AF31FRAvatar border
TS
AF31FR
SI PEMBERANI YANG DIBUNUH NAZI



Dari masa ke masa selalu ada tim nasional sepakbola yang bersinar dan menjadi tim yang sangat disegani oleh lawannya. Kebanyakan dari tim tersebut rata-rata punya skuat generasi emas yang tampil begitu mengesankan dengan diperkuat para pemain berkualitas dan dilatih oleh juru taktik terbaik. Satu di antara tim nasional sepakbola terhebat yang pernah ada dialah Austria.


Negeri Eropa bagian tengah itu dahulu pernah memiliki tim yang berjaya di era 1930-an dan terkenal dengan julukan Wunderteam yang mendeskripsikan mereka sebagai tim ajaib. Melalui arahan pelatih Hugo Meisl, Austria saat itu menjadi tim yang begitu populer di Eropa lewat gaya sepakbola aktraktif dalam permainan menyerang bertempo cepat yang mereka mainkan. Tercatat dalam sejarah beberapa lawan yang pernah menjadi korban keganasan Wunderteam di antaranya adalah Hungaria (8-2), Italia (4-2), Jerman (5-0 dan 6-0), Prancis (4-0), Swiss (8-1).


Meski tidak ada banyak torehan gelar yang diraih, tetapi Austria mampu mencatatkan beberapa sejarah sukses. Prestasi yang mereka capai di antaranya adalah menjuarai Piala Internasional Eropa Tengah 1931–1932, di mana turnamen tersebut merupakan bentuk awal dari ajang Kejuaraan Sepakbola Eropa UEFA yang kemudian digelar pada 1960.


Selain itu, mereka juga mampu bersaing hingga ke semi-final ketika tampil di Piala Dunia FIFA 1934 yang diselenggarakan di Italia, dan mengakhiri turnamen dengan finish di peringkat keempat. Setelahnya, Austria memperoleh medali perak saat berlaga di Olimpiade 1936 sekaligus menjadi prestasi terakhir yang didapat oleh Wunderteam.


Eksistensi Wunderteam yang fenomenal dan keindahan permainan sepakbolanya yang menawan ini tidak berlangsung pada waktu lebih lama. Penyebabnya adalah kematian sang juru taktik, Hugo Meisl, karena terkena serangan jantung pada 1937. Tanpa Hugo Meisl, walau mereka masih mampu bersaing tetapi sejak itu permainan dan pencapaian mereka meredup dan tenggelam.


Mereka sebenarnya berusaha membangun kekuatan baru. Tetapi, ketika Jerman yang dalam kedigdayaan Nazi pimpinan Adolf Hitler datang untuk menjajah Austria pada 1938, membuat negara kecil itu lantas tidak memiliki ruang bebas yang memaksa sepakbola Austria tidak bisa bermain dalam kompetisi resmi internasional. Bahkan oleh Nazi yang kekuatan politik dan militernya sangat mengerikan, terlebih khusus bagi ras Yahudi, Austria dipaksa batal dan tidak boleh ikut serta di Piala Dunia FIFA 1938 yang saat itu tinggal menghitung bulan.


Dari kisah Wunderteam yang melegenda itu, terdapat seorang pemain bintang bernama Matthias Sindelar yang menjadi kapten dan pemain kunci dalam kiprah ajaib Austria. Di jaman itu, dia sendiri adalah pemain yang dikenal lewat kualitas olah bola dan gaya permainan fantastis yang menjadikannya sebagai monster gol mematikan.


Cerita Matthias Sindelar yang sosoknya abadi sebagai salah satu pesepakbola terbaik abad ke-20, dimulai dari sebuah distrik Favoriten yang terletak di penjuru ibukota Wien, Austria. Di kawasan yang ramai dan padat inilah Matthias Sindelar yang secara alami bertubuh kurus tumbuh dewasa dan mengasah kemampuannya dalam kebahagiaan bermain sepakbola di jalanan.


Untuk seorang pemain yang berposisi sebagai penyerang, bentuk fisik Matthias Sindelar sangat kecil dan tingginya cuma 175 sentimeter. Namun, soal atribut permainan, dia adalah pemain yang dianugerahi visi dan misi cerdas.


Kecepatan pada kemampuan kreativitasnya yang luar biasa adalah kekuatan utamanya. Hal inilah yang menjadikannya sebagai pemain berbakat dan hebat dengan kelebihan pada kontrol bola, insting penempatan dan pergerakan posisi yang tepat, umpan akurat, dan tentu gocekan brilian yang merupakan senjata andalan dalam gaya permainannya.


Karena kualitas individu yang di atas rata-rata itu, gaya permainan Matthias Sindelar banyak dipuja bagai keindahan simfoni musik karya komposer legendaris Austria, Wolfgang Amadeus Mozart, yang membuatnya dijuluki "The Mozart of Football".


Dirinya juga dikenal sebagai "The Paper Man" karena style permainannya kala melakukan akselerasi melewati hadangan lawan. Sebutan itu terinspirasi dari para loper koran yang bekerja di Wien pada masa itu. Saat bermain, pergerakan Matthias Sindelar di lapangan yang sangat luwes dan fleksibel dalam mengolah bola diibaratkan seperti para loper koran di Wien yang begitu lihai melewati segala rintangan dalam mengantarkan surat kabar ke rumah konsumen.


Matthias Sindelar yang menganut kepercayaan Katolik hidup sebagai seorang keturunan bangsa Ceko (dari pasangan Jan Šindelář dan Marie Svengrova). Meski seorang Katolik, hari-hari sepanjang hidupnya lebih banyak berlangsung bersama para komunitas Yahudi. Dia sendiri lahir dengan nama Matěj Šindelář pada 10 Februari 1903 di Kozlov, Moravia, yang kala itu masih jadi bagian Kekaisaran Austria-Hungaria (kini wilayah Olomouc, Republik Ceko).


Dibesarkan di kerasnya lingkungan Wien membuat Matthias Sindelar hidup dalam dunia pekerja buruh kasar. Di usia 11 tahun dirinya ikut bekerja di pabrik besi untuk membantu sang ayah. Walau begitu, dirinya lebih melihat sepakbola sebagai profesi yang menjadi jalan hidupnya.


Tidak lama setelah ayahnya tergabung ke dalam pasukan tempur pada Perang Dunia I, di saat bersamaan dia mulai mengawali karier sepakbolanya pada 1918 di usia 15 tahun saat bergabung dengan klub sepakbola amatir ASV Hertha Wien. Bersama klub itu dia membentuk potensinya di tingkat junior selama waktu enam tahun.


Karena perkembangan permainannya yang mengesankan, salah satu klub besar Austria, FK Austria Wien, kemudian merekrut Matthias Sindelar. Pada 1924, karier profesionalnya pun dimulai dan dengan cepat dia menjadi favorit di antara para penggemar.


Matthias Sindelar tak perlu menunggu lama untuk sukses di klub barunya tersebut. Musim pertamanya bersama FK Austria Wien diawali dengan keberhasilan menjuarai Piala Austria (ÖFB-Cup) dan Kejuaraan Sepakbola Austria (Österreichische Fußballmeisterschaft). Pada periode itu dirinya tidak hanya tampil menjadi pemain penting bagi FK Austria Wien. Tapi, dengan kemampuan yang dimilikinya telah membuatnya dianggap sebagai pemain yang mengubah cara orang lain melihat sepakbola.


Prestasi dan permainannya yang apik itu membawa dia terpilih membela Tim Nasional Austria yang dilatih oleh Hugo Meisl pada 1926. Menurut data yang diriset dari Recorded Sport Soccer Statistics Foundation, Matthias Sindelar melakukan pertandingan debut untuk Tim Nasional Austria pada 28 September 1926 dalam laga persahabatan kontra Cekoslowakia di Praha. Di pertandingan itu juga dirinya menciptakan gol pertamanya di Tim Nasional Austria untuk kemenangan 2-1 bagi negaranya.


Sama seperti di tingkat klub, kemampuannya juga memberikan pengaruh besar untuk Tim Nasional Austria. Di masa awal terbentuknya skuat Wunderteam, dirinya langsung menjadi salah satu pemain fundamental dalam rancangan permainan yang diinstruksikan Hugo Meisl.


Namun, karena tindakan indisipliner dirinya sempat tersingkir dari bagian tim. Saat itu, orang-orang Wien pada jaman 1930-an gemar berkumpul di kedai kopi, termasuk Matthias Sindelar sendiri. Di kedai kopi itulah Matthias Sindelar sering meluangkan banyak waktu untuk bersenang-senang bersama para pendukung dan anggota klub FK Austria Wien. Tapi bagi Hugo Meisl yang teguh pada ketegasannya, kelakuan Matthias Sindelar itu bukan hal yang dapat ditoleransi, sehingga sang pemain pun ditepikan dari skuat dalam beberapa waktu.


Beruntung masalah perseteruan keduanya tidak berlangsung lama. Baik Matthias Sindelar dan Hugo Meisl kembali bersatu untuk bahu membahu membangun kekuatan Wunderteam. Pada kesempatan kali ini, Hugo Meisl mencoba metode barunya dengan mengusung formasi yang mengubah posisi Matthias Sindelar tidak lagi sebagai penyerang, tetapi menjadi playmaker (gelandang serang).


Matthias Sindelar sendiri memang tipikal pemain yang rajin ikut turun ke berbagai lini untuk menjemput bola dan membantu merancang permainan. Alih-alih dirinya lazim menjadi penyerang abad 20 yang cenderung hanya berkeliaran di kotak penalti lawan, Matthias Sindelar justru malah kerap melakukan pergerakan di luar posisinya (baik dengan maupun tanpa bola) dalam membuka opsi permainan. Dengan begitu, pada posisi asli yang ditinggalkannya memunculkan ruang kosong yang bisa dieksploitasi rekannya sebagai penyerang lain.


Karakternya ini jelas wujud langka untuk era di mana taktik permainan belum banyak berkembang. Perubahan posisi yang terjadi pada Matthias Sindelar ini banyak diklaim sebagai perintis dalam posisi tradisional pemain nomor 10 hingga sekarang. Tidak hanya playmaker, tetapi juga posisi lain seperti trequartista (gelandang sekaligus penyerang) dalam peran false nine (penyerang bayangan) yang merupakan posisi-posisi penting di era modern.


Pada metode formasi baru inilah Austria dengan skuat Wunderteam dan Matthias Sindelar sebagai bintangnya mulai tampil eksis di sepakbola Eropa dan dunia. Awal kejutan mereka diawali kala melawan Skotlandia yang saat itu merupakan salah satu kekuatan utama dalam sepakbola Eropa. Dalam pertandingan persahabatan itu mereka menghancurkan Skotlandia lewat kemenangan 5-0, dan terus berlanjut pada hasil-hasil fantastis yang lainnya.


Perubahan posisi Matthias Sindelar dari penyerang ke gelandang serang juga turut membawa berkah untuk klub yang dibelanya. Periode 1932 hingga 1936, kontribusi Matthias Sindelar membantu FK Austria Wien tiga kali menjuarai Piala Austria dan dua kali menjuarai Piala Eropa Tengah (sebuah turnamen antar-klub Eropa Tengah yang menjadi cikal bakal dari terbentuknya Piala Juara Klub Eropa/Liga Juara UEFA).


Momen terbaik Wunderteam dan Matthias Sindelar adalah saat berlaga di Piala Dunia FIFA 1934 di Italia. Mereka yang diunggulkan sebagai salah satu kandidat juara tampil gemilang sepanjang turnamen dan begitu meyakinkan untuk mewujudkan prediksi itu.


Namun, karena pengaruh politik Italia pada diri diktator Benito Mussolini menghentikan kiprah ajaib yang mereka tunjukkan. Bersamaan dengan itu, Piala Dunia FIFA 1934 menjadi partisipasi terakhir bagi Austria sebelum meletusnya Perang Dunia II, dan juga edisi pertama dan terakhir yang diikuti oleh skuat Wunderteam dan Matthias Sindelar.


Jalan hidup Matthias Sindelar sendiri memang tidak jauh dari gonjang-ganjing politik. Tatkala Jerman dengan Nazi pimpinan Adolf Hitler mulai menjajah Austria, yang memaksa terkekangnya segala aktivitas di negara tersebut, situasi itu tidak membuat Matthias Sindelar tunduk begitu saja. Dengan tubuh kecilnya, dia memilih berdiri tegak untuk sebuah perlawanan, karena baginya keberadaan Jerman yang berkuasa dan mengangkangi harga diri tanah air yang dicintainya merupakan suatu hal yang tidak bisa diterima olehnya.


Kecintaan Matthias Sindelar terhadap negaranya sungguh tidak terbantahkan. Kematian ayahnya yang tewas tertembak mati saat pertempuran Perang Dunia I menjadi alasan kuat yang membuatnya cinta mati kepada negara. Kejadian itu juga membentuk karakternya sebagai pemberani yang bersumpah untuk terus menjaga ibunya.


Tidak hanya cinta, namun dia juga teguh pada kesetiaannya. Dirinya pernah mendapat tawaran serius dari Manchester United FC untuk berkarier di sepakbola Inggris. Namun, tawaran itu ditolaknya karena dia tidak ingin mengkhianati janjinya yang hanya akan setia berkarier bersama sepakbola negaranya.


Penolakan yang dilakukan Matthias Sindelar juga bukan cuma terjadi terhadap Manchester United FC, namun juga terhadap Jerman. Saat Adolf Hitler, yang pada dasarnya dia dilahirkan di Austria, melarang kebebasan orang-orang pribumi negara itu (terlebih terhadap ras Yahudi) maka ditiadakan pula kegiatan sepakbola lokal di sana.


Selain dibubarkannya organisasi sepakbola Austria, bagi pemain sepakbola seperti Matthias Sindelar yang tetap bersikukuh melanjutkan karier, oleh Nazi mereka tak diperbolehkan mewakili negaranya dan dipaksa untuk berpindah haluan menjadi penggawa Jerman.


Ketika beberapa pemain terbaik Wunderteam seperti Hans Mock, Hans Pesser, dan Rudolf Raftl lantas terpaksa bermain untuk Tim Nasional Jerman yang saat itu dilatih Sepp Herberger, tidak demikian dengan sang kapten Matthias Sindelar. Konon, Nazi berkali-kali mendatangi dan mengancamnya agar mau pindah kewarganegaraan dan memperkuat Jerman. Tapi, Matthias Sindelar yang atas dasar kecintaan dan kesetiaan kepada negaranya dengan tegas berani menolak paksaan yang akan mengubah status kariernya.


Bagaimana soal konflik ini terjadi dimulai ketika Adolf Hitler mendeklarasikan penganeksasian "Anschluss" yang bertujuan untuk menggabungkan Austria menjadi bagian dari upaya didirikannya Jerman Raya. Maka untuk membuat kesepakatannya, diselenggarakanlah perundingan antara Austria dan Jerman yang dulunya memang pernah berada di bawah satu komando kekaisaran Wangsa Habsburg.


Tidak lama setelah itu, untuk merayakan penyatuan Austria dan Jerman, Nazi kemudian mengadakan pertandingan sepakbola antara Austria melawan Jerman yang dicanangkan sebagai laga terakhir Tim Nasional Austria sebelum dibubarkan sekaligus laga terakhir Austria sebagai negara merdeka.


Sial bagi Nazi karena pertandingan itu justru membuat dunia menyadari bahwa dibalik kekejaman dan kekuatan Adolf Hitler, ada satu kelemahan besar pada dirinya, yakni sepakbola. Nazi memang bisa mengalahkan Austria dengan senjata, tapi tidak dengan sepakbola.


Bertempat di Stadion Prater di Wien (yang sekarang bernama Stadion Ernst Happel), pertandingan mulanya hampir menjadi laga seremonial belaka. Sepanjang babak pertama dan sampai separuh babak kedua, Tim Nasional Austria ketika itu tampil tak serius dan tak antusias, karena pada kesepakatan awalnya adalah mereka tidak boleh menang. Situasi itu setidaknya berlangsung selama 70 menit. Namun setelahnya, keadaan berubah, Tim Nasional Austria tidak lagi berpura-pura dan bersandiwara. Kini mereka bermain ngotot dan kesetanan.


Tentu saja adalah Matthias Sindelar yang menciptakan perubahan dan menjadi titik awal perbedaan pertandingan itu. Bersama Karl Sesta, mereka berdua mencetak gol yang menjadi hasil akhir pertandingan untuk kemenangan 2-0 Austria atas Jerman. Matthias Sindelar menjadi pencetak gol pertama. Golnya terjadi setelah memanfaatkan sebuah bola rebound dari muka gawang dengan sambaran sepakan terukur. Kemudian melalui tendangan jarak jauh, Karl Sesta pun dan mencetak gol kedua yang tidak mampu dibalas oleh Jerman.


Kemenangan tersebut memiliki arti penting bagi Tim Nasional Austria dan khususnya Matthias Sindelar sendiri. Dari situ terlihatlah bahwa Austria boleh saja takluk secara negara, namun secara ideologi mereka adalah sosok yang berjuang lewat sepakbola untuk melawan politik Adolf Hitler dan Nazi. Apalagi sebelum laga itu berlangsung, meski Tim Nasional Austria tetap bermain dengan seragam tradisionalnya, tetapi Matthias Sindelar diketahui melakukan protes dan tuntutan keras terhadap Nazi yang sempat melarang Tim Nasional Austria tampil dengan seragam beratribut bendera negara Austria.


Matthias Sindelar pun merayakan kemenangan itu lewat cara yang sangat emosional. Dia menghampiri para pejabat kehormatan Nazi dan dengan beraninya menantang dan mencemooh mereka serta melakukan aksi yang kurang ajar. Sikapnya tersebut jelas sangat mempermalukan dan menjatuhkan Adolf Hitler dan Nazi yang ambisius. Apa yang dilakukannya itu adalah sebuah penghinaan besar bagi Adolf Hitler dan Nazi yang harga dirinya diinjak-injak pada titik terbawah di depan salah satu musuh kecilnya.


Setelah pertandingan itu semua masih berjalan dengan baik dan sekali lagi Nazi kembali memaksa Matthias Sindelar untuk bergabung dengan Jerman akan tampil di Piala Dunia FIFA 1938. Tapi lagi-lagi itu ditolak olehnya dengan alasan usia yang tak lagi muda dan fisiknya yang mulai rentan cedera. Tentu saja itu hanya alasan, karena saat itu di usia 35 tahun sebenarnya performa Matthias Sindelar masih berada pada level tertinggi.


Penolakan itu memang didasari kebenciannya terhadap Nazi yang menjajah negaranya. Sialnya, penolakan malah jadi takdir buruk baginya. Semenjak saat itu tersebut kehidupannya selalu dalam pengawasan Gestapo (Polisi Rahasia Nazi) yang mengakibatkan perjalanan hidupnya berakhir tragis.


Pada 23 Januari 1939, seorang rekannya, Gustav Hartmann, menemukan Mathias Sindelar tak dalam keadaan bernyawa di apartemen yang baru dibeli. Dia tewas mengenaskan bersama sang kekasih, Camilla Castignola, yang kondisinya sekarat. Tidak lama kemudian, kekasihnya turut meregang nyawa di saat dia belum bisa membuat kesaksian tentang apa yang sesungguhnya terjadi.


Kematiannya itu diketahui akibat keracunan karbon monoksida dari mesin pemanas ruangan yang bocor. Namun, hingga kini kematiannya itu masih jadi misteri dan banyak dugaan kematiannya itu lantaran sikap perlawanan yang pernah dilakukannya kepada Nazi.


Teori kuat mempercayai dirinya dibunuh secara halus oleh Nazi. Tapi, kata "halus" tentu saja terlalu halus untuk watak Adolf Hitler, Gestapo, dan Nazi yang pada kemudian hari membuat jutaan orang mati dalam pembantaian Holocaust.


Banyak bukti dan catatan otentik yang mengarah ke Nazi soal kematian Matthias Sindelar. Pasalnya, dalam proses penyidikan kasus, hal tersebut terus dihalangi oleh Nazi. Untuk menutupi ulahnya itu, Nazi mengakali rekaman medis yang membuat penyidikan kasus diakhiri dengan kesimpulan sepihak bahwa Matthias Sindelar mati bunuh diri.


Nazi sadar bahwa Matthias Sindelar akan menjadi ikon dan juga rujukan sikap politik. Meski upacara pemakamannya dilakukan secara layak, namun itu tertutup rapat bagi publik. Tidak hanya itu, oleh segala peraturannya Nazi juga melarang adanya monumen penghormatan terhadap Matthias Sindelar. Itu terjadi karena ketakutan para petinggi Nazi terhadap respon yang diberikan masyarakat, terlebih Matthias Sindelar sangat dibanggakan publik Yahudi di Austria.


Ya, Matthias Sindelar memang sosok kultus di dunia sepakbola dan politik. Tidak hanya Austria, bahkan dunia. Dalam ceritanya yang bersejarah, sebagai pemain sepakbola gaya permainannya dianggap merupakan bentuk seni. Aksi-aksinya di lapangan begitu mengagumkan. Kedua kakinya bagai memiliki sebuah otak atas kemampuan dan keterampilan olah bola yang sempurna. Tidak ada keraguan pada kehebatannya, maka dia adalah salah satu yang terbaik dari abad 20.


Kehidupannya memang harus berakhir secara tragis dan meninggalkan misteri yang belum terpecahkan. Namun, keterlibatan politiknya yang penuh dengan kisah keberanian, kecintaan, dan kesetiaan dalam kekuatan nasionalismenya bukanlah cerita fiksi novel dan film.


Matthias Sindelar, dia sosok yang pernah ada dengan kisah nyata kehidupannya, tentang sebuah ketegasan pada janji dan sumpah untuk tetap membela dan mempertahankan harga diri bangsa dan negara walau nyawa yang menjadi taruhannya.


Bersama kisah ajaib Wunderteam, Matthias Sindelar akan selalu dikenang sebagai legenda besar dalam bentuk pemain yang loyal terhadap tanah airnya dan dia adalah contoh dari kemuliaan seorang pesepakbola.





Sumber/Referensi:


- https://ahalftimereport.com/2015/07/...-with-fascism/

- https://footballpink.net/2015/02/05/...-man-of-paper/

- https://www.fourfourtwo.com/features...led-a-legend-0

- https://www.goalprofits.com/matthias...eatest-player/

- https://insunandshadow.com/political...ootballers-xi/

- https://insunandshadow.com/2011/10/0...hias-sindelar/

- http://www.newstatesman.com/sport/20...ar-soccer-nazi

- http://www.thedaisycutter.co.uk/2013...-be-forgotten/

- https://www.theguardian.com/football...sport.comment3

- http://thesefootballtimes.co/2015/01...lar-paper-man/
Junmai92
fc88
tien212700
tien212700 dan 19 lainnya memberi reputasi
20
5.1K
37
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sports
SportsKASKUS Official
23.1KThread11.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.