Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

si.matamalaikatAvatar border
TS
si.matamalaikat
Mengapa Negara-Negara di Dunia Tidak Tertarik Membeli Pesawat Tempur Buatan China ?
Selain kapal selam yang sulit dideteksi, pesawat jet tempur merupakan salah satu inventaris yang wajib dimiliki oleh sebuah negara. Jet tempur punya banyak fungsi, tak melulu digunkan untuk meluncurkan rudal dan menjatuhkan bom. Di masa damai, perannya digunakan untuk patroli udara, melindungi ruang udara sebuah negara dari ancaman "Black Flight".Yaitu penerbangan ilegal yang dilakukan oleh pesawat tempur maupun pesawat sipil.

Karena misi yang begitu penting dan vital di masa damai seperti ini, maka tak heran jika negara-negara maju mulai berlomba menciptakan jet tempur untuk kebutuhan sendiri maupun dijual lagi. Industri pesawat tempur adalah bisnis yang sangat menjanjikan, pasalnya hampir semua negara pasti membutuhkan yang namanya jet tempur. Bayangkan jika agan punya perusahaan yang bisa membuat pesawat tempur, kalian bisa menjualnya hingga US$ 100 juta per biji. Uang ini tentu sudah cukup guna memenuhi fantasi agan untuk bersenang-senang dengan selebgram, artis dan model yang menawarkan jasa open BO.

Biasanya pasar jet tempur di dominasi oleh Rusia dan Amerika, lihat saja di negara tetangga kita, salah satu produk jet tempur buatan mereka pasti digunakan. Bahkan ada juga yang menggunakan produk buatan Rusia dan Amerika sekaligus. Sementara pasar kedua adalah Eropa, saat ini yang lagi naik daun adalah Rafale. Setelah Mesir membeli Rafale tahun 2015, jet tempur ini semakin menarik banyak minat konsumen.

Pesawat jet tempur saat ini banyak sekali pilihannya gan, ada yang super canggih tapi mahal, ada yang super canggih tapi terjangkau, ada yang canggih tapi murah, lalu yang terakhir ada yang super canggih tapi sangat murah. Nah, yang terakhir ini biasanya ditawarkan oleh China gan. Ane kali ini bakal membahas produk Sang Naga, produk buatan mereka biasanya ditawarkan dengan harga murah bahkan super murah.

Tapi mengapa negara-negara di dunia tidak mau membeli jet tempur buatan China ? Bahkan Indonesia yang punya anggaran militer pas-pasan yang notabenenya mampu membeli jet tempur buatan China tersebut, harus berpikir ribuan kali untuk membelinya.


Quote:




Jet Tempur Adalah Kombinasi "Hard" dan "Soft" Power


Mengutip artikel yang ditulis Richard Aboulafia, vice president of analysis at Teal Group pada website foreignpolicy.com, ekspor jet tempur mewakili kombinasi dari hard power dan soft power. Jika suatu negara dapat menjual jet tempur ke luar negeri, itu berarti mereka dapat keuntungan untuk menjual senjata canggih yang dapat dijual hingga US$ 100 juta. Hal itu membuktikan bahwa negara tersebut memiliki daya tarik sebagai mitra strategis. Ini yang dimaksud dengan soft power, karena berhasil mendatangkan keuntungan yang besar pada sebuah negara. Keuntungan tersebut bukan sekadar uang, tapi juga kerja sama strategis dengan negara pembeli.

Sementara hard power, jika suatu negara berhasil membuat pesawat tempur sendiri dan berhasil megekspornya, hal itu akan mempertegas kekuatan industri militer mereka. Sehingga membuat sebuah negara mendapat pengakuan secara global. Hard power ini juga berpotensi menimbulkan ancaman, pasalnya negara yang sudah lebih dulu menguasai pasar jet tempur akan menggunakan berbagai cara untuk menghentikan sebuah produk baru agar tidak bisa dijual ke pasar ekspor.

Jika masih ingin masuk pasar ekspor, negara yang bisa membuat sebuah jet tempur baru harus berkoalisi dengan salah satu negara yang menguasai pasar tersebut, agar produk mereka bisa terjual. Jika tidak demikian, mereka harus mencari pasar sendiri untuk menjual jet tempurnya, misal dijual ke negara di Amerika Latin, Asia Tenggara, atau Afrika.

Pilihan lain adalah merubah spesifikasi produk mereka agar bisa terjual di pasar ekspor, hal ini bertujuan untuk menyesuaikan pasar yang potensial. Misal tadinya membuat pesawat jet tempur omnirole, pesawat tersebut lantas dirubah peran menjadi pesawat COIN alias "Counter Insurgency".Di mana pesawat tipe COIN memang masih punya peminat di kawasan Afrika dan Asia yang rawan akan serangan milisi atau separatis. Hal ini dilakukan oleh Brazil dengan membuat Super Tucano dan Argentina yang membuat Pucara. Itu sekilas mengenai hard power dan soft power.


Quote:



Dengan adanya soft power dan hard power sebagai hasil dari penjualan jet tempur, maka tidak mengherankan bahwa China sedang mengincar posisi sebagai pengekspor pesawat tempur utama selama beberapa waktu. Apalagi pertumbuhan ekonomi mereka semakin meningkat tiap tahun, tentu masalah dana tidak menjadi kendala. Masalahnya adalah tinggal bagaimana cara China membuat pembeli yakin kepada produk buatan mereka.

Seiring pertumbuhan global China, banyak analisis militer memprediksi bahwa ekspor senjata mereka akan menempatkan Sang Naga di panggung dunia. Namun setelah beberapa dekade, analisa itu tidak terjadi. Konfrontasi beberapa bulan lalu dengan Filipina, di mana kapal angkatan laut China memasuki perairan Filipina tanpa izin, dapat menunjukkan inti masalahnya. Pada dasarnya dari kasus Filipina kita bisa melihat kelemahan China, mereka tidak pandai berdiplomasi dengan negara lain yang menjadi tetangganya. Dan saat ini hanya sedikit yang ingin bermitra dengan China.

Masih mengutip dari artikel yang ditulis oleh Richard Aboulafia pada website foreignpolicy.com. Bahwa bulan April 1997, Interavia, sebuah jurnal perdagangan yang pernah berpengaruh, meramalkan, “China Siap Menyalip Rusia” dan mereka akan “melampaui Rusia dalam satu dekade atau lebih sebagai penyedia pesawat tempur ke negara berkembang.”

Prediksi dan ramalan tentang masa depan China pada masanya terus bermunculan dari berbagai jurnal militer, seolah mempertegas mereka akan menjadi kekuatan baru. Sembilan tahun kemudian, Aviation Week & Space Technology berpendapat bahwa “China mungkin muncul sebagai penyedia paket pesawat tempur murah untuk pasar ekspor.”


Quote:



Namun, faktanya setelah beberapa tahun sejak prediksi tersebut diterbitkan, angka-angka yang menunjukkan jumlah ekspor pesawat China dengan jelas mengatakan bahwa, prediksi dari berbagai jurnal itu tidak terjadi. Antara tahun 2000 sampai 2020, China hanya mengekspor pesawat militer senilai US$ 7,2 miliar,menurut database senjata Institut International Peace Research Stockholm.

Sementara itu di rentang waktu yang sama, Amerika Serikat masih berada di urutan teratas, Paman Sam mengekspor pesawat militer senilai US$ 99,6 miliar. Rusia masih di urutan kedua dengan nilai U$ 61,5 miliar. Bahkan ekspor pesawat Prancis dua kali lipat dari China, yakni sebesar US$ 14,7 miliar. Dan hanya ada sedikit tanda-tanda momentum kenaikan untuk ekspor pesawat tempur China.

Quote:




Terjebak di Pasar yang Kecil, Pembeli Pesawat Tempur China Tidak Banyak Berubah


Pesawat tempur buatan China tidak pernah keluar dari pasar inti mereka yang relatif kecil. Pada tahun 1990-an, pelanggan terbesar mereka adalah Pakistan, Bangladesh, Myanmar, Korea Utara, dan beberapa negara Afrika. Dan daftar tersebut tidak berubah sampai hari ini.

Sebuah laporan Pusat Studi Strategis dan Internasional menunjukkan bahwa, sejak 2010, 63,4% dari penjualan senjata konvensional China telah pergi ke Pakistan, Bangladesh, dan Myanmar. Namun, jumlah penjualan ini tidak termasuk dengan penjualan pesawat tempur itu sendiri.


China sebenarnya telah membuat langkah besar dalam meningkatkan teknologi kedirgantaraan mereka, khususnya di bidang militer. China membuat produk-produk berkualitas, atau setidaknya produk yang setara dengan pesawat-pesawat yang berhasil diekspor Uni Soviet dalam jumlah banyak ke berbagai negara. J-10 adalah contohnya.

J-10 merupakan pesawat tempur yang diluncurkan pada tahun 2000-an, memiliki karakteristik dalam kecepatan, jangkauan, muatan, kemampuan senjata, dan sensor. Yang sepenuhnya sejalan dengan pesawat AS, Rusia, dan Eropa di pasar ekspor. Versi terbaru, J-10C, memiliki radar array yang dipindai secara aktif oleh perangkat elektronik, seperti yang dilakukan kebanyakan pesawat tempur Barat modern.

Namun, tidak ada satu pun pesawat yang berhasil dijual ke luar negeri. Bahkan ketika China mencoba untuk menjajakan J-10 kepada pelanggan pesawat militer terbesarnya, seperti Pakistan, dan negara-negara lain selama lebih dari 15 tahun. Pakistan sendiri masih bertahan dengan teknologi lama dari China dengan memakai pesawat JF-17, hal itu karena Pakistan mampu membelinya, selain itu Pakistan sudah bisa merakit sebagian komponennya di dalam negeri.


Quote:



Pesawat tempur China lainnya memiliki nasib serupa. Misalnya pesawat tempur China terbaru dengan fitur "stealth", yang membantu mereka menghindari deteksi radar, seperti J-20 dan FC-31 (J-31). Keduanya juga telah hadir di pasar dalam beberapa tahun terakhir. Keduanya juga belum berhasil dijual, pasalnya pesawat-pesawat ini terlalu mahal untuk kelompok pelanggan pesawat tempur inti China. Tapi hal itu tidak menjelaskan kegagalan ekspor seluruh model pesawat lainnya.

Penjelasan terbaik dari kegagalan penjualan pesawat tempur mereka adalah kebijakan luar negeri China. Filipina adalah contoh sempurna mengapa ambisi ekspor pesawat tempur China terhenti. Selama lima tahun, Presiden Filipina Rodrigo Duterte telah mencoba menjauhkan negara itu dari Amerika Serikat dan menuju China. Juga, sampai beberapa tahun yang lalu, negara itu tidak pernah membeli jet tempur baru, anggaran pertahanan yang terbatas hanya mampu membeli jet tempur bekas dari Amerika Serikat.

Ketika Filipina kekurangan uang dan bersemangat untuk menegaskan jalur pro-China, hal ini adalah resep sempurna untuk terobosan pasar ekspor pesawat tempur China kepada negara anggota ASEAN tersebut. Jika negara itu akhirnya membeli beberapa skadron pesawat tempur China sambil secara bersamaan menuntut Angkatan Laut AS menjauh dari bekas pangkalan Filipina untuk selamanya, seperti yang akan dilakukan pada Februari 2020. Dunia akan menganggap ini sebagai kebijakan luar negeri China yang besar.

Sekarang, itu sepertinya tidak mungkin. Bulan lalu, ketegangan antara kedua negara di Laut China Selatan memanas hingga mendidih. Pada tahun 2015, alih-alih membeli pesawat tempur China, Filipina justru membeli FA-50 buatan Korea Aerospace Industries.

Membeli pesawat tempur buatan Korsel memungkinkan Filipina untuk menjauh dari ketergantungan pada persenjataan AS. Tetapi pesawat ini berbasis di sekitar teknologi AS, termasuk mesin General Electric dan beberapa perangkat buatan Lockheed Martin. Pada akhirnya, Filipina tetap bergantung pada kekuatan udara yang mengandalkan teknologi dari Amerika.


Quote:



Bukan Hanya Filipina, Tetangga Dekat China Bahkan Membenci Mereka


Menurut analisis Richard Aboulafia, banyak negara yang tidak menyukai China dan mulai bersikap waspada. Faktanya bukan hanya Filipina. Tetangga China yang lain juga tidak menyukai China, contohnya adalah India. India sebagai pelanggan pesawat tempur Rusia dengan minat yang kuat dalam pengadaan dari berbagai negara, sebenarnya harus menjadi pelanggan potensial bagi J-10 atau J-11. Bahkan dengan bantuan India, China sebenarnya bisa mengembangkan produknya jauh lebih baik.

Tetapi China justru menghadapi konfrontasi perbatasan yang buruk dengan India di Himalaya. Pada perkembangannya, India justru semakin masif membeli jet tempur ke negara-negara Barat untuk peralatan militer dan bahkan tidak akan pernah mempertimbangkan produk China.

Bukan hanya India, China juga tidak disukai 4 negara sekaligus di kawasan Asia Tenggara. Misalnya Vietnam, mereka memiliki perselisihan maritim yang memburuk dengan China. Filipina, Malaysia dan Indonesia kini juga terus menerapkan status siaga satu, mengantisipasi rencana besar China di wilayah laut yang mereka klaim sebagai miliknya. Keempat negara ini selalu berpikir ribuan kali sebelum mempertimbangkan membeli pesawat tempur China.


Quote:



Gagalnya penjualan pesawat kepada negara potensial di kawasan Asia Tenggara menunjukkan kurangnya "soft power". Penjualan pesawat tempur sering kali melibatkan hubungan perdagangan, karena mereka cenderung menyertakan penyeimbang komersial atau pemanis ekonomi, misalnya transfer teknologi (ToT) yang dirancang untuk mengurangi sebagian biaya paket senjata.

Tetapi sistem ekonomi China yang relatif tertutup, menandakan bahwa pelanggan potensial dengan ekonomi berorientasi ekspor memiliki sedikit keuntungan, karena China ingin menjadi produsen ekspor yang dominan secara global dan tentu saja tidak ingin meningkatkan barang-barang manufaktur yang diimpor. Jika ada, China secara historis menjadi pesaing dengan pasar negara berkembang lainnya untuk investasi dan perusahaan asing.




Ketika China Berjuang Menjual Pesawat Tempurnya, Amerika Justru Semakin Memperkuat Pengaruhnya


Ekspor pesawat tempur lebih dari sekadar kontes popularitas, hal tersebut juga mencerminkan hubungan negara penjual dengan negara pembeli, sekaligus membantu memperkuat hubungan strategis. Penjualan ekspor militer meningkatkan produksi program, dan peningkatan output yang dapat membuat produksi lebih murah.

Misalnya penjualan F-35 Amerika Serikat, pesawat tempur tersebut kini sudah masuk pasar ekspor, hasil penjualan ke pasar ekspor hampir sama dengan pembelian domestik oleh Angkatan Udara Amerika. Mereka setidaknya mulai menuai laba dari jet tempur yang dianggap mahal tersebut. Dan yang terpenting dari proses ekspor senjata adalah jika terjadi krisis atau perang, pelanggan dapat membantu negara penjual dengan logistik dan dukungan untuk armadanya sendiri, misalnya, suku cadang, senjata, dan peningkatan. Cara ini sudah lama diaplikasikan oleh Amerika, baik dengan negara sekutu maupun non sekutu.


Mengoperasikan pesawat yang sama juga membuka pintu untuk hubungan yang harmonis dan komunikasi yang lebih mudah antara negara penjual dan negara pembeli. Hal itu akan membuat pembeli merasa mendapat keuntungan baik di bidang militer dan non militer, hal ini diterapkan kepada negara non sekutu seperti Indonesia. Misalnya beberapa waktu lalu TNI AU dan U.S. Air Force melakukan latihan bersama memakai pesawat F-16.

Meski ada berbagai kepentingan dalam latihan tersebut, tapi satu hal yang pasti, Amerika sukses menjaga hubungan baik dengan Indonesia. Tak hanya sekadar latihan, U.S. Air Force juga berbagi pengalaman tentang operasional F-16. Hal ini adalah contoh "soft power" yang sesungguhnya, Indonesia sebagai pembeli diperlakuakan bak raja.

Meski hanya membeli pesawat bekas F-16 dan hanya memiliki stok lawas F-16A/B, U.S. Air Force rela jauh-jauh terbang dari pangkalan mereka di Jepang dan menuju ke Indonesia hanya untuk latihan dengan pesawat seperti F-16. Bahkan Rusia tidak melakukan hal tersebut kepada negara non blok. Hal ini adalah wujud kerja sama strategis antar kedua negara, meski ada beragam kepentingan, tawaran latihan bersama dengan Amerika sangat sayang untuk dilewatkan. Ini yang disebut bahwa jet tempur difungsikan sebagai "soft power".


Quote:



China harus belajar dari rivalnya, bahwa menjual jet tempur bukan hanya soal kompetisi siapa yang terbaik, tapi jet tempur juga bisa berperan sebagai media menjalin kerja sama dan memperkuat hubungan antara negara penjual dan pembeli. Jika anda memperlakukan konsumen dengan baik, maka ia akan terus membeli barang dari toko anda. Itulah hal yang selama ini diterapkan Amerika.

Tidak seperti Amerika, China bahkan tidak memiliki daya tarik sebagai mitra strategis di kawasan Asia. Mereka memiliki sedikit minat dalam melestarikan status quo di Asia, sedikit keraguan tentang ekspansi teritorial, dan hampir tidak ada catatan dukungan sekutu pada saat krisis.

Kekuatan-kekuatan lain di kawasan itu melihat sedikit keuntungan dari hubungan strategis dengan China, yang tidak dapat dipisahkan dari pembelian jet tempurnya. Sebenarnya pasar besar di kawasan Asia adalah Jepang, Korea Selatan, Australia, Taiwan, dan Singapura. Namun, semua sumber pesawat militer mereka hampir secara eksklusif dari Amerika Serikat, dan empat di antaranya adalah mitra serta pelanggan program F-35. Dan semuanya akan memainkan peran penting dalam konflik apa pun dengan China.

Sementara Beijing masih berjuang untuk menemukan peminat, ekspor senjata Amerika kini siap untuk pertumbuhan lebih lanjut. Misalnya India, dalam beberapa tahun terakhir telah membeli pesawat patroli maritim P-8 dengan nilai lebih dari US$ 12 miliar, masih ada pesawat kargo militer C-17 dan C-130J, ditambah helikopter AH-64 dan CH-47.

Penjualan pesawat tempur AS pertama ke India sangat mungkin terjadi dalam masa mendatang. Bahkan ada diskusi tentang kemungkinan penjualan pesawat militer AS ke Vietnam, dan dalam beberapa tahun terakhir Vietnam juga mulai memesan beberapa pesawat patroli maritim Airbus dari Spanyol.


Quote:



Sementara itu, jika sewaktu-waktu terjadi konflik regional antara China dan negara-negara lain, China hanya dapat mengandalkan kerja sama dan dukungan kekuatan udara dari Myanmar, Laos, dan Korea Utara. Bahkan negara-negara tersebut tidak akan terlibat dalam konflik tersebut serta tidak akan memainkan peran penting.


Kesimpulan penting dari thread yang panjang lebar ini adalah "percuma membangun pesawat tempur serta senjata yang bagus, jika Anda tidak memiliki teman".

Sekian ulasan panjang kali ini, semoga bisa bermanfaat untuk agan dan sista, sampai jumpa emoticon-Angkat Beer




Referensi Tulisan: feoreignpolicy.com
Ilustrasi Gambar: Chinese Ministry of Defense, jetphotos.com, Pinterest
Diubah oleh si.matamalaikat 11-08-2021 08:12
RyuDan2255
pitaksemprul
badasshomer
badasshomer dan 35 lainnya memberi reputasi
36
16.1K
196
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Militer dan Kepolisian
Militer dan KepolisianKASKUS Official
2.2KThread2.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.