Pasukan Siber dalam Genggaman Penguasa dan Pengusaha
Penelitian terbaru LP3ES, Undip, UII, Drone Emprit, University of Amsterdam, serta KITLV Leiden mengindikasikan kegiatan pasukan siber didanai politisi senior, orang di lingkaran menteri kabinet, dan pengusaha kaya.
Oleh IQBAL BASYARI
16 Oktober 2021 09:03 WIB · 6 menit baca
Perkembangan opini publik di media sosial sering kali tak terjadi secara alamiah. Sebagian percakapan, terutama terkait isu-isu yang menyangkut kepentingan publik, sering kali dimanipulasi pasukan siber. Namun, hanya segelintir pihak yang mampu menguasai pasukan siber karena biaya jasanya tak murah.
Di Twitter, misalnya, percakapan dengan campur tangan pasukan siber biasanya dicuitkan oleh akun-akun anonim. Untuk mengidentifikasinya, cuitannya hanya berisi tagar atau topik lain yang tidak sesuai dengan tagar. Selain itu, ada cuitan-cuitan yang isinya sama dicuitkan oleh beberapa akun dalam waktu yang hampir bersamaan.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti sejumlah lembaga, yakni Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES); Universitas Diponegoro; Universitas Islam Indonesia (UII), Yogyakarta; perusahaan analisis data Drone Emprit; University of Amsterdam; serta KITLV Leiden mengindikasikan kegiatan pasukan siber di Indonesia didanai oleh politisi senior, orang di lingkaran menteri kabinet, dan pengusaha kaya.
Tim peneliti memeriksa percakapan di media sosial antara lain terkait Pemilu 2019, revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, kebijakan normal baru, UU Cipta Kerja, dan perjuangan kepemimpinan di Partai Demokrat. Mereka juga melacak dan mewawancarai 78 pendengung (
buzzer) dan pemengaruh (
influencer).”
Dikutip dari artikel berjudul ”
Organisation and Funding of Social Media Propaganda” di laman InsideIndonesia yang ditulis oleh Direktur Center for Media and Democracy LP3ES sekaligus pengajar politik di Undip Semarang, Wijayanto, dan Profesor Antropologi Politik Komparatif di University of Amsterdam sekaligus peneliti senior di KITLV, Leiden, Ward Berenschot, pasukan siber menjadi alat bagi orang kaya dan penguasa di Indonesia untuk membela kepentingan mereka. Keberadaannya merusak kesetaraan politik.
Elite politik yang berkuasa mempekerjakan pasukan siber untuk menangkis kritik dan meningkatkan penerimaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Sementara elite ekonomi mempekerjakan pasukan siber untuk menghasilkan dukungan publik terhadap kebijakan yang melayani kepentingan mereka, seperti UU Cipta Kerja dan revisi UU KPK.
Menurut laporan dari hasil riset selama dua tahun itu, manipulasi opini publik di media sosial dilakukan oleh tim dan individu yang berkolaborasi menjadi pasukan siber. Mereka terdiri dari jaringan
buzzer,
influencer, dan pembuat konten. Pada umumnya, pasukan siber tidak terorganisasi, fleksibel, dan disatukan hanya sementara untuk tujuan tertentu.
Tim peneliti mengidentifikasi ada empat kelompok dalam pasukan siber, dimulai dari terbawah adalah
buzzer, pembuat konten, koordinator, dan
influencer.
Buzzerbertugas menyebarkan konten seluas mungkin, terkadang ikut mengomentari unggahan
influencer, bahkan menyerang orang lain yang menyuarakan pendapat yang bertentangan dengan tujuan kliennya.
Seorang
buzzer biasanya mengelola akun palsu atau anonim mulai dari 10 akun hingga 300 akun Twitter. Jumlah akun ini memengaruhi bayaran yang mereka dapatkan.
Selanjutnya pembuat konten bertugas menyiapkan materi,
meme, dan tanda pagar (tagar) yang akan disebarluaskan oleh
buzzer. Informan di penelitian itu juga mengakui bahwa terkadang mereka menyebarkan kebohongan. ”Saya tidak benar-benar mengikuti hati saya. Yang penting adalah Anda membayar saya, saya bekerja, itu saja. Karena tujuan kami adalah uang,” seperti tertulis di laporan tersebut.
Lapisan ketiga adalah koordinator yang bertugas merekrut dan mengoordinasikan kegiatan
buzzer. Mereka mengirimkan konten yang disiapkan oleh pembuat konten dan memberi tahu
buzzer waktu untuk mengunggah konten. Mereka bertanggung jawab atas strategi dan berhubungan dengan klien yang membayar untuk aktivitas pasukan siber.
Lapisan keempat ialah
influencer. Mereka adalah individu populer dengan jumlah pengikut banyak, seperti seniman, tokoh masyarakat, atau tokoh politik, yang aktif menggunakan akun media sosial pribadi untuk berbagi pendapat politik.
Puluhan juta
Untuk menggerakkan pasukan siber, ada biaya yang harus dikeluarkan oleh pengguna jasa. Seorang
buzzer dan pembuat konten, misalnya, bisa dibayar Rp 3 juta hingga Rp 4 juta per bulan, tergantung banyaknya akun yang dimiliki. Seorang koordinator mendapatkan bayaran Rp 13 juta per bulan. Sementara
influencer nilainya paling tinggi yakni bisa mencapai Rp 20 juta per bulan. Bahkan, disebutkan di laporan riset itu, imbal balik
influencer ada yang mendapatkan jabatan komisaris di perusahaan negara.
Biaya yang tidak murah dalam menggerakkan pasukan siber itu membuat hanya kelompok yang memiliki uang yang bisa menggunakan jasa mereka. Dalam penelitian terungkap, pihak yang bisa membayar pasukan siber hanya kelompok masyarakat yang memiliki sumber dana yang kuat. Kelompok itu adalah pemerintah, politikus, dan elite ekonomi.
Salah satu penulis yang juga pengajar pada jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Diponegoro, Wijayanto, dihubungi dari Jakarta, Jumat (15/10/2021), mengatakan, cengkeraman
buzzer di tangan penguasa dan pengusaha bisa berdampak pada pembuatan kebijakan publik. Esensi dari kebijakan publik yang semestinya mendengarkan suara rakyat dan mengakomodasi suara itu, justru tidak akan didengarkan.
Keberadaan
buzzer akan membendung suara-suara kritis pihak-pihak yang berseberangan dan memanipulasi dengan opini yang sebaliknya. ”Dalam kasus revisi UU KPK, misalnya, protes dan ketidaksetujuan publik tidak diakomodasi, opini publik justru dibendung dan dimanipulasi dengan narasi sebaliknya oleh pasukan siber,” ujarnya.
Menurut Wijayanto,
buzzer bisa bertahan karena didukung oleh ekosistem publik yang literasi digitalnya kurang kuat. Akibatnya, publik justru ikut mengamplifikasi opini dari pasukan siber.
Tak hanya publik, opini yang dibangun oleh
buzzer bahkan ikut diamplifikasi oleh jurnalis media arus utama karena dianggap bisa mengundang klikbait dari pembaca. Kondisi ini membuat orkestrasi opini publik yang dibangun oleh pasukan siber menjadi punya gaung di luar media sosial.
Oleh sebab itu, selain tetap harus meningkatkan literasi digital, menurut Wijayanto, publik perlu ikut berupaya memberantas akun-akun
buzzer. Caranya, cukup dengan melaporkan akun
buzzer agar ditangguhkan oleh pengelola media sosial. ”Publik dan masyarakat sipil yang melakukan kontranarasi terhadap opini dari pasukan siber pun harus lebih sistematis dan terkoordinasi,” ujarnya.
Ward melalui utasan cuitan akun Twitter-nya, yakni @ward_berenschot pada 13 Oktober 2021 menyebut kesadaran terhadap peranan dan dampak
buzzer terus berkembang. Pengguna media sosial melawan disinformasi yang disebarkan oleh pasukan siber dan memilah akun palsu dan akun anonim yang digunakan oleh para
buzzer.
”Namun, pasukan siber akan tetap menjadi ancaman karena hanya orang kaya dan berkuasa yang bisa memanfaatkan mereka. Perdebatan mengenai etik dalam penggunaan media sosial diperlukan; patutkah para elite penguasa di Indonesia tidak menahan diri untuk diam-diam menggunakan
buzzer yang anonim untuk ’menjual’ kebijakan mereka?” cuit Ward.
Yet cyber troops will remain a threat, as only the rich and the powerful can afford to employ them. A debate on the ethics of social media use is needed: should Indonesia’s ruling elites not refrain from secretively hiring anonymous buzzers to sell their policies? (12/12)— Ward Berenschot (@ward_berenschot) October 13, 2021
Di laporan hasil riset yang ditulis Wija dan Ward, disebutkan, pemerintah pernah menggunakan jasa pasukan siber untuk mempromosikan kebijakan normal baru. Anggaran yang digunakan berasal dari pos dana sosialisasi. Ada pula
buzzer yang mengaku dibayar orang dekat menteri di kabinet.
Politikus juga diketahui menggunakan jasa pasukan siber terutama saat kampanye demi meningkatkan popularitas di media sosial. Jasa pasukan siber jug digunakan untuk meningkatkan profil politisi agar dipertimbangkan masuk dalam kabinet. Sementara elite ekonomi meminta bantuan pasukan siber untuk ”menjilat” elite penguasa agar akses bisnisnya ke pemerintah lancar.
Pasukan siber yang dibayar untuk membuat narasi di medsos sejalan dengan laporan
The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation yang dirilis Oxford Internet Institute, University of Oxford. Laporan menyebutkan, pendengung bekerja di 70 negara, termasuk Indonesia, dengan bayaran dari Rp 1 juta hingga Rp 50 juta (
Kompas, 11/9/2019).
Pengajar pada Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Mada Sukmajati, menuturkan, media sosial dan teknologi informasi kini sudah menjadi instrumen politik. Bahkan, di Amerika Serikat, algoritma dari media sosial dijual ke peserta pemilu agar bisa digunakan untuk mengetahui preferensi politik.
Dengan demikian, penggiringan opini bisa melalui media sosial dilakukan lebih akurat dan efektif. Pemanfaatannya pun tak perlu sampai menggunakan pasukan siber yang jumlahnya banyak, tetapi bisa menggunakan aplikasi khusus berbasis mahadata.
”Jangankan pasukan siber, penggiringan opini sudah bisa dilakukan oleh individu melalui aplikasi tertentu. Meskipun di Indonesia belum digunakan, kemungkinan di Pemilu 2024 akan dipakai untuk pemenangan,” katanya.
Oleh sebab itu, Mada mendorong agar pemerintah meredefinisi program pendidikan politik. Sebab, wacana mengenai media sosial dan pasukan siber sudah masuk dan dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok tertentu. ”Pemerintah mesti sadar bahwa agenda ini sudah menjadi instrumen politik,” katanya.
Editor: Antony Lee
Bacalah, ada tulisan-tulisan yang bagus sekali tentang cara kerja dan taktik cybertroops, juga beberapa proyek yang pernah dilakukannya. Ditulis dari sudut pandang akademisi/aktivis--dan sayangnya, mereka tidak menawarkan cara efektif untuk melawan pasukan dunia maya, hanya mengeluh soal etika dan idealisme.
Saya memandangnya begini. Pasukan dunia maya ini senjata terbaru di ajang pertarungan politik. Dalam segala macam perang, entah itu perang militer, ekonomi, budaya, dan tentu politik, orang menggunakan senjata. Tiap pihak berusaha menciptakan senjata lebih kuat untuk mengungguli senjata terdahulu. Istilahnya perlombaan senjata. Senapan mengalahkan pedang dan tombak. Kendaraan bermotor mengalahkan kuda. Bom nuklir mengalahkan bom biasa. Semua senjata itu tidak etis dan tidak bermoral, karena merusak, mencederai dan bahkan menghilangkan nyawa manusia. Namun manusia tetap saja memakai senjata. Mengapa? Karena menurutnya apa yang diperjuangkan dalam tiap perang itu lebih tinggi daripada nyawa manusia.
Pasukan dunia maya adalah senjata terbaru di dunia dengan internet. Sebelumnya senjata terkuat adalah internet itu sendiri, yang memperkuat dan memberdayakan individu. Suara individual menjadi kuat dengan internet, bisa mengalahkan senjata sebelumnya yaitu propaganda konvensional lewat media massa biasa. Namun internet juga memberi peluang anonimitas dan klon, sehingga suara satu atau sedikit orang bisa diperbanyak dan diperkuat dengan biaya murah--jadi pasukan. Pasukan itu kemudian digunakan untuk melawan suara individual terberdayakan sebelumnya--para aktivis, jurnalis dll yang sempat unggul karena suara dan pendapat pribadinya diperbesar volumenya oleh internet.
Tidak pernah ada yang menang perang dengan cara mempermasalahkan penggunaan senjata secara moral. Satu-satunya cara efektif adalah dengan menggunakan senjata yang lebih dahsyat lagi.
Mengeluhkan orang yang mampu beli pedang lalu menggunakan pedang itu untuk memotong lawan sebagai "tidak etis" itu sia-sia.
Coba blokir Twitter, misalnya. Twitter itu alat utama buzzer[p] di Indonesia. Putus akses Twitter di Indonesia dan saya pikir 60% sampai 75% "buzzer[p]" bakal hilang.