perojolan13Avatar border
TS
perojolan13
Mengecek Ancaman Ekonomi Versi Sri Mulyani: Benar Semua!


Jakarta, CNBC Indonesia - Pemulihan ekonomi setelah pandemi Covid-19 harus menempuh jalan yang terjal. Belum juga pulih seperti sedia kala, ancaman besar bagi perekonomian global sudah ada di depan mata.

Selama ini berita positif terkait pengembangan vaksin Covid-19 menciptakan euforia bagi pelaku ekonomi baik pemerintah, pelaku usaha, investor hingga konsumen.

Kecepatan pengembangan vaksin yang tidak pernah terjadi sebelumnya membuat pelaku pasar bullish terhadap prospek pemulihan ekonomi dan harga aset-aset berisiko seperti saham dan komoditas melesat signifikan.

Namun di saat yang sama, banyak pihak mulai mengkhawatirkan berbagai risiko besar yang mulai tampak. Salah satunya adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.

Bendahara Negara mengutip sebuah laporan yang diterbitkan oleh World Economic Forum (WEF). Ani, begitu sapaan akrabnya, menyebut setidaknya ada lima risiko yang dihadapi perekonomian dunia.

"Ke depan kita melihat berbagai risiko asset bubbles, price instability, commodity shocks and debt crises dan risiko geopolitik," ungkap Sri Mulyani, seperti dikutip Senin (14/3/2021).

Apa yang disebutkan oleh Ani sebenarnya bukan hal yang asing lagi karena hal tersebut sudah pernah terjadi sepanjang sejarah peradaban umat manusia. Bisa dibilang sejarah akan berulang. Meskipun terulang sejarah dari satu waktu ke waktu yang lain tidak pernah terulang sama persis.

Mari ulas satu per satu! Untuk lebih paham mari flashback ke satu tahun belakang. Tepat sekali! Kala itu WHO baru saja mendeklarasikan bahwa wabah Covid-19 adalah sebuah pandemi.

Pasar keuangan global terguncang. Harga seluruh aset keuangan rontok, bahkan emas sebagai aset safe haven juga longsor. Semua beralih ke uang tunai. Namun bukan sembarang uang tunai melainkan dolar AS.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS sempat melonjak signifikan. Pasar tidak berfungsi secara normal. Likuiditas di sistem keuangan seolah kering kerontang karena semua orang memilih menimbun uang tunai dan tak mau membelanjakan uangnya.

Di sinilah peran bank sentral tampak. The Fed selaku otoritas moneter AS mengeluarkan amunisinya. Suku bunga acuan dibabat habis mendekati nol persen (zero lower bound). Amunisinya tidak hanya satu, tetapi banyak.

The Fed kembali menggunakan kebijakan cetak uang (quantitative easing/QE) untuk menginjeksi likuiditas ke sistem keuangan agar kepercayaan pelaku ekonomi bangkit dan menurunkan suku bunga jangka panjang AS yang sempat melejit guna menurunkan borrowing cost sehingga kredit bisa tersalurkan dan ekonomi berputar lagi.

Bahkan The Fed sampai turun tangan memberikan pinjaman langsung ke sektor riil. Dari sisi fiskal pemerintah AS kala itu masih di bawah Donald Trump juga menggelontorkan stimulus perekonomian ekstra jumbo bernilai triliunan dolar AS.

Langkah serupa juga dilakukan oleh mayoritas negara di dunia. Tak kenal negara maju maupun berkembang. Tak peduli barat maupun timur semua sepakat ekonomi harus diselamatkan. Inilah yang disebut sebagai kebijakan countercyclical.

Setelah itu pasar keuangan mulai kalem. Perlahan tapi pasti harga saham mulai rebound. Begitu juga dengan aset lain seperti obligasi, emas bahkan hingga Bitcoin. Pasar semakin sumringah ketika banyak negara mulai melonggarkan karantina wilayah dan berita positif vaksin menjadi headline news di berbagai media global.

Harga saham semakin naik gila-gilaan, terutama saham-saham teknologi di AS. Saat ekonomi belum benar-benar pulih indeks S&P 500 justru mencetak rekor tertingginya (all time high).

Valuasi saham menjadi sangat premium. Mengacu pada indikator yang dicetuskan oleh investor kawakan Warren Buffett, ketika rasio kapitalisasi pasar terhadap PDB suatu negara berada di atas rata-ratanya secara tren historikal maka bisa dikatakan bahwa nilainya sudah kemahalan alias overvalued.

Sejak 1970-2020, secara rata-rata rasio kapitalisasi pasar saham terhadap PDB AS berada di angka 80%. Saat ini rasionya sudah di atas 100%. Bahkan hampir dua kali lipat dari rata-rata.

Melihat indikator valuasi lain yaitu menggunakan rasio harga terhadap laba (price to earnings/PE), secara rata-rata jangka panjang 10 tahun nilai PE S&P 500 adalah 14-15x. Namun PE S&P 500 sempat menyentuh angka 29,1x.

Valuasi yang sudah kemahalan membuat banyak pihak khawatir bahwa asset price bubble akan terjadi. Seperti biasa pandangan ini menuai pro-kontra. Namun jika dilihat lebih jernih bahwa tidak seluruh saham yang harganya naik gila-gilaan.

Saham-saham teknologi lah yang menjadi bahan bakar utama meroketnya indeks saham AS. Sebagian orang melihat hal tersebut wajar karena sektor ini diuntungkan dengan kebijakan work from home (wfh).

Lagipula bank sentral yang masih jaga gawang juga membuat berinvestasi ke obligasi jadi kurang menarik. Bayangkan saja nilai pasar obligasi dengan imbal hasil di bawah nol persen sempat menyentuh angka US$ 18 triliun. Ini adalah dalih dan argumen alternatif dibalik lonjakan harga saham yang fantastis.

Namun tetap, risiko bubble itu memang terlihat terutama di saham-saham teknologi. Lantas apakah kejadian seperti dot.com crash 20 tahun silam akan terulang lagi? Who knows? Yang jelas jika harga saham-saham teknologi terus naik risiko bubble menjadi semakin nyata.

Hanya saja ketika perekonomian mulai berangsur normal ada kemungkinan terjadi rebalancing ke sektor-sektor konvensional yang selama ini tertekan. Jadi ada potensi shifting yang membuat saham-saham teknologi anjlok dan saham non-teknologi berganti terangkat naik.

Hal itu bisa terjadi dengan catatan jika risk appetite investor masih terjaga. Namun jika selera risiko kembali drop, jangan tanya deh. Semua aset bakal jadi korban lagi seperti Maret tahun lalu.

Price Instability, Commodity Shocks & Inflasi





Selain saham, aset-aset berupa komoditas juga naik harganya. Hampir semua komoditas baik migas, pertambangan hingga agrikultur ikut beterbangan. Kenapa bisa? Alasannya sederhana!

Sebelum pandemi terjadi, harga komoditas cenderung melorot. Ketika pandemi permintaan yang drop membuat harga semakin jatuh. Namun setelah pemerintah dan bank sentral turun tangan mengguyur uang lewat stimulus ke perekonomian.

Banyak pihak yang berspekulasi bahwa ekonomi bakal bersemi lagi dan permintaan terhadap komoditas ikut naik. Harga batu bara terbang. Harga minyak bahkan sudah pulih dari krisis padahal dalam kondisi riil permintaan minyak masih di bawah kondisi normal karena mobilitas masih terbatas.

Harga pangan seperti harga CPO, gula dan lainnya juga ikut melonjak. Saat harga jatuh produsen baik petani maupun penambang cenderung mengurangi produksi. Namun saat permintaan berangsur membaik harga pun ikut naik.

Kenaikan harga komoditas semakin tinggi seiring dengan masuknya para spekulan yang memasang posisi beli (long) pada kontrak yang diperjualbelikan di bursa berjangka.

Kenaikan harga minyak dan komoditas lain dalam jangka yang pendek ini bisa dibilang termasuk fenomena commodity shocks. Apresiasi harga komoditas juga menimbulkan ekspektasi kenaikan inflasi. Neraca bank sentral terutama The Fed yang menggembung lebih dari US$ 3,4 triliun dianggap menjadi sinyal kuat inflasi.

Apa yang membuat neraca bank sentral mengembang adalah uang yang mereka cetak dibelikan aset berupa obligasi. Likuiditas yang ada sistem keuangan berlimpah. Pasokan uang pun ikut meningkat.

Ketika pasokan uang beredar banyak maka secara teoritis inflasi adalah konsekuensinya. Namun dengan catatan ya kalau uang tersebut cepat berpindah tangan.

Walaupun pendapat ini juga sering menjadi perdebatan karena besarnya neraca bank sentral tidak selaku sebanding dengan inflasi, tetapi ketika banyak pihak yang berpikir inflasi yang tinggi bakal terjadi maka inflasi yang tinggi bisa saja terjadi.

Itu uniknya karena inflasi tidak hanya dipengaruhi oleh interaksi supply & demand tetapi juga pada persepsi pelaku ekonominya.

Survei yang dilakukan oleh lembaga keuangan asal Wall Street yaitu Bank of America menunjukkan bahwa dari 220 fund manager yang mengelola aset lebih dari US$ 600 miliar mengatakan inflasi menjadi salah satu risiko utama.

Sebanyak 37% dari responden mengatakan bahwa inflasi menjadi risiko yang paling utama. Risiko lain datang ketika terjadi taper tantrum. Sebanyak 36% fund manager menyebut tapering menjadi risiko utama lain.

Tapering terjadi ketika bank sentral kembali menyerap likuiditas yang berlimpah di sistem keuangan dengan mengeluarkan obligasi yang sudah dibeli dari balance sheetnya.

Namun tapering akan membuat pasar menjadi bergejolak. Pengaruhnya akan meluas. Mulai dari jatuhnya harga saham hingga sektor riil karena mata uang terutama mata uang negara berkembang seperti rupiah akan menjadi tumbal. Pergerakan liar harga menunjukkan adanya instabilitas.

Instabilitas harga adalah risiko besar bagi pelaku ekonomi karena dengan harga yang cenderung berfluktuasi tajam dalam waktu singkat tentu akan mempengaruhi keputusan untuk konsumsi maupun investasi.

Jangan Lupa Utang yang Menggunung!

Bentuk pengetatan moneter apapun akan membuat pasar tetap bergejolak. Apalagi jika dilakukan secara gegabah dan prematur. Untuk saat apa yang dikhawatirkan dari pengetatan moneter adalah utang yang sangat tinggi.

Uang yang digunakan untuk menstimulasi ekonomi selama pandemi adalah berasal dari utang. Kenaikan suku bunga tentu saja akan membuat utang yang menggunung semakin sulit untuk dilunasi. Terutama bagi mereka yang berisiko sehingga menanggung beban bunga yang besar.

Pada 2016, IMF menghitung total utang perusahaan nonfinansial sebesar US$152 triliun atau 225 persen dari PDB dunia. Sedangkan utang pemerintah telah meningkat hingga 15 poin persentase terhadap PDB antara 2000 hingga 2015.

Dibandingkan dengan proyeksi sebelum pandemi, rata-rata utang pada 2021 diprediksi akan meningkat sekitar 17% dari PDB di negara maju. Kemudian di negara-negara berkembang kenaikannya mencapai 12%, dan 8% di negara berpenghasilan rendah.

Pandemi Covid-19 membuat utang global naik US$ 24 triliun dalam setahun terakhir. Studi yang dilakukan oleh lembaga keuangan global Institute of International Finance (IIF) mencatat utang global tembus rekor US$ 281 triliun dan rasio utang terhadap PDB di seluruh dunia di lebih dari 355%.

Lebih lanjut IIF memperkirakan program dukungan pemerintah untuk pandemi Covid-19 telah menyumbang setengah dari kenaikan tersebut, sementara perusahaan global, bank, dan rumah tangga menambahkan masing-masing US$ 5,4 triliun, US3,9 triliun, dan US$ 2,6 triliun.

Artinya rasio utang terhadap output ekonomi dunia yang dikenal sebagai produk domestik bruto telah melonjak sebesar 35 poin persentase menjadi lebih dari 355% PDB. Kenaikan tersebut jauh melampaui kenaikan yang terlihat selama krisis keuangan global, ketika 2008 dan 2009. Kala itu lonjakan utang yang terjadi masing-masing hanya 10 poin persentase dan 15 poin persentase.

Itulah tadi sederet risiko besar yang menghantui perekonomian global saat ini. Sudah sepatutnya memang para pemangku kebijakan ketar-ketir dan berpikir jauh ke depan tentang langkah-langkah yang efektif untuk keluar dari krisis saat ini dan bersiap siaga jika krisis baru akan datang dalam waktu yang mungkin dekat.

link


"Ke depan kita melihat berbagai risiko asset bubbles, price instability, commodity shocks and debt crises dan risiko geopolitik," ungkap Sri Mulyani, seperti dikutip Senin (14/3/2021).
meooong
tien212700
tien212700 dan meooong memberi reputasi
2
1.2K
12
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.