ZenMan1Avatar border
TS
ZenMan1
Ada Isu Wall Street Bubble, Seandainya Crash Apa Kabar IHSG?


Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau yang disebut Wall Street menunjukkan kinerja impresif saat terjadi pandemi virus corona (Covid-19) yang mengguncang dunia. Perekonomian AS bahkan mengalami resesi untuk pertama kalinya dalam lebih dari 1 dekade terakhir.
Guna meredam penyebaran virus tersebut, AS sebelumnya menerapkan kebijakan social distancing hingga karantina (lockdown). Dampaknya bisa ditebak, roda bisnis melambat bahkan nyaris mati suri, hingga akhirnya mengalami resesi.
Bahkan, produk domestik bruto (PDB) di kuartal II-2020 dilaporkan mengalami kontraksi 31,4% secara quarterly annualized atau kuartalan yang disetahunkan (dikali 4). Kontraksi tersebut menjadi yang paling parah sepanjang sejarah AS.

Perekonomian AS memang bangkit di kuartal III-2020, melesat 33,4%, tetapi tingginya PDB tersebut lebih karena low base effect dari kuartal sebelumnya. AS hingga saat ini masih harus menghadapi serangan Covid-19, meski sudah memulai vaksinasi massal.

Data dari Worldometers menunjukkan pada Selasa (26/1/2021) terjadi penambahan kasus baru sebanyak 148.265, sehingga total kasus lebih dari 26 juta orang, dengan 435.452 orang meninggal dunia, dan 15.767.413 sembuh.

Di tengah pandemi tersebut, Wall Street justru berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. Wall Street yang dimaksud adalah dua bursa utama AS, New York Stock Exchange (NYSE) dan Bursa Nasdaq.
Di bulan Maret lalu, Wall Street sempat mengalami aksi jual masif.
Indeks S&P 500 pada 5 Februari lalu menyentuh rekor tertinggi sepanjang masa 3.393,52. Tetapi setelahnya ambrol hingga menyentuh 2.191,73 pada 9 Maret 2020, atau ambrol lebih dari 35% dan menyentuh level terendah sejak November 2016. Hal yang sama juga terjadi pada 2 indeks utama lainnya, Dow Jones dan Nasdaq.

Sejak saat itu, Wall Street perlahan bangkit berkat stimulus moneter dan fiskal di AS.
Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga hingga menjadi < 0,25%, dan mengaktifkan kembali program pembelian aset (quantitative easing/QE) senilai US$ 120 miliar per bulan, sementara pemerintah AS saat itu di bawah komando Presiden ke-45 Donald Trump menggelontorkan stimulus fiskal senilai US$ 2 triliun.

Alhasil, Wall Street terus menanjak, ditambah dengan ekspektasi membaiknya perekonomian serta dimulainya vaksinasi, rekor tertinggi sepanjang sejarah berkali-kali dicetak.
Indeks S&P 500 kemarin mencatat rekor di 3.870,9, sebelum berbalik melemah. Indeks Nasdaq mencetak rekor sehari sebelumnya di 13.728,984, sementara Dow Jones pada Kamis (21/1/2021) di 31.272,22.
Sepanjang tahun lalu, S&P 500 melesat 16,26%, Nasdaq "terbang" 43,64%, dan Dow Jones naik 7,25%. Sementara dalam 10 tahun terakhir, indeks S&P 500 melesat nyaris 200%, kemudian Nasdaq meroket 385%, dan Dow Jones menguat 164%.

Wall Street Bubble, Capai Puncak di Kuartal I-2020?


Analis dari Bank of America (BofA) yang dipimpin Michael Harnett dalam sebuah catatan memperingatkan kebijakan pemerintah saat ini telah membentuk bubble di Wall Street.
"Kebijakan pemerintah AS mendorong terjadinya bubble di Wall Street. Ketika seseorang ingin tetap kaya bertindak seperti orang yang ingin kaya, hal tersebut menunjukkan aksi spekulatif," kata Harnett.
Harnett memprediksi Wall Street akan mencapai puncak di kuartal I-2020, dan indikator Bull & Bear BofA menunjukkan "sinyal jual". 


Hal senada ditunjukkan survei E-Trade Financial Survey Morgan Stanley menunjukkan mayoritas investor melihat pasar saham AS sudah mengalami bubble atau sudah mendekati.
Namun yang menarik, meski melihat Wall Street sudah bubble, tetapi para investor tersebut tetap masih akan berinvestasi di saham, dan memprediksi masih akan ada kenaikan di kuartal I-2021, serta menaikkan toleransi risiko mereka.
Survei tersebut dilakukan pada periode 1 - 7 Januari, terhadap investor miliuner yang memiliki akun dengan nilai US$ 1 juta atau lebih di perusahaan sekuritas. Selain itu survei juga dilakukan lebih luas terhadap investor dengan nilai akun setidaknya US$ 10.000.

Hasilnya, sebanyak sebanyak 64% investor miliuner masih bullish terhadap pasar saham meski melihat sudah terjadi bubble. Persentase tersebut malah meningkat dibandingkan kuartal IV-2020 lalu sebesar 55%. Sementara itu untuk investor yang lebih luas dengan nilai akun setidaknya US$ 10.000, sebesar 57%.
Beberapa faktor yang membuat investor masih bullish adalah pemulihan ekonomi, vaksinasi massal yang sudah di mulai, serta stimulus fiskal yang akan digelontorkan Presiden AS Joseph 'Joe' Biden, senilai US$ 1,9 triliun.
"Ada pengakuan secara luas mengenai membaiknya perekonomian, dan tanda-tanda yang mendukung penguatan pasar," kata Mike Lowengart, kepala investasi unit capital management E-Trade Financial, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (18/1/2021).


Seandainya Crash (Amit-Amit), IHSG Apa Kabar?

Jika dilihat secara teknikal, menggunakan indikator stochastic indeks S&P 500, Dow Jones, dan Nasdaq pada grafik kuartalan bahkan tahunan sudah berada di wilayah jenuh beli (overbought).

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka suatu harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.



Wall Street pada periode 1999-2000 mengalami dotcom bubble. Saat itu, indikator stochastic baik di grafik kuartalan maupun tahunan berada di wilayah overbought dalam waktu yang cukup lama, hingga akhirnya terjadi crash.
Saat ini, indikator stochastic juga berada di wilayah overbought (jenuh beli) dalam waktu lama.
Saat terjadi dotcom bubble, indeks Nasdaq mencapai puncak tertinggi 5.132,520 pada 9 Maret 2020, setelahnya mengalami crash, terus menurun hingga Oktober 2002. Total kemerosotan Nasdaq lebih dari 78%.
Pada periode yang sama, indeks S&P 500 ambrol lebih 50% dan indeks Dow Jones turun lebih dari 30%.
Crash yang dialami Wall Street, kiblat bursa saham dunia, tentunya merembet ke bursa saham lainnya termasuk IHSG.
Pada periode yang sama saat Wall Street mengalami crash, IHSG ikut ambrol lebih dari 40%.
Meski demikian, risiko crash Wall Street kali ini jauh lebih rendah ketimbang saat dotcom bubble.
Pada tahun lalu, Selain itu 3 indeks utama Wall Street, indeks Russel 2000 yang berisi perusahaan-perusahaan dengan kapitalisasi pasar kecil juga melesat lebih dari 19% sepanjang tahun lalu. Reuters bahkan melaporkan emiten-emiten di Russel 2000 dengan laba operasi negatif alias merugi justru melesat lebih tinggi nyaris 50%.

Analis Goldman Sachs, David Kostin mengatakan pergerakan pasar belakangan ini menunjukkan perilaku yang konsisten terhadap sentimen bubble. Namun, Kostin melihat melesatnya saham emiten dengan laba operasi negatif di tahun 2020 lalu masih jauh di bawah era dotcom bubble 1999-2000 ketika melesat hingga 140%.
Dengan demikian, risiko terjadinya crash kali ini jauh lebih kecil ketimbang saat era dotcom bubble.


sumur

https://www.cnbcindonesia.com/market...a-kabar-ihsg/1
jazzcoustic
jazzcoustic memberi reputasi
1
947
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670.7KThread40.7KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.