Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

orangkreatif01Avatar border
TS
orangkreatif01
TETANGGA JULID - Cerita Bersambung
TETANGGA JULID - Cerita Bersambung
Tetangga Julid (1)


"Mbak Ratimah kok bajunya itu-itu saja untuk pengajian. Minggu lalu sudah pakai baju dan kerudung ini, hari ini masa dipakai lagi. Apa enggak malu sama Ibu-Ibu lainnya?" ujar Bu Minah sambil menunjuk-nunjuk gamis berwarna ungu yang tengah Ratimah kenakan.


"Memangnya kenapa, Bu? Apa ada yang salah? Bukannya yang penting bajunya sudah saya cuci dengan bersih. Jadi sah-sah saja mau dipakai lagi ke dalam masjid." Ratimah menjawab dengan lembut disertai seulas senyuman di wajahnya. 


Di belakang Ratimah. Ibu-Ibu sedang berbisik-bisik mengomentari pakaian yang ia kenakan. Suara mereka mirip lebah yang berdengung.


"Bukan begitu Mbak Rat. Saya ini ketua grup WA di majelis taklim RT kita. Tadi malam saya sudah memberitahu kepada semua anggota grup untuk pakai gamis dengan warna yang sama. Warna biru muda. Begini, lho … seperti yang saya kenakan dan Ibu-Ibu lainnya." Bu Minah menunjukkan bajunya dan baju Ibu-Ibu lainnya. Memang benar, mereka menggunakan gamis yang warnanya sama.


Ratimah menelan ludah. Ia bingung karena memang tidak tahu ada keharusan semacam itu. Kuota internetnya habis beberapa hari yang lalu. Ia belum mampu mengisi ulang lagi. Lagipula, ia juga tidak memiliki gamis biru muda yang seperti teman-teman pengajiannya kenakan.


"Maaf ya Bu Minah. Saya tidak bermaksud merusak dress code yang sudah kalian semua sepakati. Kuota saya habis jadi tidak tahu," kata Ratimah kepada semua Ibu-Ibu anggota grup WA RT-nya.


Bu Minah melirik sinis. Ia berbisik-bisik dengan beberapa Ibu-Ibu lain yang berdiri di belakangnya sejak tadi. 


"Ya sudah kalo begitu Mbak Rat. Kami sudah sepakat untuk tidak memperkenankan Mbak Ratimah duduk bersama barisan kami. Silakan duduk di belakang bersama Ibu-Ibu yang mengenakan baju bebas lainnya. Kami malu kalo ada yang foto terus ditaruh di grup pengajian antar kelurahan. Bisa-bisa desa kita kalah saing sama desa lainnya gara-gara Mbak Ratimah. Saya dan Ibu-Ibu lainnya enggak mau. Iya 'kan Ibu-Ibu?" Bu Minah bertanya kepada Ibu-Ibu di belakangnya dan serempak setuju terhadap pendapat Bu Minah.


"Iya, bener! Sia-sia nanti gaya kece badai kita, ya." Ibu Ulfi menyambar begitu saja. Di antara Ibu-Ibu lainnya, ia adalah yang berhubungan begitu dekat dengan Bu Minah.


"Ya sudah, Bu. Kalo begitu saya akan pindah ke belakang." Ratimah dengan perasaan sedih terpaksa berpisah dengan Ibu-Ibu lainnya. Ia bergabung di barisan paling belakang bersama orang-orang dengan pakaian bebas.


Pengajian yang diselenggarakan RT 06 sekilas terlihat berjalan dengan baik. Orang tidak akan pernah menduga apa yang terjadi di belakang foto-foto yang beredar. Foto-foto kumpulan Ibu-Ibu yang memakai gamis biru tersenyum lebar bersama salah satu Ustadzah yang terkenal di kota mereka.


Ratimah berjalan kaki pulang dengan perasaan gundah. Sejak kejadian tadi, ia merasa malu jika bergabung lagi bersama Ibu-Ibu lainnya yang bisa kompak. Sedangkan dirinya, untuk makan saja susah. Ia berharap dengan rajin datang ke pengajian hidupnya akan menjadi lebih ringan. Akan tetapi malah yang ia dapati justru sebaliknya. Semua orang menjadikan momen pengajian mingguan sebagai ajang pamer, bukan hanya bertujuan untuk menambah ilmu dan iman.


"Kok pulangnya enggak bareng Ibu-Ibu lainnya, Rat?" Mbak Kinasih bertanya, ia sedang menjemur baju di depan rumahnya yang terletak di pinggir jalan.


"Saya duluan soalnya, Mbak." Ratimah menjawab ramah.


"Lho, kok bisa? Saya, sih, mau ikutan kemarin. Tapi kebetulan datang bulan tadi pagi jadi ya enggak bisa," kata Kinasih. 


"Mereka lagi foto-foto, Mbak. Saya sengaja pulang duluan takut bapaknya anak-anak pulang enggak ada orang. Saya belum nyiapin masakan." Ratimah menjawab ramah.


"Oalah ... Ya sudah Mbak Rat. Mampir dulu Mbak seharusnya. Rumahmu kan lumayan jauh jadi jarang kemari." 


"Makasih saja, Mbak. Buru-buru soalnya. Assalamu'alaykum, ya ...." 


"Iya! Wa'alaykumsallam Mbak!" 


Kinasih kembali melanjutkan kegiatannya setelah Ratimah pergi.


Hati Ratimah masih gundah akan kejadian di tempat pengajian tadi. Ia masih merasa sedih jika mengingat-ingat bagaimana cara Ibu-Ibu lain menatapnya. Apa yang salah coba, ia mengenakan baju tertutup, rapih dan tidak berbau. Tidak ada agama yang melarang pengajian menggunakan gamis yang itu-itu saja.


"Sudah, lah, Bu. Jangan dipikirkan terus. Insyaa Allah kalo kita sabar kita akan dapat ganjaran," kata sang suami menenangkan.


Ratimah menyendokkan nasi beserta lauknya ke piring suaminya, lantas mengambil untuk dirinya sendiri.


"Nggak nyangka aku, Pak. Pengajian bisa jadi seribet itu. Jujur aku sangat sakit hati, Pak."


"Sekarang aku tanya sama kamu, Bu. Tadi di pengajian Ustadzah bahas soal apa?"


"Soal pahala sabar, Pak." 


"Lha, itu, Bu. Kamu berarti diuji Allah untuk praktek langsung."


Ratimah langsung tertegun setelah mendengar perkataan suaminya barusan. Ia yang tadinya masih merasa sedih, perlahan mencoba sabar dan menerima saja.


"Betul juga, sih, Pak."


Jam istirahat Kohar sudah selesai. Sudah waktunya ia kembali lagi ke ladang. Pak Kohar berpamitan dengan Ratimah untuk kembali bekerja.


"Bapak kembali lagi bekerja, ya, Bu." ujar Kohar, ia lantas mengambil cangkul yang diletakkannya tadi di teras rumah. Lalu pergi kembali ke ladangnya dalam keadaan tenaga yang sudah terisi penuh.


Tak lama kemudian. Bocah berusia sekitar 11 tahun telah sampai di depan halaman rumah Kohar dan Ratimah. Ia adalah Banu. Putra sulung pasangan yang baru saja menyelesaikan makan siangnya bersama.


Banu mengucap salam dengan lantang. Ia tahu Ibunya ada di rumahnya. Tanpa menunggu jawaban dari Ibunya yang mungkin saja tidak mendengar salamnya. Bocah itu langsung bergegas ke halaman belakang rumah, ia sudah menebak Ibunya tengah berada di sana.


Di sanalah kini Ratimah. Ia tengah mencampur tanah dengan pupuk untuk tanamannya nanti sore.


"Sudah pulang, Nu?"


"Sudah, Bu. Tadi Banu mengucap salam Ibu tidak ada menjawab. Langsung saja aku ke belakang rumah. Benar 'kan dugaanku, Ibu di sini." Bocah itu mencium tangan Ibunya yang agak sedikit kotor terkena tanah, bocah itu meringis kepada Ibunya. Memperlihatkan gigi bagian depannya yang berukuran cukup besar.


"Kenapa meringis begitu, Nu?" tanya sang Ibu cukup heran. 


"Biasa, Bu. Banu lapar. Hehehe." Bocah itu lagi-lagi tertawa. 


"Baiklah kalau begitu. Kamu masuk ke dalam rumah, ganti baju, letakan tas dan sepatu pada tempatnya. Akan Ibu siapkan makananmu, ya." ujar sang Ibu sambil mencium kening sang anak.


Bocah itu mengangguk. Tanpa banyak bicara ia melakukan apa yang Ibunya katakan. Sementara Ratimah, ia menyelesaikan beberapa hal sebentar sebelum masuk ke dalam rumah menyiapkan makan siang sang anak.


Sedangkan di rumah lain. Keadaanya jauh berbeda dengan kehidupan sederhana keluarga Kohar yang rumahnya masih rumah kayu dan hanya seorang petani.


Siapakah gerangan keluarga yang akan diceritakan selanjutnya?


Bersambung ....

mmuji1575
MFriza85
bukhorigan
bukhorigan dan 3 lainnya memberi reputasi
4
952
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32KThread45KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.