Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

sangdewikantiAvatar border
TS
sangdewikanti
Mayoritarianisme Menjadi Tantangan Besar bagi Perdamaian di Indonesia
Mayoritarianisme Menjadi Tantangan Besar bagi Perdamaian di Indonesia

Konten ini diproduksi oleh Sarah Novianti



Ilustrasi konflik atau perpecahan, foto oleh Hasan Almasi dalam Unsplash

Sebagai negara yang dibangun dengan keragaman etnisitas, Indonesia menjadi negara multikultur terbesar di dunia. Masyarakatnya hidup dalam sebuah satuan politik negara kesatuan yang bercorak republik dengan sistem pemerintahan demokrasi. Selain tentunya menjadi kebanggaan tersendiri, kemajemukan tersebut sebanding dengan tantangan persatuan dan kesatuan negara.

Sebagaimana pelajaran yang bisa kita petik dari runtuhnya berbagai negara besar seperti Yugoslavia dan Uni Soviet, berbagai perbedaan yang ada harus dibina, keadilan dan proteksi terhadap kelompok-kelompok tertentu harus diperjuangkan agar tidak berujung pada konflik dan perpecahan.

Menyatukan 500 lebih kelompok etnis dengan macam budaya, agama, kepercayaan dan ragam bahasanya jauh melebihi keragaman di Yugoslavia yang runtuh akibat konflik etnis, bukanlah hal yang mudah. Dalam perjalanannya perdamaian di Indonesia mengalami goncangan dan tantangan.

Kita tidak bisa menafikan fakta bahwa corak masyarakat majemuk di Indonesia dibangun oleh kelompok besar yang dominan. Ada kelompok etnisitas, suku dan agama dengan jumlah kelompok dan penganut terbesar yang tentunya berpengaruh dalam aktivitas sosial dan politik negeri ini.

ADVERTISEMENT

Berdasarkan data Badan Pusat Satistik dan World Population Review, suku Jawa berjumlah 40% dari total populasi dan agama Islam sebagai agama mayoritas dengan jumlah mencapai 87,2%. Selain itu dengan 56,7% populasinya tinggal di Pulau Jawa yang mana pusat pemerintahan dan ekonomi berada di pulau ini. Selain menjadi tantangan pembangunan dan pemerataan tentu juga menjadi tantangan bagi perdamaian di Indonesia.

Kita tidak bisa lupa dengan tragedi Sampit, kerusuhan di Ambon, tragedi penyerangan terhadap etnis Tionghoa di Surakarta, dan lainnya. Rupanya kemajemukan dan keberagaman Indonesia bukanlah hal yang menjadi penyebab utama konflik di Indonesia. Jika keberagaman itu adalah sumber perpecahan dan ancaman persatuan, lalu mengapa Indonesia dengan jumlah etnis melebihi yang ada di Yugoslavia masih berdiri utuh hingga sekarang?

Tantangan terbesar bagi perdamaian di Indonesia ternyata datang dari tendensi mayoritarianisme dalam praktek sosial dan politik di Indonesia serta dikotomi Pusat dan Daerah.

Menurut Direktur Eksekutif LSI Djayadi Hanan, mayoritarianisme adalah suatu pandangan, sikap, bahwa mayoritas yang harus diutamakan, dan minoritas harus ikut terhadap mayoritas. Dalam pemikiran politik, mayoritarianisme berpandangan bahwa warga mayoritas sebuah negara paling berhak menentukan kebijakan politik.

Selain itu politik identitas seringkali menjadi ancaman bagi demokrasi Indonesia, karena memilih pemimpin bukan berdasarkan kapabilitas namun karena kesamaan identitas. Orang-orang yang berkualitas dan memiliki kompetensi akhirnya tersingkir karena jumlah suara, padahal belum tentu suara mayoritas itu benar dan bermutu

Kelompok-kelompok besar baik mayoritas agama, bahasa, suku atau yang lainnya seringkali dirasa memiliki kontrol, pengaruh dan kuasa dalam kehidupan sosial dan politik yang diwujudkan dalam bentuk keputusan, kebijakan publik, aturan bahkan way of life yang berpengaruh pada kelompok lainnya dalam hal ini adalah kelompok minoritas.

ADVERTISEMENT

Mayoritas Vs Minoritas

Setiap kebijakan dan keputusan pun dibuat harus paling sesuai dengan kepentingan kelompok mayoritas. Selalu ada anggapan di masyarakat bahwa mayoritas harus diutamakan, dihormati haknya dan didengar suaranya. Dalam praktek-praktek sosial misalnya pembangunan tempat ibadah agama minoritas di wilayah dengan penduduk agama mayoritas seringkali mendapat penolakan dan menimbulkan konflik di masyarakat. Barangkali kita juga masih ingat kasus penolakan terhadap warga non-Muslim yang akan mengontrak rumah di sebuah desa.

Kasus Meiliana yang dipenjara 18 bulan karena mengeluhkan pengaras suara azan dari Masjid Al Maksum Tanjungbalai, Sumatera Utara. Pertentangan yang biasa muncul biasanya ketika di hari ibadah agama mayoritas salah satunya pada bulan puasa banyak masyarakat penganut agama minoritas di Indonesia kesulitan untuk mendapat akses makanan di bulan tersebut karena anjuran untuk menghormati umat muslim untuk tidak makan di depan umum di waktu siang.

ADVERTISEMENT

Dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat diskriminasi kepada minoritas seringkali dilakukan tanpa ragu seperti bersikap sinis, tidak suka terhadap etnis tertentu misalnya terhadap orang etnis Tionghoa. Sikap sinis tersebut biasanya disebabkan miskonsepsi tentang orang etnis Tionghoa yang dianggap pelit, mendominasi, pekerja keras, tidak ingin berbaur dengan masyarakat dan tidak menganut agama mayoritas. Jika dirunut kadangkala hal tersebut dikarenakan ketakutan akan ancaman terhadap sumber penghasilan, ekonomi, dan tanah mereka.

Contoh lainnya diskriminasi terhadap orang-orang Papua, dikarenakan mayoritas penduduk Indonesia adalah ras Melayu sehingga orang-orang Papua yang merupakan ras Melanesia atau Negroid memiliki ciri-ciri fisik yang berbeda dengan orang Indonesia kebanyakan. Dari perbedaan fisik tersebutlah rasisme terhadap masyarakat Papua sering terjadi di masyarakat kita.

Kelompok minoritas yang juga menjadi pesakitan salah satunya dari masyarakat penghayat kepercayaan nenek moyang yang jumlahnya sangat banyak di Indonesia. Sebelumnya mereka bahkan tidak masuk dalam agama yang diakui di Indonesia. Diskriminasi yang terjadi dalam pelayanan publik pada komunitas masyarakat penganut aliran penghayat.

Seperti yang penulis pernah teliti pada masyarakat penganut Sunda Wiwitan di Kampung Gajah, Cirendeu, Cimahi, Jawa Barat. Mereka seingkali menemui kesulitan untuk mencatatkan data sipil, pernikahan dan kependudukan terutama KTP yang mana kolom agama mereka dikosongkan atau diisi dengan agama lain.

Di sekolah mereka juga biasanya dipaksa untuk mengikuti pelajaran agama mayoritas, bahkan jika mereka menikah harus dengan tata cara agama mayoritas.. Bukankah aliran-aliran kepercayaan nenek moyang seperti Sunda Wiwitan, Kejawen Marapu, Tolotang, Ugamo dan lainnya sudah ada di Indonesia bahkan sebelum 6 agama resmi Indonesia hadir.

Metanarasi mengenai definisi agama yang dikonstruk di masyarakat sebagai tantangan bagi aliran penghayat. Agama harus jelas bentuk penyembahan Tuhannya, memiliki kitab suci, tempat ibadah, ritual keagamaan, nabi atau utusan tentu tidak sesuai dengan sistem religi di masyarakat indigeneous Indonesia. Mayoritarianisme, diskriminasi, pengabaian, dan rasisme tersebut pada gilirannya selalu berujung pada konflik horizontal dan vertikal.

Dominasi mayoritas terhadap kebijakan-kebijakan pada akhirnya hanya akan membawa masalah terhadap komunitas dan kelompok minoritas tertentu.

Primordialisme dan etnosentrisme di masyarakat, kebanggaan dan ego bahwa kelompok, etnis, budaya dan agamanya lebih unggul dibanding yang lain juga menjadi faktor munculnya gesekan-gesekan di masayarakat.

Dikotomi Pusat dan Daerah

Selain itu tantangan terbesar lainnya adalah dikotomi Pusat dan daerah. Dimana segala kegiatan perekonomian, pemerintahan, pembangunan, dan pendidikan yang terpusat di daerah. Sedangkan daerah hanya dianggap sebagai wilayah penyangga saja. Daerah hanya sebagai sumber kekayaan ‘pusat’ yang disamakan dengan Jawa, dan menjadikan Jawa semakin kaya saja. Dikotomi tersebut juga diwujudkan dalam konsep ‘pusat’ sebagai tempat peradaban dan kemajuan, sedangkan ‘daerah’ sebagai kebalikan dari ‘pusat’ sebagai yang terbelakang, alam, misikin, tidak berdaya.

Dari dikotomi inilah muncul kekerasan struktural, kultural dan terbuka. Sebagi contoh konflik antara pemerintah dengan GAM, RMS, OPM, juga konflik-konflik yang berakar dari pembangunan yang tidak merata, pengabaian dan pelanggaran terhadap hak hidup, hak budaya, hak agama komunitas-komunitas adat, ulayat, masyarakat termarjinal, minoritas dan tidak berdaya.

Pendidikan Multikultur Sebagai Solusi

Cara untuk mengatasi tantangan-tantangan perdamaian di Indonesia ini salah satunya melalui pendidikan multikultur dan perdamaian yang dimulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi bahkan di masyarakat itu sendiri. Selain itu kelompok-kelompok mayoritas hadir sebagai agen perdamaian, di mana mereka pasang badan bagi mereka yang minoritas.

Kelompok-kelompok terpinggir ini harus diproteksi dan dijaga oleh negara sebagai wujud dari penghormatan terhadap Pancasila, hak asasi manusia dan demokrasi. Supremasi-supremasi mayoritas harus dilangkan baik dalam sosial, kultural, dan politik.

https://m.kumparan.com/sarahnovianti...ia-1w774Qezxkf

Solusi terbaik melawan arogansi mayoritas agama tertentu terhadap minoritas yaitu mencabut status mayoritas agama tertentu dengan ganti status agama tertentu dengan agama lainnya / kosongkan kolom agama di ktp agar statistik mayoritasnya turun dratis







Berktp agama mayoritas secara tak langsung sama aja dengan memberi kesempatan kepada mayoritarianisme agama memperkusi kawan2 dari agama minoritas

nomorelies
Somad.Monyong
mohri17
mohri17 dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.2K
31
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.