NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
HAM Kesehatan Era Pandemi RI : 404 Not Found
Spoiler for Ilustrasi wajib vaksin:


Spoiler for Video:


“Peace can only last where human rights are respected, where the people are fed, and where individuals and nations are free” – Tenzin Gyatso (Dalai Lama ke-14)

Ucapan tersebut dikatakan Dalai Lama yang mendapatkan penghargaan Nobel pada 1989. Dari ucapannya, dapat kita simpulkan bahwa kedamaian akan terus terjaga ketika hak asasi manusia dihormati, rakyat berkecukupan pangannya, dan tiap individu dan negara memiliki kebebasan.

Ketika hak asasi manusia dilanggar, rakyat kelaparan, serta kebebasan dikekang, maka tinggal menunggu waktu saja kedamaian sirna.

Tanda-tanda sirnanya kedamaian kini membayangi Indonesia. Sebab pemerintahan RI telah melanggar hak asasi manusia rakyatnya melalui peraturan yang mereka buat sendiri. Sebelum menuduh yang bukan-bukan, simak dasar pemikiran tersebut berikut ini.

Sebagai salah satu negara yang terkena badai pandemi Covid-19, Indonesia melakukan berbagai cara untuk menaganinya. Salah satunya dengan mengupayakan kekebalan komunitas atau herd immunity lewat program vaksinasi. Program ini baik, tapi sayangnya, pemerintah juga memaksakan vaksinasi kepada rakyat dengan menjadikan sertifikat vaksin Covid-19 sebagai salah satu syarat untuk melakukan perjalanan dan memasuki fasilitas publik (mandatory vaccine). Hal ini lah yang bisa dikatakan melanggar HAM. Mengapa?

Berdasarkan UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pasal 5 ayat 2 menyebutkan, “Setiap orang mempunyai hak dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, dan terjangkau.” Lalu di Pasal 5 ayat 3 dikatakan, “Setiap orang berhak secara mandiri dan bertanggung jawab menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya.”

Sumber : Kemkes[UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2009 TENTANG KESEHATAN]

Sekarang mari kita tengok vaksin yang paling banyak sedari awal tersedia bagi masyarakat umum, yakni Sinovac. Pada 10 April 2021 lalu, Direktur Pusat Pengendalian Penyakit China, Gao Fu, mengaku vaksin virus corona buatan China memiliki keefektifan yang rendah. Padahal China telah mendistribusikan ratusan juta dosis vaksinnya ke luar negeri.

Sumber : Kompas [Pejabat China Akui Vaksin Covid-19 Miliknya Kurang Efektif, Kemudian Diklarifikasi]

Dari pemberitaan itu saja, sudah menununjukkan rendahnya fungsi vaksin Sinovac yang berasal dari China dalam mencegah infeksi Covid-19.  Maka wajar saja, ditambah pula dengan Hak rakyat lewat UU Kesehatan Pasal 5 ayat 2 dan 3, masyarakat tak ingin disuntik vaksin Sinovac.

Namun, pemerintah selalu menekankan bahwa penanganan pandemi berkendala karena infodemik. Menurut WHO, infodemik adalah informasi yang berlebihan tentang suatu masalah, sehingga sulit untuk menemukan solusinya. Stafsus Menkominfo Bidang Digital dan Sumber Daya Manusia, Dedy Permadi pernah mengatakan pada Februari 2021 lalu bahwa ada ribuan isu hoaks yang beredar terkait penanganan Covid-19, vaksin dan juga PPKM.

Dedy mencontohkan ada isu jika vaksin menimbulkan epilepsy, di mana menurutnya hal tersebut tidak benar dan MUI telah menegaskan jika vaksin itu halal serta aman. Salah satu cara mengatasinya adalah dengan mengedukasi masyarakat.

Sumber : Sindonews [Stafsus Menkominfo: Infodemik Jadi Musuh Penanganan COVID-19]

Namun, enggannya masyarakat terhadap vaksin Sinovac bukanlah semata-mata karena edukasi yang rendah.

Berdasarkan survei yang dilakukan Balitbankes Kemenkes RI April – Mei 2021, ada 33 persen warga Indonesia yang menolak dan tidak yakin dengan vaksin Covid-19. Padahal dari hasil survei tersebut hampir 99 responden mengetahui mengenai informasi vaksinasi. Sementara survei dari tingkat pendidikan, responden yang berasal dari pendidikan tinggi paling banyak menolak vaksinasi.

Jubir Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menjelaskan, angka persentase sebesar 18,6 persen berasal dari kelompok penididikan D-4 dan S-1. Bahkan persentase tersebut lebih besar dari kelompok pada tingkat pendidikan yang lebih rendah. “Ini apakah karena terlalu banyak baca hoaks sehingga menambah ketidakyakinan akan vaksin atau bagaimana,” papar Nadia.

Sumber : Kompas [Survei 33 Persen Masyarakat Menolak Vaksin Covid-19, Pendidikan Tinggi Terbanyak]

Ingat, pemerintah yang berpikir bahwa mungkin pendidikan tinggi termakan hoak sehingga tidak yakin dengan vaksin hanyalah dugaan. Bukankah bisa juga mereka yang berpendidikan tinggi tersebut memiliki banyak literasi sehingga menyebabkan mereka memilih untuk tidak suntik vaksin Sinovac, menunggu ketersediaan vaksin merk lain, dan/atau lebih memilih menjalankan prokes? 

Rakyat yang menolak vaksin memahami bahwa mereka seharusnya dilindungi oleh UU Kesehatan tepatnya Pasal 5 ayat 2 dalam menerima layanan kesehatan yang bermutu. Akan tetapi kebijakan negara yang tidak memberikan ruang bagi warga negara memilih merk dan jenis vaksin serta mewajibkan vaksi justru berpotensi melanggar HAM dan melawan konstitusi.

Apalagi dari sisi kartu vaksin jadi syarat aktivitas, jelas bertentangan dengan UU Kesehatan Pasal 5 ayat 3, dimana warga negara punya hak memilih pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Artinya rakyat Indonesia berhak menentukan apakan mau fokus ke protokol kesehatan (menolak vaksin) atau memilih untuk vaksin.

Ingat, persyaratan vaksin untuk berkegiatan seperti sekarang ini berlaku saat PPKM. Namun, PPKM dengan berbagai level tersebut tidak memakai pondasi UU Kekarantinaan seperti hal nya PSBB. Ia lebih menggunakan Instruksi Mendagri (Inmendagri). Serupa dengan PPKM Darurat Jawa-Bali yang dilaksanakan pada 2-20 Juli 2021 lalu.

Akademisi Pusat Studi Hukum Kontitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII) Ahmad Ilham Wibowo mengatakan Instruksi Mendagri soal PPKM hanya memilih menggunakan ketentuan sanksi dalam UU Kekarantinaan Kesehatan, tanpa menggunakan tindakan-tindakan dalam UU Kekarantinaan Kesehatan sebagai dasar dalam mengatasi pandemi Covid-19. 

Sumber : Suara [Akademisi PSHK UII: Dalam UU Tak Dikenal PPKM, Kembalikan ke UU Kekarantinaan Kesehatan]
Sumber : Covid19 [INSTRUKSI MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 35 TAHUN 2021]

Oleh karena PPKM tidak menggunkan dasar UU Kekarantinaan, yang menyebabkan pemerintah tidak menerapkan opsi lockdown (karantina), maka UU Kesehatan tidak dibatasi oleh UU Kekarantinaan. Seandainya pemerintah menggunakan UU Kekarantinaan, pemerintah memiliki pondasi untuk menerapkan kebijakan yang mandatory seperti wajib vaksin. Namun karena UU Kekarantinaan tidak diterapkan, kebijkan kartu vaksin sebagai syarat akitivitas tak memiliki legalitas hukum.

Sehingga ketika dapat ambil kesimpulan :
1. Kewajiban vaksin di awal program vaksinasi yang didominasi merk Sinovac, sehingga sangat menyulitkan atau menihilkan pilihan bagi warga selain menggunakan vaksin Sinovac, berlawanan dengan hak warga memilih jenis layanan kesehatan yang diatur UU Kesehatan.
2. Menetapkan sertifikat vaksin sebagai syarat aktivitas berarti menutup ruang hak rakya memilih jenis layanan kesehatan yang diatur UU Kesehatan. Seandainya ada warga yang memilih prokes ketimbang vaksin, menyebabkan adanya warga negara yang disingkirkan secara sistematis oleh negara dan korporasi. Sungguh kebijakan rasisme dalam arti yang sesungguhnya.
Diubah oleh NegaraTerbaru 26-08-2021 16:10
MasterSims
raihanaputrie
cco_70
cco_70 dan 16 lainnya memberi reputasi
11
4.1K
77
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.9KThread82.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.