Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ikardusAvatar border
TS
ikardus
Hasil KLB Ditolak Kemenkumham, Kubu Moeldoko: Ini Baru Babak Baru
Suara.com - Ketua Departemen Komunikasi dan Informasi Partai Demokrat di bawah kepemimpinan Moeldoko, Saiful Huda menyebut keputusan Kemenkumham yang menolak hasil KLB Deli Serdang dianggap sebagai babak baru.

Pihak Moeldoko bakal ajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara atau PTUN. Menurutnya, pertarungan sesungguhnya ada di persidangan PTUN atas cacatnya AD/ART yang disahkan Tahun 2020.

Saiful mengatakan, sejak awal pihaknya tak terlalu ambil pusing soal keputusan Kemenkumham yang menolak atau terima hasil KLB Deli Serdang. Bagi kubu Moeldoko keputusan diterima atau ditolak tidak berpengaruh terhadap kedua kubu.

"Sebab pokok penuntasan persoalan ini bukanlah di Kementrian Hukum dan HAM, melainkan di Pengadilan (PTUN)," kata Saiful dalam keterangannya, Rabu (31/3/2021).

Baca Juga: Demokrat Moeldoko Ditolak, Yasonna: Bukti Pemerintah Bertindak Objektif

Saiful mengatakan, baik diterima atau ditolaknya hasil KLB pihaknya tetap akan mengajukan gugatan ke PTUN. Upaya hukum menurutnya, keputusan Kemenkumham hanya dianggap sebagai babak awal.

"Kementrian Hukum dan HAM bukanlah pengadilan yang dapat memutuskan menang atau kalahnya 'Mujahid dan Mujtahid Demokrasi'. Kementrian Hukum dan HAM bukanlah lembaga penentu terakhir bagi kelanjutan nasib para Pejuang Demokrasi yang terus berupaya mencari dan memperjuangkan keadilan," tuturnya.

Baca juga: Pemerintah Persilakan Kubu Moeldoko Gugat ke Pengadilan PTUN

Lebih lanjut, Saiful menyampaikan saat ini pintu untuk melayangkan gugatan ke PTUN masih terbuka lebar.

Ia pun meminta kubu AHY tidak lantas bertepuk tangan atas keputusan Kemenkumham hari ini.

"Dan sebelum ada keputusan dari PTUN tidaklah elok bagi kubu yang telah menerima pengesahan dari Kementrian Hukum dan HAM bertepuk dada, apalagi fakta telah menunjukkan berbagai kenyataan bahwa terdapat banyak pelanggaran UU Partai Politik yang terdapat dalam AD/ART Partai Demokrat Tahun 2020 pimpinan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) yang seenaknya diubah tanpa Munas, kami yakin PTUN akan memenangkan AD/ART yang asli yaitu hasil Munas tahun 2005," tandasnya.

Baca Juga:Kudeta Moeldoko Gagal, AHY: Terima Kasih Presiden Jokowi

Ditolak Pemerintah

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly menyatakan pemerintah secara resmi menolak permohonan pengesahan kepengurusan Partai Demokrat dari hasil Kongres Luar Biasa (KLB) Deli Serdang, Sumatera Utara.

Meski sudah dua kali menyampaikan syarat-syaratnya, kubu Demokrat versi Ketua Umum Moeldoko itu tetap tidak memenuhi verifikasi.

Pengajuan perdana dilakukan kubu Demokrat versi Deli Serdang kepada Kemenkumham pada 16 Maret 2021. Mereka mengajukan permohonan berdasarkan surat Nomor 01/DPP.PD-06/III/2021 yang dibuat 15 Maret 2021.

"Yang pada pokoknya menyampaikan permohonan pengesahan hasil KLB Partai Demokrat di Deli Serdang Sumatera Utara, 5 Maret 2021," kata Yasonna dalam konferensi pers yang disiarkan secara virtual, Rabu (31/3/2021).

Yasonna meyakini pihaknya sudah memberikan batas waktu selama tujuh hari yang sesuai dengan Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 34 Tahun 2017.

Akan tetapi, pada pemeriksaan lanjutan, pihak Kemenkumham masih menemukan adanya kekurangan dokumen. Dokumen yang dimaksudnya ialah perwakilan DPD, DPC dan juga tidak disertai mandat dari Ketua DPD dan DPC.

Karena itu, pemerintah tidak bisa mengesahkan permohonan kepengurusan Partai Demokrat dari hasil KLB Deli Serdang.


https://www.suara.com/news/2021/03/3...-baru?page=all


Praktisi Hukum: AD/ART Demokrat 2020 Diduga Cacat Prosedur



Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat tahun 2020 bisa digugat di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) karena diduga cacat prosedur.

"Hasil perubahan yang sudah disahkan oleh Menkum HAM masih terbuka peluang untuk mengajukan gugatan," kata Laksanto Utomo, Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI) dalam webinar bertitel "Mengembalikan Khitoh Peran Patai Politik dalam Sistem Hukum Indonesia" pada Rabu (25/3).

Laksanto menyampaikan pandangan tersebut setelah menganalisa AD/ART Partai Demokrat tahun 2020 dan hasil penelusuran dari berbagai sumber informasi, termasuk pemberitaan media.

"Perubahan penetapan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga Partai Demokrat 2020 patut diduga dibuat di luar mekanisme forum kongres," ujarnya.

Meski demikian, lanjut pria yang juga mengajar di Usahid Jakarta ini, dugaan tersebut perlu penelitian lebih lanjut secara mendalam pada AD/ART 2020 karena perubahannya tidak sesuai AD/ART tahun 2005 dan UU Nomor 2 Tahun 2011.

"Perubahan anggaran dasar anggaran/rumah tangga 2020 itu tidak transparan dan tidak dibuat sesuai Ad/ART 2005, dan UU Parpol maka niscaya AD/ART patut diduga mempunyai cacat prosedur," ujarnya.

Ia menyampaikan, pada alinea ke-10 AD/ART Demokrat tahun 2020, intinya memosisikan Sulilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Ventje Rumangkang sebagai pendiri atau founding father partai.

Alinea 10 tersebut patut dipertanyakan. Pasalnya, berdasarkan hasil penelusuran bahwa pada 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama, lantai 11, Jakarta Selatan, bahwa sebanyak 46 dari 99 orang menyatakan bersedia menjadi pendiri partai.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Asosiasi Profesi Hukum Indonesia (APHI), Laksanto Utomo, menduga perubahan AD/ART Demokrat cacat prosedur. (GATRA/Iwan Sutiawan)Adapun yang hadir dan menandatangani sebanyak 53 orang. Sisanya tidak hadir dan memberikan kuasa kepada Vetje Rumangkang. Berdasarkan akte pendirian tersebut di hadapan notaris, secara yuridis pendiri Partai Demokrat sebanyak 99 orang.

"Dengan demikian, poin 10 Partai Demokrat versi 2020 ini patut diduga sengaja hanya mengakui Susilo Bambang Yudhoyono dan Ventje Rumangkang dengan menghilangkan atau menghapus 97 orang Partai Demokrat," katanya.

AD/ART Partai Demokrat yang berlaku selama 5 tahun itu, jika ditelaah terdapat bahwa ketua majelis tinggi partai dijabat ketua Umum Partai Demokrat.

Kemudian, didominasi majelis tinggi partai. Bahwa Pasal 17 AD/ART-nya kita juga melihat, jika dicermati, substasi ketua majlis tinggi partai memiliki kewenangan yang terlalu dominan, bahkan sejajar dengan lembaga tinggi dan kongres Partai Demokrat, sehinga mengisyaratkan adanya atmosfer yang kurang demokratis.

Menurunya, ini tidak demokratis karena menghilangkan kesempatan kader untuk menjabat petinggi partai, terdapat dominasi kekuasaan majelis tinggi yang melampaui ketua umum dan suara anggota, serta rigid dan tidak logis nampak dalam penempatan jabatan ketua dan wakil ketua majelis tinggi.

Selain itu, rangkap jabatan dari wakil ketua majelis tinggi partai, sekaligus Ketum sangat tidak logis dan mencederai demokrasi. Ini sungguh tidak logis karena ketua umum dan pelaksana keputusan majelis tinggi partai.

"Nah, ini berarti wakil ketua majelis tinggi juga berpotensi dapat memerintahkan dirinya sendiri dalam kedudukan sebagai ketua umum Partai Demokrat," katanya.

Sedangkan untuk Kongres Luar Biasa (KLB) di Sibolangit, Deli Serdang, Sumatera Utara (Sumut), Laksanto menilai bahwa itu terjadi karena dinamika di Partai Demokrat sebagai reaksi atas adanya aksi dari beberapa pengurus atau kelompok pengurus yang mengubah AD/ART Partai Demokrat tahun 2005 menjadi AD/ART tahun 2020.

"Kongres Luar Biasa berdasarkan Pasal 81 AD/ART partai versi 2020, pada pokoknya KLB tersebut kewenangan dan kekuasaan yang sama dengan kongres ayat 2, berwenang untuk meminta dan menilai dan pertanggungan jawab," katanya.

Pemilihan dan penetapan Moeldoko sebagai Ketum Partai Demokrat adalah berdasarkan KLB Sibolangit dan berpedoman pada AD/ART Partai Demokrat 2005. "Oleh sebab itu, secara normatif kedudukan Moeldoko sebagai Ketum Demokrat berlandaskan pada AD/ART 2005 itu adalah sah dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum," ujarnya.

Ketua Program Doktoral (S3) Unbor, Prof. Dr. Faisal Santiago, S.H., M.M. (GATRA/Iwan Sutiawan)Senada dengan Laksanto, Ketua Program Doktoral Universitas Borobudur Jakarta, Prof. Faisal Santiago, mengatakan, sesuai Undang-Undang Partai Politik, pengadilan merupakan jalan terakhir jika partai tidak bisa lagi menyelesaikan konflik internal.

"Makanya dalam UU Politik itu dibuat mahkamah partai. Artinya, apabila ada konflik maka diselesaikan oleh mahkamah partai setelah musyawarah mufakat yang ada di partai tersebut tidak bisa menyelesaikan," katanya.

Jika kemudian mahkamah partai juga tidak bisa menyelesaikan, maka diselesaikan melalui ranah hukum. "Ranah hukumlah yang akan melihat bagaimana mengenai penyelesaian hukum," ujarnya.

Menurut Faisal, jalur hukum ini sangat penting dan terbaik untuk mengakhiri permasalahan. Bagaimana hukum menyelesaikannya, serahkan kepada pengadilan yang independen dan mandiri untuk memutusnya.

Sedangkan soal masalah pencatatan dan pengakuan oleh Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkum HAM), kata Faisal, Kemenkum HAM hanya melihat sebatas mana data-data yang ada.

"Kalau memang data-datanya sesuai dengan norma hukum yang berlaku dalam ketentuan partai, saya pikir tidak ada salahnya Kemenkum HAM untuk mengesahkan atau mengakomodir pengurus partai tersebut, tapi AD/ART yang mengalami perubahan tanpa Munas dapat menjadi poin penting penilaian Menkumham agar diputuskan di Pengadilan hingga MA apabila digugat pihak yang kalah," katanya.

Konflik internal partai politik di Indonesia bukan barang baru. Hampir semua parpol mengalaminya. "Artinya, pada ending-nya adalah bahwa penyelesaian melalui jalur pengadilan, melalui jalur hukum," tutupnya.

https://www.gatra.com/detail/news/50...cacat-prosedur
Diubah oleh KS06 01-04-2021 03:23
nomorelies
muhamad.hanif.2
muhamad.hanif.2 dan nomorelies memberi reputasi
2
2.1K
27
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.