Jakarta, CNBC Indonesia - Hasil kajian Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tidak tepat dilakukan saat ini. Sebab, ekonomi belum pulih seutuhnya akibat tekanan pandemi Covid-19.

Sehingga jika tarif PPN naik, bukannya berdampak positif bagi penerimaan negara dan ekonomi, justru akan berdampak negatif. Dampak negatif ini baik untuk pertumbuhan ekonomi maupun ekspor dan impor.

"Kami pernah melakukan perhitungan, kenaikan tarif dari 10% ke 11% dan ke 12% itu dampak negatif jelas. Bahwa GDP turun, upah riil turun, ekspor turun, impor turun. Intinya bagi perekonomian saat ekonomi nggak ada di garis normal ini akan berdampak negatif," ujar Peneliti INDEF Ahmad Tauhid dalam diskusi virtual, Rabu (6/10/2021).

Turunnya pertumbuhan ekonomi ini disebabkan oleh penurunan daya beli beli masyarakat dengan kenaikan PPN. Daya beli yang turun maka akan terdampak juga pada tingkat konsumsi yang melemah.

Peneliti INDEF Ahmad Heri Firdaus menjelaskan, kenaikan tarif PPN yang sebesar 11% pada tahun depan akan menurunkan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,02%. Sedangkan konsumsi bisa turun 2,05%.

"Misalnya kita harusnya tumbuh 5%, karena ada kenaikan PPN nggak jadi 5% tumbuhnya, kurang 0,02% jadi 4,98%," kata dia.

Kemudian, jika tarif PPN dinaikkan menjadi 12% maka akan terjadi penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,11%. Sedangkan pertumbuhan konsumsi turun hingga 3,32%.

"Jadi kenaikan PPN akan memperlambat proses pemulihan ekonomi. Jika secara makro ini akan menyebabkan penurunan daya beli di tengah rendahnya daya beli masyarakat di masa pasca pandemi," tegasnya. 


https://www.cnbcindonesia.com/news/2...uram-indonesia