Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

anus.bau.edanAvatar border
TS
anus.bau.edan
AD/ART 2020 Demokrat Dinilai Pertanda Minimnya Demokrasi di Internal Partai
Pakar Politik menilai ada beberapa hal yang menarik dari AD/ART 2020 milik Partai Demokrat yang sempat dipersoalkan oleh kubu acara yang diklaim Kongres Luar Biasa (KLB) Demokrat. AD/ART 2020 itu dinilai pertanda minimnya demokrasi di internal Partai Demokrat.

Awalnya Direktur Eksekutif Indo Barometer, M Qodari berpandangan AD/ART 2020 Partai Demokrat sebagai hal yang menarik. Dia menilai ada tanda-tanda brutalitas politik dalam AD/ART Partai Demokrat 2020.

"Saya kira memang menarik AD/ART 2020 ini karena KLB misalnya itu bisa dilaksanakan atau setidaknya didukung 2/3 DPD, separuh DPC tapi harus disetujui ketua majelis tinggi, padahal dalam kongres majelis tinggi suaranya hanya 9, DPD 68, lalu DPC 514 kabupaten kota. Jadi yang berkuasa itu sesungguhnya siapa? Apa pemilik suara atau mayoritas suara atau ketua majelis tinggi? Kalau pak Bambang Widjojanto melihat ada brutalitas demokrasi atau fenomena yang namanya brutalitas demokrasi, jangan-jangan brutalitas demokrasi terjadi di dalam AD/ART Partai Demokrat tahun 2020," ujar Qodari saat dihubungi, Sabtu (13/3/2021).

Tak hanya itu, Qodari juga menilai ada perbedaan kekuasaan antara ketua umum di Partai Demokrat dengan ketua majelis tinggi di Partai Demokrat dalam AD/ART 2020 tersebut. Dia beranggapan ketua majelis tinggi memiliki kewenangan yang lebih tinggi.

"Lalu yang menariknya kongres memilih ketum seharusnya yang memiliki kekuasaan terbesar adalah ketum karena katakanlah dia yang mendapat mandat dari peserta kongres, tapi kalau kita lihat penjabarannya saya merasa wewenang majelis tinggi lebih banyak, lebih besar dan lebih strategis dari ketua umum, menariknya ketua majelis tinggi tidak dipilih oleh kongres 2020 karena di AD/ART itu ditulis bahwa ketua majelis tinggi merupakan ketua umum periode 2015 dan 2020 yang kita ketaui adalah Pak SBY," ucapnya.

Atas dasar itulah, Qodari menyimpulkan AD/ART 2020 Partai Demokrat menunjukan minimnya demokrasi di dalam internal Partai Demokrat.

"Jadi sebetulnya kalau bicara mengenai demokrasi ya, dan di dalam partai, maka saya melihat demokrasi di dalam partai Demokrat sebagaimana tercermain AD/ART 2020 ini sangat minimal," sebutnya.

Hendri melihat kondisi gonjang-ganjing di Partai Demokrat sudah tergambar oleh SBY semenjak masih menjabat sebagai Presiden RI. Dia menyebut AD/ART 2020 itu lah yang kemudian dibuat sedemikian rupa untuk membentengi Partai Demokrat.

"Kalau kita lihat sejarah Demokrat kan memang penuh gonjang-ganjing juga sebetulnya pada masanya SBY berkuasa, jadi arah-arah seperti sekarang ini saya melihatnya SBY sudah membaca itu karena itu makanya pada saat 2020 AD/ART dibuat membentengi supaya Demokrat agak sulit dipecah," ucapnya.

Hendri menilai upaya AD/ART 2020 ini akhirnya menjadi resiko yang harus dihadapi yakni sulitnya memecah belah Partai Demokrat lantaran semua persetujuan ada pada dewan pembina partai. Selain itu, dia juga menggarisbawahi langkah ini sebetulnya menjadi poin penting bagi partai politik yang sangat bergantung pada tokoh sentral partai.

"Ya memang makanya ini resiko yang harus ditempuh makanya akan jadi sulit dipecah-belah karena ada pasal bahwa semuanya persetujuan dari dewan pembina, tapi yang mau saya garis bawahi di sini adalah adanya majelis tinggi atau tidak adanya majelis tinggi ini akan menjadi poin penting pada sebuah parpol yang sangat tergantung pada tokoh sentralnya," ujarnya.

Hendri pun memperingatkan apa yang terjadi pada Partai Demokrat, mungkin juga terjadi cepat atau lambat pada PDIP dan Gerindra yang masing-masing dipimpin oleh tokoh sentral. Menurutnya upaya melanjutkan kepemimpinan kepada keturunan tokoh sentral di partai itu akan dihadapkan pada polemik yang serupa.

"Seperti Demokrat, PDIP, Gerindra yang masih punya tokoh sentral, cepat atau lambat PDIP atau Gerindra akan mendapatkan tantangan yang mirip-mirip seperti Demokrat saat ini gitu, hanya saja apakah kemudian nanti polemik pengambilan kekuasaan datangnya dari dalam partai atau dari aparat pemerintah seperti yang sekarang terjadi di Demokrat kan itu pertanyaannya," sebutnya.

"Tapi risikonya parpol yang punya tokoh sentral dan tokoh sentralnya berusaha untuk melanjutkan kepemimpinan atau menurunkan kepemimpinan ke anaknya maka akan tetap begini karena si anaknya kan bukan tokoh sentral, gitu," lanjutnya.

demokrasi rasa monarki


Karena kesalip trending panlok singa korban pakboi, mewekan nggak kesentuh permukaan

Kelelep ga jadi trending, karena itu ane kasian mau ga mau ngebantu shout out biar naikan dikit isunya


Saya prihatin

emoticon-Mewek
nomorelies
sacrifice1969
NoTaRiuZ
NoTaRiuZ dan 10 lainnya memberi reputasi
9
1.5K
26
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.2KThread41KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.