Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Moeldoko Melawan Dinasti Politik SBY – Mega – Jokowi
Spoiler for SBY, Mega, Jokowi kolase:


Spoiler for Video:


Jenderal TNI (Purn) Moeldoko termasuk tokoh politik yang memiliki karir cemerlang. Pengaruhnya bahkan melintasi dua era kepresidenan. Yakni di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, di mana ia diangkat menjadi Panglima TNI pada tahun 2013 hingga purna tugas pada 2015 di era Presiden Joko Widodo. Moeldoko juga dipercayai Jokowi menjabat Kepala Staf Kepresidenan (KSP) pada 2018 hingga saat ini. Dengan kata lain, Moeldoko merupakan tokoh kunci dalam transisi kekuasaan dua dinasti politik, antara SBY dan Jokowi-Megawati, Demokrat dan PDIP.

Mengapa disebut-sebut sebagai dinasti?

Akhir-akhir ini terjadi kisruh di dalam tubuh Partai Demokrat (PD). Salah satu persoalan yang membuat meledaknya kisruh adalah tudingan terhadap PD yang disebut-sebut telah menjadi partai keluarga atau partai dinasti. Terlebih setelah hasil Kongres 2020 yang secara aklamasi mengangkat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), putra dari SBY, sebagai ketua umum untuk hingga lima tahun ke depan.

Kepengurusan Partai Demokrat yang diisi oleh nama keluarga tak hanya baru-baru ini saja. Pada awal mula pembentukannya yakni kala Subur Budi Santoso menjadi Ketua Umum Demokrat (2001 – 2004), ada nama Ani Yudhoyono sebagai wakil ketua umum.

Putra bungsu SBY, yakni Edhie Baskoro Yudhoyono atau Ibas, pernah pula menjadi Sekretaris Jenderal era DPP Demokrat Anas Urbaningrum (2010 – 2015). Pada periode tersebut, sederet nama lainnya yakni Sartono Utomo (sepupu SBY) menjadi Wakil Bendahara Umum, Agus Hermanto (adik ipar SBY) sebagai Komisi Pemenangan Pemilu. Agung Budi Santoso (keluarga Hadi Utomo, ipar SBY) menjabat Sekretaris Departemen Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Serta, Hartanto Edhy Wibowo (sepupu SBY) menjadi Ketua Departemen BUMN.

Kepengurusan DPP Demokrat 2015 – 2020, menempatkan SBY sebagai Ketua Umum serta beberapa nama keluarga lain di posisi penting seperti Hadi Utomo, Agus Hermanto, Agung Budi Santoso, Edhie Baskoro, dan Pramono Edhy Wibowo.

Akibat jabatan partai yang banyak diisikan keluarga SBY, serta ditunjuknya AHY yang baru bergabung dengan Demokrat pada 2016 menjadi Ketua Umum, menyebabkan sebagian tokoh Demokrat lainnya yang berada di luar trah SBY jengah.

Itulah mengapa pada 5 Maret 2021, terjadilah Kongres Luar Biasa (KLB) Partai Demokrat di Deli Serdang, Sumatera Utara.

Kader senior Partai Demokrat, Max Sopacua membeberkan alasan dia dan sejumlah kader serta pendiri lainnya melaksanakan KLB. Max menjelaskan, KLB bukan suatu yang tidak boleh karena ada dalam AD/ART. Desakan KLB, juga terjadi karena Partai Demokrat saat ini sudah tidak lagi menjadi partai terbuka. Partai Demokrat seharusnya bisa merangkul semua orang dari berbagai unsur.

"Kebetulan partai ini kan berubah arah, tidak lagi seperti yang dulu kita perjuangkan. Partai modern, partai untuk semua. Ini kan sudah berpihak kekuasaan kepada satu keluarga saja. Sepihak saja begitu," kata Max pada 22 Februari 2021 lalu.

Hal serupa juga diutarakan mantan kader Partai Demokrat, Tri Dianto. Dia menilai, kekisruhan di tubuh Partai Demokrat memang lantaran partai sudah menjadi partai keluarga SBY.

Sumber : Viva[Jejak Dinasti SBY dengan Jabatan 'Dewa' di Partai Demokrat]

Namun yang tentu jadi pertanyaan banyak pihak adalah, mengapa mantan Panglima TNI Moeldoko yang ditunjuk menjadi Ketua Umum Partai Demokrat hasil KLB?

Pendiri Partai Demokrat, Darmizal menyebut bahwa ketidakpuasan sejumlah kader atau faksi di internal partai dengan kepemimpinan AHY, menyebabkan mereka memilih untuk menghadirkan Moeldoko sebagai pengganti.

Mantan Wakil Ketua Komisi Pengawas Partai Demokrat ini mengatakan bahwa Moeldoko adalah seorang jenderal yang tidak memberikan hambatan-hambatan seseorang atau kelompok orang untuk bertemu dengan beliau, Menurutnya, tokoh berperilaku seperti ini sangat baik untuk menjadi pemimpin Partai Demokrat saat ini dan ke depan.

Eks Ketua SDM, Indag, dan Perhubungaan Partai Demokrat, Yus Sudarso menyebut tidak masalah ketika Moeldoko yang bukan berasal dari internal partai diangkat menjadi Ketua Umum. Hal tersebut tak ada bedanya dengan cara pendiri awal yang menjemput SBY dan mengantarkan beliau ke kepemimpinan RI 2004.

Yus menjelaskan, ada empat faksi di Demokrat yang mendukung Moeldoko. Pertama, faksi pendiri (faksi ketua umum pertama Subur Budi Santoso). Kedua, faksi ketua umum PD hasil kongres 2005, Hadi Utomo. Ketiga, faksi Anas Urbaningrum hasil Kongres 2010. Keempat, faksi Marzuki Ali.

Sumber : Tempo [Ini Alasan Kelompok yang Ingin KLB Partai Demokrat Memilih Moeldoko]

Berdasarkan pernyataan para senior PD tersebut, maka kita dapat simpulkan, KLB Demokrat terjadi karena ketidakpuasan sebagian internal PD terhadap dominasi trah SBY di Partai berlambang Mercy itu.

Alasan mereka memilih Moeldoko yang dianggap sebagai sosok yang tidak memberikan hambatan kelompok tertentu untuk bertemu, menandakan ada kedekatan yang erat di internal PD terhadap mantan Panglima TNI itu. Kemungkinan ada kaitannya dengan hubungan baik yang terjadi antara PD dengan Moeldoko saat menjadi Panglima TNI era SBY.

Hal ini tentu tak akan jadi masalah seandainya Moeldoko tidak menjabat sebagai KSP. Sebab, dunia politik akan menuding Presiden Jokowi menyetujui perpecahan yang terjadi di PD. Dunia politik bisa menuding Presiden Jokowi ingin melemahkan lawan politik bukan?

Berbagai argumen pun berseliweran dan semakin liar dilancarkan dari berbagai kubu, baik PD, PDIP, maupun partai-partai lain tentang mengapa Moeldoko mau ‘mengkudeta’ Partai Demokrat.

Bahkan Relawan Jokowi Mania (JoMan) menilai Moeldoko seharusnya dicopot atau segera mundur untuk menjaga nama baik Presiden Jokowi.

"Narasi tuduhan bahwa Jokowi terlibat di KLB Demokrat akan semakin liar jika Moeldoko tetap di Istana. Sementara Presiden Jokowi sendiri tentunya akan penuh pertimbangan untuk memberhentikan," kata Ketum JoMan Immanuel Ebenezer alias Noel pada 8 Maret 2021 lalu.

Menurut Noel, posisi Jokowi saat ini dilematis. Presiden tidak ingin memihak salah satu kelompok yang bertikai, baik kubu SBY maupun Moeldoko.

Sumber : Detik [Demi Jokowi, Relawan JoMan Sarankan Moeldoko Mundur dari KSP]

Permintaan Noel agar Moeldoko mengundurkan diri sebagai KSP menunjukkan kekhawatirannya bahwa Pemerintahan Jokowi akan terganggu dalam menjalankan pemerintahan dengan adanya kisruh PD. Apalagi Moeldoko menyetujui posisi Ketua Umum Demokrat hasil KLB yang disebabkan ketidakpuasan internal Demokrat dengan dinasti politik SBY.

Mungkinkah Noel menilai bahwa setujunya Moeldoko diangkat menjadi Ketua Umum PD yang diiringi semangat menghancurkan dinasti politik SBY dapat membahayakan dinasti politik Jokowi?

Dinasti politik Jokowi adalah sebuah dinasti politik yang menciptakan rekor : ayah, anak, dan menantu dalam satu pemerintahan. Di mana Jokowi menjabat Kepala Negara, sedangkan anak dan menantunya menjabat sebagai Kepala Daerah. Bahkan pencalonan anak dan menantu Jokowi tersebut didukung oleh Megawati Soekarnoputri lewat Partai PDIP-nya dengan mengesampingkan kader senior partai.

Sumber : Fajar [Dulu, Megawati Kritik Keras Dinasti Politik, Kini PDIP Abaikan Kader Senior Demi Dukung Putra Jokowi]

Megawati sendiri pun terlihat tengah membangun dinasti politik. Partai berlambangakan banteng ini kerap kali dicap sebagai partai keluarga. Apalagi semenjak anaknya Puan Maharani terpilih sebagai ketua DPR RI.

Maka, tak salah kiranya jika ada skenario yang mengatakan bahwa manuver kudeta Moeldoko terhadap Partai Demokrat merupakan bentuk perlawanan Moeldoko terhadap fenomena dinasti politik Indonesia. Melawan tiga dinasti politik : Cikeas (SBY – AHY), Teuku Umar (Megawati – Puan) dan Medan Merdeka (Jokowi – Gibran).

Mungkin saja ada yang menilai analisis seperti ini terlalu jauh dan mengada-ada. Tapi harus diingat, manuver Moeldoko ini terjadi setelah anak dan menantu Jokowi menjabat Wali Kota Solo dan Medan. Seandainya KLB mengkudeta Partai Demokrat terjadi sebelum Pilkada, akan beda lagi ceritanya.

Bukankah ini menandakan jika Moeldoko tidak menyukai sistem dinasti politik yang dilancarkan SBY-Mega-Jokowi?

Kini KLB Demokrat di Deli Serdang telah usai. Kubu Partai Demokrat KLB mengklaim telah menyerahkan hasil kongres tersebut ke Kementerian Hukum dan HAM pada 6 Maret 2021. Salah satu anggota tim hukum KLB, Ilal Ferhard mengatakan berkas diserahkan sekitar pukul 14.00 WIB.

Uniknya, pada 10 Maret 2021, pihak Kemenkumham mengatakan belum menerima susunan kepengurusan Partai Demokrat kubu Moeldoko.

Sumber : CNN Indonesia [Kemenkumham Belum Terima Hasil KLB Demokrat Kubu Moeldoko]

Sepertinya upaya Moeldoko untuk melawan dinasti politik akan berat. Ditambah pula dengan KLB yang dikatakan telah melanggar protokol kesehatan. Artinya Polri pun akan jadi salah satu penentu nasib KLB Demokrat, selain Menkumham dan Peradilan.

Nasib KLB kubu Moeldoko kini ditentukan oleh Menkumham PDIP, jaringan Makassar di Peradilan RI, dan penegakan hukum kerumuman massa oleh Polri.

Sumber : Kompas [Kerumunan dalam KLB Demokrat di Deli Serdang Dilaporkan ke Polisi]
Diubah oleh NegaraTerbaru 12-03-2021 15:44
0
893
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.4KThread84.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.