyang Pramesti.

Di sana, peperangan pun terjadi. Wisanggeni yang disusul Hanuman telah membuat kekacauan di istana para dewa. Seperti biasa, saya skip bagian ini karena agak membosankan. Oke. Lanjut.

Hyang Pramesti alias Manikmaya yang terdesak dengan serangan Wisanggeni, memutuskan turun ke bumi menemui Ismaya, kakaknya untuk meminta pertolongan.

Ismaya, dalam jagad pewayangan biasa kita kenal dengan nama Semar. Dia adalah seorang abdi Arjuna. Meskipun hanya seorang abdi, tetapi dia memiliki kebijaksanaan yang di luar batas pemikiran orang awam. Saya menyebutnya begitu karena kesulitan menyebutkan seperti apa Semar ini. Pada dasarnya, dia adalah inti dari segala kebijaksanaan hidup. Oke, saya tidak akan membahas Semar karena tahu tak akan sanggup. Satu yang perlu kalian tahu, saya sangat terkagum-kagum dengan penuturan seorang Semar di sini. Kalau penasaran, silakan baca sendiri bukunya. Heheh.

Singkat cerita, Hyang Pramesti yang mendapat nasihat dari Semar akhirnya menyadari kesalahannya dan kembali ke Suralaya. Sementara Wisanggeni, kini berhadapan dengan Semar. Seperti Batara Guru, dari penuturan-penuturan sederhana Semar, akhirnya Wisanggeni menjadi sadar. Dia pergi melayang-layang di angkasa dengan gelisah. Kenapa pula takdir tidak menginginkan dia tetap hidup?

Pada bab terakhir yang berjudul : Lenyap Dari Jagat Pewayangan, membuat hati saya berdebar-debar. Apakah pada akhirnya Wisanggeni harus lenyap demi tatanan takdir yang telah digariskan? Apakah dia bunuh diri? Apakah dia menyerahkan nyawanya pada Dewata? Apakah, apakah, dan apakah yang lainnya.

Semua pertanyaan membanjiri kepala saya saat itu sehingga merasa tak adil jika harus membeberkan endingnya di sini. Seharusnya kalian membaca bukunya sendiri jika ingin mengetahui endingnya.

Tetapi, tenang. Saya orang yang baik hati, tidak sombong dan rajin menabung. Huahuahua. Plak! Saya akan membuka akhir dari cerita ini secara blak-blakan di sini. Oke. Mari disimak!

Ketika Wisanggeni berbaring di atas sungai yang dangkal untuk merenungi nasib, dia dikejutkan oleh suara seseorang memanggilnya. Di kejauhan, nampak Sri Kresna tengah memancing di hulu sungai. Wisanggeni pun menemuinya.

Wisanggeni terheran-heran ketika Dewa berkulit hitam itu berhasil mendapat seekor ikan lele padahal dia memancing tanpa kail dan senar. Dia hanya menggunakan bambu. Kemudian Sri Kresna mengatakan bahwa dia sudah meminta ijin pada si ikan untuk menjadikannya santapan makan siang. Si ikan pun menyerahkan diri pada takdirnya.

Wisanggeni nampak berpikir. Dia menganalogikan dirinya dengan ikan lele tadi. Jika ikan saja bisa menerima takdirnya dengan ikhlas, kenapa dia tidak? Sri Kresna pun menuturkan bahwa di dunia ini ada sesuatu yang diciptakan untuk dilenyapkan. Begitu pun dengan Wisanggeni. Takdir menginginkannya lenyap dari jagat pewayangan dan dia harus menerimanya.

Malam itu Wisanggeni memutuskan untuk menerima takdirnya. Dia memang harus pergi dan tak boleh mengganggu lakon yang dimainkan. Dia pun turun ke bumi dan menuju sebuah kota kecil.

Menjelang Subuh, pagelaran wayang kulit sudah mencapai penutupan cerita. Si dalang bersuluk dengan suara merdunya. Mendadak seorang lelaki berpakaian compang-camping seperti pengemis tertawa terbahak-bahak di antara kerumunan penonton. Orang-arang menganggap lelaki itu gila dan menyeretnya ke jalanan sambil sesekali memukulinya. Tetapi lelaki itu terus saja tertawa-tawa.

Nah, demikian ending dari novel ini. Untuk seukuran buku yang tidak tebal-tebal amat, menceritakannya kembali ternyata sangat melelahkan ya. Tetapi saya puas dengan ceritanya.

Dalam buku ini, peran Arjuna selaku ayah dari Wisanggeni tidak terlalu banyak. Bahkan nyaris tak ada. Dia hanya muncul saat berperang dan mendengarkan kisah Sri Kresna. Begitu pun dengan Dewi Dersanala, ibunya. Dia hanya muncul dalam cerita Hanuman, dan menjelang ending dia muncul secara nyata saat menemui Wisanggeni untuk pertama dan terakhir sebelum Wisanggeni lenyap.

Tokoh Ismaya, alias Semar yang muncul di bab-bab akhir justru menjadi peran penting dalam penyelesaian konflik. Kemunculannya walau sebentar tetapi sanggup memberi kesan kepada pembacanya. Menurutku sih, begitu.

Tokoh lainnya, Hanuman turut memberi warna dalam novel. Dia pembawa alur. Yang menuntun pada konflik cerita. Saya rasa tanpa dia, pembaca akan kesulitan menemukan jalan menuju konflik.

Sri Kresna, di sini merupakan tokoh utama ke dua setelah Wisanggeni. Jadi wajar, jika dia berperan nyaris di seluruh bagian cerita, kecuali pada bagian kemunculan Semar. Saya rasa Sri Kresnalah yang menjadi bagian paling vital dalam kisah ini. Dia menuntun tokoh utama dari awal sampai akhir bahkan menjadi penyelamat yang menyadarkan tokoh utama pada endingnya.

Secara keseluruhan, buku ini sangat menarik untuk dibaca. Kisah pewayangan yang sebenarnya tidak saya minati di sini dikemas secara apik yang sarat akan pelajaran hidup dan nasehat. Meskipun setelah saya googling sedikit ternyata kisah yang dituturkan agak berbeda dari pewayangan asli, tetapi novel ini cukup menarik hanya dengan menceritakan secara garis besar dan selebihnya adalah imajinasi penulis sendiri.

Seribu jempol untuk Seno Gumira Ajidarma. Penulis dengan karya-karyanya yang hebat dan selalu membuat penasaran. Saya mulai berpesan pada diri sendiri : tak kenal, maka tak sayang. Cobalah mengenal lebih dekat suatu hal, maka kamu akan mengetahui sisi menariknya.

Akhirnya, saya telah mencapai akhir dari review yang tidak bisa dikatakan review dan membosankan ini. Maaf jika terlalu panjang dan bertele-tele. Maaf juga jika ada kesalahan dalam penyebutan nama tokoh. Maklum, minim googling. Terima kasih sudah berkenan membaca.
Diubah oleh YenieSue0101 21-02-2019 12:35
1
2.2K
7
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Buku
BukuKASKUS Official
7.7KThread4KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.