Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

BeritagarIDAvatar border
TS
MOD
BeritagarID
Kabinet Kerja kena semprot kinerja ekspor impor

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca perdagangan Indonesia pada Mei 2019 mengalami surplus sebesar 210 juta dolar AS dengan nilai ekspor mencapai 14,74 miliar dolar AS, sementara nilai impor mencapai 14,53 miliar dolar AS.
Jajaran menteri Kabinet Kerja kena “sentil” Presiden Joko “Jokowi” Widodo karena performa impor di sektor minyak dan gas (migas) yang terlalu tinggi sepanjang Januari-Mei 2019.

Dalam catatan Jokowi, kinerja ekspor sepanjang Januari sampai Mei 2019 memang berhasil turun 8,6 persen, akan tetapi, impornya juga turun sampai 9,2 persen. Akibatnya, defisit neraca perdagangan pada periode tersebut mencapai $2,14 miliar AS.

“Coba dicermati angka-angka ini. Dari mana? Kenapa impor jadi sangat tinggi? Hati-hati di migas Pak Menteri ESDM (Ignasius Jonan), Bu Menteri BUMN (Rini Soemarno). Karena rate-nya yang paling banyak ada di situ,” kata Jokowi dalam sidang kabinet paripurna di Istana Kepresidenan Bogor, Bogor, Jawa Barat, Senin (8/7/2019).

Dari sisi ekspor, Jokowi berpendapat kinerja Indonesia seharusnya bisa lebih baik. Banyak peluang yang bisa dimasuki industri Indonesia saat Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok saling melempar tarif masuk impornya.

Seandainya saja para pembantunya itu responsif dalam memberikan stimulus berupa insentif-insentif—salah satunya tingkat bunga rendah—kepada industri kecil maupun besar, maka bukan tidak mungkin Indonesia mampu menembus pasar internasional.

“Sekali lagi ini peluang. Tekstil itu peluang. Furnitur itu peluang. Inilah yang selalu kita kalah: memanfaatkan peluang,” tuturnya.

Politisi PDIP ini turut menambahkan, deregulasi dalam hal perizinan investasi harus terus dilanjutkan. Deregulasi boleh jadi adalah hal kecil, tapi pada kenyataannya persoalan ini benar-benar menghambat investasi.

Contohnya untuk industri petrokimia. Karena urusan lahan yang mandek di Kementerian Kehutanan, investor industri ini pun akhirnya memilih mundur. Jokowi tidak memerinci, siapa, apa, kapan, dan bagaimananya. Dirinya menegaskan persoalan lahan turut jadi penghambat dalam melakukan bisnis di Indonesia.

“Kita kurang hotel. Hotel sudah berbondong-bondong mau bikin, urusan yang berkaitan dengan tata ruang sebetulnya dari Menteri BPN/ATR bisa menyelesaikan dengan kesepakatan yang memang harus dilakukan,” tegasnya.

Tak banyak yang disampaikan para menteri yang kena “semprot” usai sidang kabinet selesai. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno hanya berujar bahwa dirinya bakal bekerja lebij keras untuk menggenjot ekspor dalam negeri.

Rini enggan mengungkap bagaimana caranya. Dirinya hanya mengisyaratkan bahwa kinerja ekspor yang minim besar disumbangkan oleh impor yang membesar.

“Migas kan memang kalau demand naik otomatis kita impornya banyak. Ya kita akan lihat kenapa bulan Mei naik. Ya makasih yaa,” kata Rini.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sepakat dengan ucapan Jokowi dengan menyatakan bahwa upaya untuk memperbaiki neraca dagang harus dilakukan seluruh kabinet.

“Terlihat bahwa dari sisi external balance-nya mengalami pelemahan dan itu berkontribusi kepada pelemahan ekonomi kita di dalam negeri juga. Tentu kita berharap di semester kedua…substitusi impor tetap terbangun lah dalam hal ini,” ujar mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Sri Mulyani mengakui, produksi dari lifting minyak dan gas memang jauh dari asumsi awal APBN 2019, sehingga sisi kuantitatifnya turun. Kondisi ini diperburuk dengan performa nilai tukar rupiah yang terpengaruh harga minyak dunia.

“Tapi, kebutuhan di dalam negeri itu meningkat,” kilah Sri Mulyani.

Strategi yang mungkin disusun, sambung Sri Mulyani, adalah memperbaiki kinerja hulu migas seperti halnya mencari sumur-sumur baru yang mampu memproduksi lebih banyak sehingga kebutuhan dalam negeri bisa terpenuhi tanpa harus mengimpor.

Secara garis besar, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengakui bahwa target pertumbuhan ekonomi 5,4 persen yang dipasang dalam asumsi APBN 2019 tidak bisa terpenuhi.

Tetapi, harapan masih ada pada tahun depan. Bambang menawarkan tiga skenario target pertumbuhan ekonomi; 5,4 persen untuk skenario dasar, moderat 5,7 persen, dan optimistis 6 persen.

Untuk mencapai yang paling rendah—5,4 persen, Bambang mengaku membutuhkan terobosan dan diagnosa ulang pertumbuhan dan deregulasi serta reformasi birokrasi. Entah untuk dua target lainnya.

“Solusi yang diusulkan intinya adalah tadi, fokus kepada penataan regulasi dan khususnya pada regulasi yang dianggap menghambat investasi maupun perdagangan, baik dan ekspor. Bahwa kita lebih lama dan lebih mahal dari negara tetangga itu saja membuktikan daya saing Indonesia masih tertinggal,” kata Bambang.
Sudah berulang kali
Tak terhitung sudah berapa banyak Jokowi menggelar sidang kabinet maupun rapat terbatas perbaikan kinerja ekspor dan investasi. Pada salah satu agenda Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Jokowi sempat begitu keras mengatakan bahwa kita terlalu "bodoh" karena tak mampu memanfaatkan peluang.

Bukan hanya Jokowi, para ekonom, akademisi, investor, pengambil kebijakan dalam dan luar negeri bahkan juga sudah sering mengingatkan Indonesia untuk membenahi birokrasi dan regulasi.

Kepala Perwakilan Bank Dunia Rodrigo A Chaves mengatakan risiko pertumbuhan ekonomi Indonesia rentan meningkat seiring ketegangan global yang membebani perdagangan dunia. Kendati konsumsi masyarakat masih akan meningkat karena tingkat inflasi yang rendah serta pasar tenaga kerja yang kuat.

Chaves menyarankan, untuk menyeimbangkan hal ini Indonesia perlu segera melakukan reformasi struktural yang berkesinambungan sembari mempertahankan kebijakan fiskal dan moneternya.

Bank Dunia pun mengambil “peringatan” dengan menurunkan proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 5,2 persen menjadi 5,1 persen.

Para analis sepakat menyebut FDI sebagai instrumen tercepat yang dapat mendorong gairah pertumbuhan ekonomi nasional. FDI menjadi obat paling ampuh dalam memperbaiki defisit ganda, baik defisit neraca perdagangan maupun defisit neraca transaksi berjalan.

Alicia Garcia Herrero, Kepala Departemen Ekonomi Natixis untuk Asia Pasifik mengatakan, waktu yang paling tepat bagi pemerintah untuk memperbaiki iklim investasinya adalah sekarang.

Mengapa? Karena saat ini banyak perusahaan yang keluar—atau tengah mempertimbangkan untuk keluar—dari Tiongkok dan Amerika Serikat (AS) dan mencari lokasi berbisnis yang lebih stabil.

“Vietnam adalah salah satu negara yang berhasil mengambil untung dari itu. Tapi, seharusnya potensi itu bisa diambil negara berkembang lainnya juga, termasuk Indonesia,” kata Alicia, merespons pertanyaan Beritagar.id, 17 Juni 2019.

Persoalan ini bisa diselesaikan dengan satu cara, tegas Alicia. Pemerintah Indonesia perlu membuka diri dan mendengar banyak masukan dari para investor asing. “Indonesia memiliki isu yang unik. Tapi ini hanya soal kesediaan untuk membuka diri saja,” tukas Alicia.



Sumber : https://beritagar.id/artikel/berita/...a-ekspor-impor

---

Baca juga dari kategori BERITA :

- Ternate diguncang 47 gempa susulan

- Sebagian besar sektor memerah, IHSG berakhir di 6.351

- Pelayanan di Tanjung Priok tiada libur demi genjot ekspor

anasabila
anasabila memberi reputasi
1
531
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Beritagar.id
Beritagar.idKASKUS Official
13.4KThread734Anggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.