Welcome di thread sederhana ane gansis 
 Enjoy reading and have a good time 





“Aku ga perlu pesta sih nantinya, ga perlu juga bulan madu mahal-mahal, yang penting nanti dia sanggup nyiapin mahar rumah, gak papa kecil yang penting atas nama aku” – teman ane yang tidak tahu diri

Hampir saja ane menelan bulat-bulat bakso yang saat itu tengah ane santap. Sementara otak ane mencari korelasi antara jawaban teman ane tadi yang nyatanya sangat berani dengan kemungkinan bahwa dia anak buangan salah satu mentri di kabinet pemerintahan, atau dia memiliki wajah sesensual Angelina Jolie. Ane bahkan berusaha dengan sangat, untuk bereaksi normal dan tidak memberikan respons kritikal hit seperti

“Kepala bapak kau?!”

Tepat 30 menit sebelum jawaban sialan nan horor bagi para kaum pria tersebut terdengar di telinga, ane masih dengan tenang mengelus-elus kucing kesayangan dibelakang rumah, hingga kemudian salah satu teman wanita ane mengajak minta ditemenin makan di warung bakso solo terdekat. Ane meng-iyakan dengan hati berat, sejalan dengan fakta bahwa saat itu adalah bulan tua, dan keadaan dompet sudah harus mulai mengirit akibat kebiasaan bersedekah di Platformnya om gaben.

Dan disinilah ane, berada di bangku panjang khas warung bakso, berhadapan langsung dengan teman wanita yang tadi memberikan jawaban cukup menohok. Seperti yang ane jelaskan tadi, bahkan ketika pembahasan awal berorbit pada keberlangsungan progres skripsinya dia, manusia di depan ane ini akan selalu menemukan cabang percakapan yang mengarah kepada pernikahan, dan ane tentunya sebagai teman dan pendengar yang bijak akan mengikuti alur percakapan dengan cukup baik, toh ane sendiri juga memiliki sedikit pertanyaan berbumbu penasaran yang nyatanya akan ane sesali sepulang dari sana

“Kau pengen mahar apa?”

Sebagai informasi, ane tinggal di daerah yang mana mahar untuk pihak wanita akan sedikit menguras – tentu saja BANYAK menguras – keringat dari pihak pria, masih belum jelas? Yasudah, daerah yang jika kalian tertangkap basah bermain PUBG kalian akan di cambuk, gimana?

Ane tentu tidak menafikan, bahwa kemampuan memenuhi mahar yang baik akan memberi nilai tambah bagi sang pria, tapi ayolah, ingin nikah muda, sementara mahar adalah sebuah rumah? Ane pelan-pelan mundur, karena sekalipun dengan kerjaan dan gaji yang sudah lumayan, mahar seperti itu masih terasa seperti di angan-angan.

Ajibnya adalah, dia bukan orang pertama yang memberikan jawaban serupa, ada 1 hingga 2 orang yang sudah ane dapati memberikan jawaban yang sama, tapi tetap saja, mendengar jawaban sejenis akan memberikan ane shock therapy berulang.

Hei begini-begini, toh ane juga sedang menyiapkan mahar untuk wanita yang ane idam-idamkan, jadi tolong dong, jangan memberikan cerita-cerita horor semacam meminta mahar sebuah rumah, sekalipun itu rumah tipe 36.

Lebih yahudnya lagi, teman ane ini melanjutkan argumennya mengapa dia bersikeras meminta rumah sebagai maharnya.

Dia beralasan, bahwa “taktik” tersebut nantinya berguna agar sang calon suami tidak mengambil/menggunakan mahar yang telah di berikan, lebih lanjut lagi, dia mengatakan bahwa dengan cara tersebut pula, dia akan menjamin bahwa sang suami tidak akan selingkuh, toh kalaupun terjadi, teman ane ini tinggal menendang pantat suaminya dari rumah tersebut. 

Benar atau salahnya, dalam hati ane bertanya-tanya, berapa jam sinetron non-mendidik yang dia konsumsi dalam sehari.

Ane sendiri yakin, bahwa para wanita dewasa diluar sana telah memiliki kemampuan untuk menilai bibit bebet dan bobot pria yang akan mereka pilih kelak, pun orang-orang akan membela diri “Tapi kita kan gak tau isi hati orang gimana”, tapi kamu cukup cerdas bukan untuk menilai sendiri apakah seseorang mencintai mu kelak? Lagi pula apa gunanya teman, sahabat, bahkan orang tua jika kamu tidak mampu meminta pendapat mereka tentang calon pilihan mu.

Sementara itu, jika menilik dari segi harta, ane juga cukup tahu diri untuk tidak menggunakan kalimat “Cari istri yang mau di ajak susah” bahkan jujur ane membenci kalimat tersebut. Namun di lain sisi ane rasa ane cukup berhak dan humble untuk mengatakan alih-alih meminta izin 

“Maukah kamu bersabar dengan saya? Sementara saya berjanji akan berkerja sekeras mungkin dan segala rezeki yang saya dapati itu menjadi hak mu banyak atau sedikitnya? Hingga nanti Allah memberi kita kelebihan rezeki seperti janjinya?” 

– ane sendiri tidak tahu darimana ane mendapat kata-kata seperti itu – tapi satu hal, pun seorang lelaki tidak mampu menjanjikan mahar sebuah rumah, tapi setidaknya mahar yang cukup baik dan bernilai yang didapat setelah perjuangan setahun dua tahun, dan janji – yang pastinya akan di lakukan – untuk bekerja keras demi kebahagiaan seseorang yang di cinta sedikit banyaknya telah cukup untuk menutup akad pernikahan.

Sepulang dari sana, ane pun mendapatkan pelajaran sedikit berharga, untuk tidak lagi terjebak pada percakapan yang berorientasi pada pernikahan - at least selama ane belum siap - dan mulai mengurangi kebiasaan berdonasi buat om gaben.  

Sekian thread bernada curhatan ane kali ini yak. Bagi gansis yang sudah mengarungi bahtera rumah tangga atau yang masih menuju tahap tersebut, tolong pencerahannya di kolom komentar yak

agar kami para newbie ini tidak salah langkah muehehehe



Last but not least

Thanks buat yang sudah sudi mampir kesini yak



Stay tune for another thread

Byeee ~

Sumber : Pengalaman pribadi | Gambar : Google images | Narasi : Pribadi