koruptor.1Avatar border
TS
koruptor.1
Negara Lain Sudah Mulai Inflasi, RI Malah Terancam Deflasi!


Jakarta, CNBC Indonesia - Ketika pandemi Covid-19 merebak, perekonomian dunia sekarat. Inflasi pun rendah dan bahkan tak jarang terjadi deflasi. Seiring dengan respons kebijakan dari pemerintah dan bank sentral yang cenderung akomodatif sehingga menaikkan optimisme pelaku ekonomi, inflasi pun berangsur naik. 
Tingkat inflasi di negara-negara anggota G20 terpantau mulai mengalami kenaikan. Setidaknya sejak Desember hingga bulan lalu, inflasi tercatat naik 0,2 poin persentase untuk kasus G20. 
Argentina dan Turki masih menjadi dua negara dengan tingkat inflasi tertinggi. Mirisnya kedua negara tersebut bahkan sudah mengalami instabilitas ekonomi sejak sebelum pandemi terjadi. 

Di Negeri Maradona, tingkat inflasi tinggi, depresiasi nilai tukar terhadap dolar AS hingga defisit anggaran serta transaksi berjalan terjadi karena kebijakan yang ugal-ugalan. Subsidi berlebihan dan kebijakan cetak uang secara masif telah mendevaluasi mata uangnya dan membuat kepercayaan investor turun. 
Di negara-negara berkembang yang masuk ke dalam kelompok G20, tingkat inflasi masih di atas 3,5% (yoy). Sementara di negara-negara maju inflasi cenderung di bawah sasaran target bank sentral sebesar 2%. 
Mayoritas negara anggota G20 mengalami kenaikan inflasi, kecuali India, Indonesia, Prancis, Spanyol, China dan Swiss yang justru mengalami perlambatan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulan Januari sebesar 1,55% (yoy). 
Inflasi turun menjadi 1,38% (yoy) di bulan Februari. Di sepanjang tahun 2020 inflasi Indonesia berada di angka 1,68% (yoy). Tingkat inflasi di Indonesia berada di bawah sasaran target Bank Indonesia (BI) sebesar 3% plus minus 1 poin persentase. 
Memang inflasi punya tren siklikal. Namun apabila inflasi terus melambat, ini menjadi bahaya. Indonesia bisa kembali terjerat dalam jebakan deflasi seperti pada kuartal ketiga tahun lalu.

Memasuki bulan ketiga tahun ini, BI memperkirakan inflasi di bulan Maret hanya 1,37% (yoy). Melambat dibanding bulan Februari. Pemicu terjadinya inflasi masih disumbang oleh harga-harga pangan yang meroket terutama cabai akibat cuaca yang tidak mendukung sehingga menghambat rantai pasok. 
Sementara itu dari sisi permintaan masih terbilang lemah. Hal ini tercermin dari inflasi inti yang menunjukkan kenaikan harga barang-barang yang cenderung persisten. Tingkat inflasi inti Indonesia berada di level terendah sejak 10 tahun terakhir. Pada akhir Februari lalu inflasi inti tercatat mencapai 1,53%. 
Artinya ada masalah dengan daya beli masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan masalahnya pun bisa dibilang kronis karena perlambatan inflasi inti terus terjadi sejak tahun 2015.
Apabila tahun lalu pemerintah sudah menggelontorkan hampir Rp 700 triliun untuk stimulus dan BI juga turut menginjeksi likuiditas lewat penurunan GWM serta ekspansi moneter sebesar hampir Rp 727 triliun. Kebijakan yang akomodatif tersebut juga akan dilanjutkan tahun ini. 
Bank Indonesia melanjutkan penambahan likuiditas pada tahun 2021 dengan melakukan ekspansi operasi moneter sekitar Rp 7,44 triliun (per 19 Januari 2021). Dari sisi fiskal pemerintah kembali tebar insentif. 
Mulai dari PPnBM yang dibebaskan untuk mobil-mobil tertentu, hingga kerja sama dengan BI dan OJK untuk melonggarkan aturan kredit sehingga DP kendaraan bermotor maupun properti bisa nol persen sehingga permintaan akan terdongkrak. 


Likuiditas Berlimpah Tapi Inflasi Masih Rendah

Sebenarnya jika berbicara soal likuiditas di perekonomian cenderung berlimpah. Dalam laporan Tinjauan Kebijakan Moneter Bank Indonesia, pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Desember 2020 tetap tinggi, yaitu sebesar 18,5% (yoy) dan 12,4% (yoy). 
Pasokan uang beredar dalam arti luas (M2) terhadap output perekonomian akhir tahun lalu mencapai 44,7% PDB, jauh lebih tinggi dibanding tahun sebelumnya yang hanya 38,8% PDB saja. Selain karena adanya kontraksi pada output perekonomian injeksi likuiditas lewat stimulus juga memiliki peranan.
Bahkan rasio tersebut jauh lebih tinggi dibanding proporsi M2 dalam hampir 20 tahun terakhir yang hanya 40% PDB. Namun di saat yang sama kecepatan uang berpindah tangan (money velocity) justru mengalami penurunan. 

Rasio money velocity 2020 hanya sebesar 2,24 kali. Tahun sebelumnya bahkan mencapai 2,58 kali. Sementara rata-ratanya sejak 2002 adalah sebesar 2,47 kali. Artinya roda ekonomi memang belum berputar seperti sebelum pandemi. 
Masyarakat yang memiliki akses terhadap layanan keuangan cenderung menabung dan menahan diri dalam berbelanja. Sementara fungsi intermediasi perbankan juga melambat. Hal ini tercermin dari penyaluran kredit yang ikut melambat. Akhirnya uang tadi mengendap di rekening bank.
Sebenarnya bank juga tidak bisa agresif dalam menyalurkan kredit mengingat permintaannya pun terganggu. Masyarakat maupun pelaku usaha masih menunggu suku bunga untuk terus turun dan berbagai insentif lain serta perbaikan kondisi yang nyata sebelum belanja atau berekspansi.

Melihat angka pengangguran dan kemiskinan yang tinggi dengan mobilitas yang masih terbatas kemungkinan besar inflasi masih akan tetap rendah. Kalaupun berada di sasaran target BI ada di zona bawah yaitu di angka 2%.
Namun ada hal yang perlu diwaspadai. Kenaikan harga minyak mentah berpotensi menyebabkan fenomena imported inflation di Indonesia yang notabene sebagai net oil importer.
Harga minyak sudah melesat lebih dari 30% sepanjang tahun ini. Bahkan harga minyak sudah pulih dari inflasi. Harga minyak mentah Brent kini sudah berada di US$ 70/barel. 

Kenaikan harga minyak akan memicu inflasi di Indonesia jika suatu kondisi terpenuhi. Kondisi yang paling utama adalah membaiknya mobilitas sehingga kebutuhan bahan bakar akan kembali terdongkrak. 
Apabila program vaksinasi mampu meningkatkan optimisme masyarakat sehingga mobilitas terpantau naik, impor minyak dan turunannya akan kembali naik. Kenaikan harga akan membuat biaya impor ikut naik. Neraca dagang bisa tekor, transaksi berjalan kembali bocor dan rupiah pun bisa longsor. 
Mengingat minyak adalah input utama bagi berbagai aktivitas perekonomian, harga barang-barang berpotensi naik. Namun ingat, ini terjadi jika vaksinasi benar-benar bisa membuat mobilitas kembali bangkit. Selama itu belum terjadi, inflasi kemungkinan masih akan rendah. 


https://www.cnbcindonesia.com/news/2...rancam-deflasi 
pejuang17
gabener.edan
gabener.edan dan pejuang17 memberi reputasi
0
1.3K
20
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.