Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

mabdulkarimAvatar border
TS
mabdulkarim
AMP Jember sebut 59 tahun New York Agreement ilegal di Papua


AMP Jember sebut 59 tahun New York Agreement ilegal di Papua
Jayapura, Jubi – Ketua Aliansi Mahasiswa Papua Komite Kota Jember (AMP-KK Jember), Villex Kogoya, menyatakan 59 tahun New York Agreement ilegal di atas Tanah Papua. Perjanjian New York yang ditanda-tangani pada 15 Agustus 1962 di Markas Besar PBB, New York – Amerika Serikat, antara Pemerintah Republik Indonesia dan Kerajaan Belanda mengenai Papua Barat atau West Papua, sama sekali tidak melibatkan Orang Papua.

“Maka dibentuklah suatu Badan Penguasa Sementara PBB yang diberi nama UNTEA (United Nations Temporary Executive Authority) yang akan berkuasa selama 1 (satu) tahun sesuai perintah dari Sekretaris Jenderal PBB. Serta dibantu oleh UNSF (United Nations Security Force) untuk menjaga keamanan dan ketertiban di Papua Barat selama penguasaan UNTEA. Pasukan UNSF yang ditugaskan ke Papua Barat berasal dari Kanada, India, Amerika, Nigeria, Swedia, Ceylon, Australia dan Pakistan,” kata Kogoya saat membacakan statement, Senin (16/2021).

Kogoya mengatakan, selama keberadaan UNTEA dan UNSF di Papua, Pemerintah Indonesia menggunakan taktik provokasi untuk mendesak pasukan UNTEA segera mundur dari Papua Barat, dan menolak pelaksanaan penentuan nasib sendiri.

“Sedangkan rakyat Papua yang memprotes untuk menolak Indonesia dihajar habis oleh pasukan Indonesia dan anehnya hal ini dibiarkan UNTEA begitu saja. Bahkan pimpinan UNTEA, Djalal Abdoh, melaporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB U Thant hanya tentang desakan masyarakat yang menolak PEPERA, dan mendesak UNTEA segera keluar dari Papua,” katanya.

Menurut Kogoya, pada masa penguasa UNTEA, rakyat Papua telah mengadakan uji coba referendum di Kabupaten Merauke tetapi seluruh rakyat menolak bergabung dengan Indonesia. Oleh karena itu, dilakukan suatu perundingan rahasia di ibu kota Itali, Roma, pada 30 September 1962 yang mana aturan international yang ditetapkan dalam Perjanjian New York 15 Agustus 1962 harus diubah, menjadi aturan musyawarah sesuai dengan praktik parlemen Indonesia.

“Tidak ada hukum internasional atau nasional yang mencatat secara sah bahwa Papua Barat menjadi bagian dari Indonesia. Tidak ada resolusi PBB yang mengikat status hukum West Papua dalam Indonesia. Wilayah Papua adalah masih wilayah koloni, proses dekolonisasi West Papua digagalkan atas kepentingan dan kongkalikong Amerika Serikat, Belanda, PBB, dan Indonesia,” katanya.

Lanjut Kogoya, New York Agreement 15 agustus 1962 yang melegitimasi PEPERA 1969 tidak sah, karena orang Papua tidak dilibatkan sebagai subjek. Perjanjian Roma Agreement pada 30 September 1962 yang menyepakati tentang pelaksanaan PEPERA 1969.

“Dalam perjanjian Roma di Italia, bagaimana taktik dan strategi PEPERA 1969 harus dimenangkan Indonesia, supaya kapitalis Amerika bisa menanam saham untuk investasi dan eksplorasi sumber daya alam di Papua salah satunya kontrak karya PT Freeport Indonesia. Dalam pertemuan ini menyepakati kontrak karya tentang SDA di Papua. Amerika juga memaksa UNTEA agar sebelum PEPERA 1969, segera mengakhiri tugasnya dan mendesak Belanda serahkan administrasi West Papua kepada UNTEA,” katanya.

Ketika penyerahan administrasi West Papua, kata dia, Belanda menyerahkannya kepada UNTEA lalu dari UNTEA ke Indonesia, sehingga secara sepihak tanpa diketahui orang Papua, sehingga terjadi pemberontakan di Arfai Manokwari 26 Juli 1965.

Tambahnya, kedatangan Indonesia di seluruh Tanah Papua Barat menimbulkan perampokan, pemerkosaan, penindasan, penjarahan, penculikan, pembunuhan, pembasmian dokumen tentang Papua Barat, dan penahanan terjadi di mana-mana.

Akibatnya terjadi perlawanan rakyat penduduk asli Papua yang dipimpin oleh Aser Demotokay pada 1963] di Hollandia (sekarang Jayapura) hingga berlanjut di Manokwari pada 1965. Setelah hasil PEPERA 1969, bentuk protesnya Zet Rumkorem maka dideklarasikanlah negara Republik Papua Barat pada 1 Juli 1971.

Setelah hasil PEPERA diperdebatkan di PBB dan tidak ada resolusi politik yang dilahirkan, sebagian besar negara-negara di Afrika dan Karibia berjumlah 42 negara, menolak hasil jajak pendapat di Papua dan mengusulkan resolusi baru agar referendum di Papua diulang,” katanya.

Kogoya juga berharap agar pemerintah segera menutup PT Freeport, BP, LNG Tangguh, MNC, MIFFE, dan lainnya, yang merupakan dalang kejahatan kemanusiaan di atas Tanah Papua Barat.

“Amerika Serikat, Belanda, Indonesia, Rusia, harus bertanggung jawab atas penjajahan dan pelanggaran HAM yang terjadi terhadap bangsa Papua Barat dari Trikora hingga Otsus berlanjut,” katanya.

Ia juga meminta agar Polda Papua segera membebaskan Victor Yeimo dan seluruh tahanan politik Papua Barat tanpa syarat. “Victor Yeimo adalah korban rasisme bukan pelaku rasisme sehingga harus dibebaskan,” katanya.

Sementara itu, aktivis Green Papua Jhon Giyai yang tergabung dalam Petisi Rakyat Papua mengatakan, pihaknya menolak semua New York Agreement, Roma Agreement, dan Canberra Agreement karena semua ilegal tanpa melibatkan orang asli Papua.

“Oleh sebab itu kami minta untuk Indonesia segera memberikan kemerdekaan bagi bangsa Papua,” katanya. (*)

https://jubi.co.id/amp-jember-sebut-...-di-papua/amp/

Ketika Pepera mayoritas memilih Indonesia, tapi ada juga yang memilih Papua berdiri sendiri walaupun sangat kecil....
Kogoya dapat dari mana data-data tersebut? Arsip apa? Penulisan sejaraanya siapa?

Dia mahasiswa Jember mana? 
b.omat
ksatriabajaputi
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.4K
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.