Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

joko.winAvatar border
TS
joko.win
Yusril Mahendra: Ada Akademisi Gunakan Kedok Intelektual Lindungi Oligarki Parpol


Jakarta, Beritasatu.com - Advokat senior Yusril Ihza Mahendra menilai sejumlah akademisi menggunakan kedok intelektual untuk melindungi partai politik (parpol) yang mempraktikkan oligarki, kediktatoran, dan nepotisme. Hal itu disampaikan Yusril menanggapi pernyataan Zainal Arifin Mochtar, Ferry Amsari, dan Luthfi Yazid. Tiga nama terakhir membuat pernyataan di media massa dan mengaku geleng-geleng kepala karena Yusril bersedia membela gugatan mantan kader Partai Demokrat (PD).

Menurut Yusril, ketiga nama itu geleng kepala karena tidak belajar filsafat hukum dan teori ilmu hukum dengan mendalam. Yusril mengatakan Zainal Arifin Mochtar dan Ferry Amsari selama ini sibuk mengurusi isu korupsi, gebuk sana gebuk sini, sehingga lupa belajar hukum tata negara dalam-dalam.

Yusril mengaku menggugat AD/ART PD ke MA, karena menilai lembaga itu berwenang menguji AD/ART partai. Sebab, AD/ART itu diperintahkan pembentukannya oleh undang-undang (UU). Partai juga diberi delegasi wewenang oleh UU untuk membentuk AD/ART. Dengan begitu, apabila AD/ART itu menabrak UU, maka harus ada lembaga yang dapat menguji dan menyatakannya tidak mempunyai kekuatan mengikat.

“Sebab, itu saya heran kalau ada akademisi, yang matanya buta tidak bisa melihat fakta bahwa begitu banyak AD/ART partai yang menabrak UU, bahkan UUD 1945. Sementara, kita tahu partai memainkan peran sangat menentukan dalam penyelenggaraan negara,” kata Yusril, Kamis (7/10/2021).

Menurut Yusril, peran parpol di dalam pemerintahan sebenarnya jauh lebih besar daripada bupati dan wali kota. “Saya tercengang membaca komentar Zainal Arifin Mochtar yang menggunakan kedok intelektual untuk melindungi partai-partai yang mempraktekkan oligarki, kediktatoran dan nepotisme,” tegas Yusril.

“Mereka ini adalah jenis intelektual yang tidak punya rasa sensitif terhadap demokrasi dan berlindung di balik hukum formal yang kaku dengan otak yang beku.”

Yusril lebih heran lagi dengan komentar Luthfi Yazid yang mengatakan bahwa jika pengujian AD/ART ini dikabulkan, maka akan mendorong siapa saja untuk menguji AD/ART partai, sehingga menghilangkan kepastian hukum. Yusril, bahkan dituduh melakukan manipulasi intelektual.

Menurut Yusril, pandangan Luthfi ini sangat mengherankan, seolah tidak tahu kalau semua peraturan perundang-undangan dapat diuji ke MK dan MA. Hal itu diatur dalam UUD 1945.

“Kapan Luthfi pernah mengatakan bahwa dibukanya pintu pengujian semua peraturan perundang-undangan itu menimbulkan tidak adanya kepastian hukum? Para akademisi hukum dan lawyers cukup lama memperjuangkan keberadaan pengujian terhadap UU agar tidak terjadi manipulasi pengaturan yang bertentangan dengan konstitusi, apalagi berisi manipulasi politik untuk kepentingan rezim,” kata Yusril.

“Jadi, siapa sebenarnya yang melakukan manipulasi intelektual untuk menakut-nakuti masyarakat bahwa dibukanya pengujian AD/ART partai akan menimbulkan ketidakpastian hukum, bahkan lebih jauh lagi, anarkisme hukum?,” demikian Yusril.


Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Dr. Jamaludin Ghafur, S.H., M.H. memberikan opininya soal
Menguji AD/ART Parpol di Mahkamah Agung

Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya

Langkah ini boleh dibilang cukup radikal dan revolusioner mengingat berdasarkan hukum positif yang saat ini berlaku, AD/ART partai bukan merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan karena tidak dibuat oleh lembaga ataupejabat negara.

Sebagaimana termaktub dalam UU Nomor 12 Tahun 2011, yang dimaksud dengan peraturan perundang-udangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan di bentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Namun apakah sebuah peraturan yang tidak dibuat oleh pejabat dan lembaga negara secara otomatis akan serta merta dapat dilabeli sebagai bukan peraturan perundang-undangan?

AD/ART Partai sebagai “Peraturan Perundang-Undangan”

Secara teori dan praktik, undang-undang (UU) sebagai produk kesepakatan bersamaan tara Presiden dan DPR sudah pasti tidak akan mungkin mengatur satu hal dengan sangat terperinci dan detail karena hal itu akan menyebabkan terlalu tebalnya produk sebuah UU sehingga akan sulit menyesuaikan dengan perkembangan kebutuhan hukum masyarakat.

Selain itu parlemen sebagai lembaga legislatif utama tidak punya cukup banyak waktu untuk secara detail memberikan perhatian atas segala urusan teknis mengenai materi muatan suatu UU.

Pada umumnya UU hanya berisi kerangka dan garis besar kebijakan yang penting-penting sebagai parameter. Sementara hal-hal yang bersifat lebih teknis-operasional biasanya akan diperintahkan untuk diatur lebih lanjut dengan instrumen peraturan di bawahnya.

Dalam perspektif teori perundang-undangan, pelimpahan kekuasaan atau kewenangan dari pembentuk UU kepada lembaga lain untuk mengatur lebih lanjut suatu materi muatan UU tertentu disebut dengan delegasi (delegation of the rule making power).

Dalam konteks ini, salah satu alasan pembentukan AD/ART parpol karena hal tersebut merupakan perintah dari UU. Ada banyak materi muatan dalam UU Parpol yang aturan terperincinya didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam AD/ART.  Sebagai contoh, Pasal 15 ayat (1) UU Parpol berbunyi: “Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART”. Pasal 22 berbunyi, “Kepengurus n partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui musyawarah sesuai dengan AD dan ART.” Sementara Pasal 29 mengamanatkan agar rekrutmen anggota parpol, bakal calon anggota DPR dan DPRD, bakal calon presiden dan wakil presiden serta bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART.

Oleh karena fungsi dari AD/ART parpol adalah menerjemahkan dan mengelaborasi lebih detail ketentuan-ketentuan yang ada dalam UU, sudah selayaknya untuk memperlakukan dan memposisikan AD/ART sebagai bagian dari peraturan perundang-undangan di bidang ke partaian dalam arti luas. Ten tang hal ini, Kennet Janda (2005), seorang ilmuwan parpol kenamaan asal Amerika Serikat, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum kepartaian adalah peraturan hukum baik yang ditetapkan oleh pemerintah (external rules) maupun peraturan yang dibuat oleh parpol (internal rules).

Kebutuhan Pengujian

Parpol sejatinya adalah instrumen penting dalam negara demokrasi. Begitu sakralnya peran parpol sampai-sampai ada yang berpendapat bahwa demokrasi kontemporer adalah demokrasi partai (Katz: 1980).

Namun kehadiran parpol hanya akan memberi kontribusi positif bagi pelembagaan demokrasi apabila parpol dikelola secara demokratis dan profesional. Salah satu ciri pe nge lolaan parpol yang profesional ditandai dengan terjadinya de personalisasi dalam arti urusan pribadi para pengurusnya tidak dicampuradukkan de ngan urusan parpol sebagai organisasi.

Sayangnya yang terjadi di Indonesia saat ini adalah parpol hanya diposisikan sebagai sarana pemuas ambisi dan ke pentingan politik para elite dan pemimpinnya, bukan menjadi instrumen atau alat demokratisasi. Parpol dikelola secara oligarkis dan bahkan personalistik dengan melanggengkan suksesi kepemimpinannya berdasarkan sistem warisan.

Implikasinya, banyak ke pemimpinan dalam parpol yang kemudian menampilkan karakter yang tidak demokratis dan diktator yang sering kali melakukan intimidasi politik terhadap anggota dan para kadernya dengan memanfaatkan otoritas dan pengaruhnya yang sangat besar. Sebagian dari para pemimpin parpol telah menjadi simbol dari otoritarianisme itu sendiri, sesuatu yang sebenarnya ingin dikikis habis oleh gerakan reformasi.

Semua ini terjadi karena AD/ART sebagai konstitusi parpol yang seharusnya berfungsi secara maksimal dalam memberikan perlindungan dan jaminan hukum atas hak-hak anggota justru hanya berisi hal-hal yang mengakomodasi kepentingan penguasa partai. Akibatnya para kader dan ang gota menjadi tidak berdaya di hadapan elite dan ketua umum. Padahal, menurut UU, anggota adalah pemegang kedaulatan dalam partai.

Untuk memastikan bahwa anggota benar-benar berdaulat, berbagai ketentuan yang membelenggu dan merugikan kader dan anggota yang termuat dalam AD/ ART parpol harus diakhiri. Caranya adalah de ngan mem buka peluang bagi siapapun yang merasa dirugikan hak-haknya untuk mengujinya ke muka pengadilan, yaitu di Mahkamah Agung.

Dibukanya peluang untuk men-judicial review AD/ART partai merupakan upaya untuk memberi perlindungan yang maksimal terhadap kepentingan anggota, masyarakat, dan bahkan demi menjaga kepentingan bangsa dan negara yang lebih luas, yaitu dalam rangka meningkatkan dan memperkuat kualitas demokrasi.

Membiarkan AD/ART yang tak bisa tersentuh oleh hukum sebagaimana yang terjadi selama ini telah terbukti memberi kesempatan dan peluang bagi penguasa parpol untuk memperlakukan parpol sesuai dengan selera para elitenya sehingga cita-cita untuk me lembagakan parpol menjadi jauh panggang dari api. Jika hal ini terus dibiarkan, harapan masyarakat terhadap semakin membaiknya proses beremokrasi hanya akan menjadi mimpi di siang bolong.


https://www.beritasatu.com/amp/nasio...mpression=true

casper69
tepsuzot
foreveryoung90
foreveryoung90 dan 11 lainnya memberi reputasi
12
2.7K
40
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.