Assalamualaikum, Salam Sejahtera, Shalom,
Om Swastiastu, Namo Buddhaya, dan Salam Kebajikan

Berjumpa kembali dengan Nubie Maegashira dengan trit-trit yang mudah-mudahan ada satu atau dua udah syukur dah, yang bisa menghibur pemirsa dan pembaca.


       Semester II Tahun Ajaran 2019-2020 tepatnya Bulan Maret 2020, ditandai dengan merebaknya Pandemi Covid-19 secara masif dengan kasus korban positif dan korban meninggal dunia meningkat secara signifikan yang menyerang berbagai kelompok usia termasuk usia anak-anak hingga remaja, di berbagai negara.

      Imbas dari merebaknya kasus korban Covid-19, dunia berupaya mengantisipasi dengan penerapan Protokol Kesehatan, yaitu kewajiban penggunaan masker, rajin mencuci tangan, dan pembatasan kegiatan (social distancing), yang mau tidak mau Indonesia pun harus patuh untuk menerapkan protokol tersebut ke warganya.

     Impact penerapan protokol kesehatan terutama pada poin pembatasan kegiatan yang meliputi jaga jarak, menjauhi kerumunan, dan membatasi interaksi fisik, salah satunya terhadap bidang pendidikan, dengan sementara ditiadakan Proses Belajar Mengajar (PBM) secara tatap muka dan kewajiban PBM secara virtual dan daring.

      Kewajiban PBM secara daring dengan pertimbangan pencegahan wabah Covid-19 di lingkungan sekolah yang rentan penularan terhadap siswa dan guru, dengan siswa sebagai aset SDM masa depan dan guru sebagai SDM potensial (sulit dicetak dalam waktu singkat), tentunya menjadi bagian dari prioritas yang harus dilindungi.

       Kewajiban PBM daring sebagai sesuatu yang baru dan bersifat mendadak, di awal penerapan banyak pro kontra dari sisi orangtua yang keduanya bekerja, dari guru yang belum terbiasa dengan multimedia, dari siswa yang kesulitan mendapat penjelasan pelajaran, dan dari infrastruktur yang belum siap (jaringan dan kuota).

       PBM daring telah berjalan satu semester (Juli-Des 2020), walaupun ada desakan dari berbagai pihak yang entah tidak sabar mengajari anak atau kewalahan menyiapkan materi secara daring, untuk menggelar tatap muka kembali, tetap pada prinsipnya saat ini PBM daring masih rasional ditengah pandemi yang belum reda.

      Sebagai orangtua siswa kelas 2 SD, kami mencoba memberikan pandangan atas PBM daring yang selama ini kami jalani dan tentunya ini bersifat subjektif dan kembali masing-masing orangtua tentunya memiliki perspektif berbeda sesuai dengan situasi dan kondisi yang dihadapi.

Awal menjalani PBM daring, beberapa hal yang menjadi kendala diantaranya:

-- sebagai orangtua yang kebetulan keduanya bekerja full-time (pagi-sore), perlu penyesuaian waktu pulang kerja untuk mengejar deadline tugas PBM daring yang diberikan guru kepada anak kami sebagai siswa

-- materi yang diberikan terkadang materi yang seharusnya diberikan penjelasan terlebih dahulu sebelum pemberian soal/tugas, bahkan beberapa materi seyogianya perlu pemahaman khusus, seperti prakarya, olahraga, dan keagamaan

-- banyaknya tugas yang diberikan (satu hari mencakup 3 mata pelajaran) dengan deadline yang singkat (sore diberikan, besok siang dikirim via WA) awalnya terasa menyulitkan karena pengerjaan pagi tidak mungkin ditengah kondisi harus bekerja.

Menyikapi kendala di awal penerapan PBM daring, tentunya sebagai orangtua perlu menentukan skala prioritas, diantaranya:

-- membentuk kesepakatan suami-istri bahwa tanggung jawab pendidikan anak adalah tanggung jawab bersama (dulu kan bikinnya bersama juga), tidak ada yang merasa paling lelah dengan alasan bekerja, IRT pun bahkan lebih berat lagi

-- membagi tugas dalam mengajarkan dan menjelaskan materi dari guru kepada anak, dengan saya fokus ke pelajaran umum, keagamaan, informatika, dan prakarya, sedang istri fokus ke pelajaran bahasa inggris dan matematika.

-- berupaya membantu anak dalam penyelesaian tugas (bukan berarti orangtua yang menjawab dan menulis) secara mandiri dengan diarahkan cara menjawabnya, dan diupayakan selesai malam sehingga pagi sambil berangkat bisa dikirim ke guru.

  Selama PBM daring kami berupaya memberikan pemahaman kepada anak bahwa kebijakan tersebut bukan berarti libur, dan tetap tidak boleh keluar rumah kecuali bersama orang tua, itupun untuk sekedar refreshing di weekend agar anak tidak jenuh dan tentunya dengan penerapan protokol kesehatan.

       PBM daring justru membuat tanggung jawab dan naluri mendidik orangtua akan muncul, dan nuansa kedekatan keluarga akan terbentuk dari yang mungkin biasa cuek terhadap pendidikan anak dan merasa dengan bayar mahal guru harus serba bisa, terlebih PBM daring paling tidak membuat anak sedikit melek teknologi.

     Menjalani PBM daring akan terasa enak dilalui apabila kedua orangtua dan anak saling kerja sama dan sinergi, walaupun dalam prosesnya kadang masih terbawa emosi kepada anak, setidaknya kita sebagai orangtua harus bercermin jika kita tidak mau mengajari anak, siapa yang pantas disalahkan jika anak kita tidak mengerti ?

    Alhamdulillah selama menjalani PBM daring, kami sebagai orangtua tidak pernah menekankan anak untuk menjadi yang terbaik di berbagai pelajaran, tetapi anak sudah bisa mengerjakan tugas yang diberikan, wajib diapresiasi orangtua, dan tidak menuntut anak untuk bersaing yang rentan menjadikannya meremehkan siswa lain.

    Demikian pandangan singkat kami sebagai orangtua siswa, yang jelas PBM daring bagi siswa kelas 1 s.d. kelas 3 SD justru merupakan masa-masa berat dan krusial karena seyogianya mereka sedang dalam pembentukan karakter Calistung yang porsi pemahamannya justru harus melibatkan guru yang mempunyai skill pendidik.

     Untuk kondisi saat ini, PBM daring masih menjadi alternatif yang solutif untuk menjaga pendidikan anak (anggap saja homeschooling) meskipun argo SPP jalan karena kalau memaksakan tatap muka meski sekolah sudah menyediakan sarana kesehatan, kita tidak bisa menjamin keamanan kesehatan warga sekolah.

    Di situasi normal saja, kadang maaf oknum ibu-ibu suka kumpul-2 nunggu anaknya di sekolah yang rentan ngobrol dengan masker terbuka dan menyebarkan droplet, ditambah jika PBM tatap muka digelar, beberapa pelajaran rentan interaksi fisik seperti prakarya, olahraga, dan pramuka.

     Jika merasa berat dengan PBM daring, ada baiknya kita melihat dari sisi guru, mereka harus terus merancang pelajaran daring yang inovatif, kreatif, interaktif agar siswa paham meskipun tanpa tatap muka, ditambah mereka juga mempunyai anak yang juga menjalani PBM daring yang harus dibagi waktu agar bisa diajari juga.

    Terus perbanyak doa kepada Tuhan agar pandemi bisa berakhir dengan tetap peduli protokol kesehatan, ingatlah PBM daring turut andil menjaga anak selaku aset masa depan bangsa dan guru sebagai SDM potensial, kita sudah melihat banyak tenaga medis yang kehilangan akibat Covid-19 yang berarti kerugian SDM bangsa.

     Negara yang maju seyogianya adalah negara yang SDM-nya sehat dan berilmu, bagaimana mau berilmu jika kondisinya kurang sehat ? bagaimana mau sehat jika belum memahami ilmunya ? sekali lagi tulisan ini hanyalah pandangan dan opini kami sebagai orangtua siswa menyikapi kebijakan PBM daring di masa pandemi.

Sekian dari kami, dan mohon maaf jika yang kurang berkenan. Terima Kasih.