robbolaAvatar border
TS
robbola
Senyummu Bahagiaku

Rasanya seperti ada sayatan yang menggores kepingan di dalam sini, saat melihat wanita itu kini berbaring memunggungiku. Bahu polosnya terlihat bergetar, bersamaan dengan isak yang terdengar semakin mengencang.

Aku menghela napas. Mencoba menenangkan hati yang terasa kian gelisah. Pelan, kupersempit jarak di antara kami.

"Maaf," lirihku.

Kubenamkan wajah pada rambutnya yang tergerai, kuhirup aroma yang menguar dari sana. Seperti yang biasa kulakukan setelah kami melewati malam panjang. Namun, jika biasanya disertai dengan perasaan bahagia yang membuncah di dada, kali ini justru rasa nyeri yang terasa kian menyiksa.

Kulingkarkan satu tangan untuk memeluknya. Meski ia berusaha menolak, tapi tenaganya yang tak seberapa tak mampu melepaskan pelukanku pada tubuhnya.

Hening kembali menyelimuti. Hanya terdengar detak jarum jam, juga isakan Kanaya yang perlahan semakin menghilang, lalu berganti dengan deru halus napasnya. Ia tertidur.

Melangkah menuju balkon, kunyalakan sebatang rokok di selipan jari. Sesekali kuisap dan menikmati setiap kepulan asap yang kuembuskan perlahan.

Kutatap udara kosong pada pekat malam di depan sana. Mengingat kembali satu hal yang menjadi pemicu diamnya istriku.

"Sejak kapan?" tanyanya saat itu. Sesaat, aku terdiam. Mengusap rambut yang masih sedikit basah dengan handuk kecil. Sementara otakku mencerna maksud dari pertanyaan yang Kanaya lontarkan.

Baru sadar ada yang tak beres, saat terlihat tangannya menggenggam gawaiku. Sementara mata itu, menatapku dengan sirat kekecewaan. Ada kaca-kaca yang terlihat di sana.

Oh, shit! Dalam hati, aku merutuki kebodohan yang kulakukan.

"Nay, itu …." Ucapanku terputus. Dentaman yang mengencang di dalam sini, membuatku tergagap. Bingung harus bicara apa?

Beginikah rasanya saat tertangkap melakukan sebuah kesalahan?

Kanaya berjalan mendekat. Satu tangannya meraih tanganku dan meletakkan gawai di sana.

"Lain kali, jangan lupa dihapus. Biar aku ga perlu baca," ucapnya berlalu. Meninggalkanku yang kini diam mematung, merutuki kebodohanku sendiri.

Sejak itu, waktu yang harusnya bisa kami gunakan untuk saling melepas rindu, berubah menjadi sebuah kebisuan.

Bekerja di luar kota selama tiga minggu, membuatku kerap merindukan Kanaya saat malam tiba. Tanpa direncana, sapaan Tania--mantanku--di messenger memancingku membalasnya. Hanya sekadar iseng, untuk mengalihkan rasa rindu yang kian membumbung tinggi pada Kanaya. Sialnya, keisenganku berujung pada sebuah petaka.

Kanaya terus membisu. Bahkan, aku seperti makhluk astral yang tak tampak di hadapannya.

"Makannya diabisin ya, Sayang." Sesekali, suaranya terdengar saat berbicara dengan Andra, putra kami. Namun, setelah itu ia kembali bungkam.

"Nay, abang mau ngomong." Kuraih lengannya sesaat setelah ia keluar dari kamar Andra. Sudah tiga hari ia mendiamkanku.

"Aku mau nyuci, Bang. Banyak kerjaan," ketusnya.

"Nay …."

Ia menatapku. Tatapan sendu, tapi berhasil mencipta gemuruh di dada hingga aku menjadi salah tingkah. Lalu, ia melepas cekalanku dan pergi berlalu begitu saja.

Ah, kenapa ia tak memarahiku saja? Kebisuannya benar-benar membuatku bingung harus bersikap seperti apa?

"Abang rindu senyum kamu, Nay," lirihku sambil kembali mengeluarkan kepulan asap dari bibir.

Terbayang rona bahagia yang terlihat di wajahnya saat aku baru saja pulang dari Jambi. Ya, dia pasti merindukanku, sama seperti aku yang juga merindukannya.

"Abang, kangeeen," ucapnya manja memelukku. Mengendus aroma tubuhku yang menurutnya selalu membuat rindu. Ada-ada saja.

"Abang belum mandi, Nay. Bau asem."

"Biarin, Nay kangen. Gak pernah nyenyak tidur tiga minggu gegara ga bisa cium ini," rajuknya dengan bibir cemberut.

"Gausah dimonyongin gini bibirnya." Aku menyomot bibir itu dengan ujung jari.

"Kenapa?"

"Bikin gemes, jadi pengen makan kamu."

Lalu, semu merah itu terlihat jelas menjalar di pipinya. Bersama senyum malu-malu yang membuatnya terlihat semakin menggemaskan. Sayang, hanya dalam waktu semalam saja, senyum itu menghilang ditelan kekecewaan. Akibat kebodohanku tentu saja.

Rasa bersalah ini semakin besar, saat melihat Kanaya tetap melakukan kewajibannya sebagai seorang istri. Bahkan, ia tak menolak saat tadi aku menginginkannya. Hanya saja, air mata yang mengalir dari sudut matanya seakan menamparku. Apa begitu besar rasa kecewanya? Hingga saat di mana harusnya kami bisa saling meluahkan rasa cinta, nyatanya justru menggores sebuah luka di hatinya.

Ah, andai aku tak bermain api. Mungkin malam ini masih bisa kudengar rengekan manjanya, juga rona kemerahan yang kerap muncul di pipi putih itu saat aku mulai menggoda.

Mau tak mau, aku harus segera menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai berlarut-larut menjadi duri dalam rumah tanggaku.

Demi Tuhan, tak pernah sedikit pun terbersit dalam benakku untuk mengkhianati Kanaya. Ia istri yang sempurna. Di balik kecantikan ragawi yang ia miliki, tersimpan sebuah hati yang jauh lebih cantik di dalamnya.

Saat pernikahan kami, ia bahkan tak menuntut pesta yang mewah. Aku yang hanya pegawai rendahan saat itu, hanya mampu memberinya mahar berupa cincin tiga gram.

"Maaf, ya Nay. Abang cuma bisa kasih pesta sederhana. Juga mahar yang nggak seberapa," ucapku menatap wajah ayunya yang tak berbalut hijab.

"Sebaik-baik wanita itu yang memudahkan maharnya, Bang." Lengkungan di bibirnya mencipta satu desiran halus di sini. Rasa bahagia, juga syukur yang tak berkesudahan atas anugerah yang Tuhan beri untukku.

Tahun ke tiga pernikahan, aku baru bisa memboyongnya ke rumah pribadi kami. Rumah sederhana yang kubeli melalui KPR. Hari itu, setelah berbenah, kami baru sadar belum memiliki kompor. Sementara perut sudah mulai keroncongan. Akhirnya, Kanaya menyiram sebungkus mie instant dengan air panas dari dispenser. Meski begitu, wajahnya tetap terlihat ceria, seolah-olah begitu bahagia meski kami hidup dalam kesederhanaan.

"Maafin abang, Nay." Kembali aku berbicara pada udara kosong. Setidaknya bisa mengurangi sesak karena perasaan bersalah yang memenuhi hati.

Masuk ke kamar, kurebahkan tubuh di samping Kanaya. Menatap wajahnya yang terlelap. Jejak air mata masih terlihat di pipinya.

"Maafin abang, Sayang," ucapku sesaat sebelum rasa kantuk membawa kesadaranku.

***

Tak kutemukan Kanaya saat mata terbuka. Jam di nakas masih menunjukkan pukul 03.15. Perlahan, aku bangkit dan melangkah keluar kamar.

Langkahku terhenti karena mendengar suara isakan. Hening malam membuat isakan itu terdengar begitu jelas. Melangkah ke arah ruang salat, di sana terlihat istriku tengah bersimpuh mengadu pada Rabb-nya dengan bahu tergetar.

Seperti ada yang tertusuk di dalam sini. Wanita itu, kerap melangitkan namaku dalam setiap doanya. Memohon segala kebaikan atasku dan keluarga kami. Mungkin, itu juga yang selalu ia lakukan saat kami terpisah jarak. Lalu, di sana aku justru bercanda ria dengan wanita lain. Meski hanya sebatas candaan biasa, nyatanya semua itu telah melukai perasaan wanitaku.

Kadang, sesuatu yang kita anggap sebagai suatu hal yang sepele, belum tentu pasangan kita menganggapnya sama. Terlebih, ketika jarak memisahkan, kepercayaan tentu menjadi hal utama yang bisa membuat hubungan tetap bisa bertahan.

Melihat Kanaya melipat mukenanya, aku melangkah mendekat. Lalu, memeluk tubuhnya dari belakang. Sesaat, tubuhnya terasa menegang, mungkin terkejut dengan pelukan spontanku.

"Maafin abang, Sayang. Maaf."

Terdengar helaan napas dari mulutnya. Tangan halus itu mengusap punggung tanganku begitu lembut.

"Abang tau apa salah Abang?"

Aku mengangguk pada cerukan lehernya. Aroma shampo masih tercium begitu harum dari surai indah miliknya.

"Demi Allah, Nay. Abang ga macem-macem. Cuma iseng aja bales chat dia."

"Tapi Abang seneng, kan? Buktinya dibela-belain sampe tengah malem."

"Itu karena abang kangen sama kamu," jawabku menggesekkan ujung hidung di pipinya.

"Harusnya aku yang Abang ajak chat, bukan dia."

"Kamu pasti capek ngurusin Andra seharian sendiri. Belum ngurus rumah. Abang ga tega gangguin kamu."

"Tapi Abang tega nyakitin aku."

"Iya, abang salah. Abang gak mikir sejauh itu. Demi Allah, Sayang. Itu cuma iseng aja."

Kanaya melepaskan tautan tanganku, lalu memutar tubuhnya hingga kini kami saling berhadapan. Ia menangkup wajahku dengan kedua tangan.

"Abang emang cuma iseng, tapi apa Abang yakin dia ga bakalan baper?"

"Kan, abang nggak ngapa-ngapain, Nay. Cuma dengerin dia curhat aja."

"Buat cewek, apa yang Abang anggep cuma itu, jadi salah satu bentuk perhatian. Lagian, aku gak mau perhatian Abang kebagi buat cewek lain." Kini wajahnya tampak cemberut.

"Enggak, Nay … "

"Nay cemburu," rajuknya.

"Abang cuma cinta sama kamu."

"Abang mau, kalo misal Nay curhat sama suami orang?"

"Ga ada, enak aja!"

"Tuh, Abang aja ga mau, kan?"

"Iya, maaf. Nggak lagi-lagi. Nanti abang blokir."

"Bukan masalah blokir atau engga, Bang. Tapi ini." Kanaya meletakkan telapak tangannya di dadaku. Matanya menatapku lekat.

"Godaan, bukan cuma dateng dari dia. Bukan cuma dari FB. Bisa dari mana aja."

Aku diam mendengar ucapannya. Setelah lama membisu, malam ini istri cerewetku telah kembali.

"Kuncinya ada di sini." Ia menunjuk dadaku.

"Sebesar apa pun godaan yang ada, kalo Abang bisa menjaga hati buat Nay. Abang nggak akan mudah tergoda. Tapi sekali Abang mencoba membuka celah, sebatas iseng pun bisa berlanjut jadi main hati."

Aku menatapnya dengan penuh penyesalan. Lalu meraih tubuhnya dalam pelukan penuh rasa rindu.

Benar kata Kanaya. Sebagai kepala keluarga, harusnya aku sadar bahwa letak kebahagiaan keluarga kami adalah tanggung jawabku. Jadi, sudah seharusnya aku bisa menjaga hati untuknya.

Apalagi, meski tak menjalani full LDR, tapi hampir setiap bulan aku mendapat tugas untuk mengontrol kantor cabang di kota lain. Menjaga kepercayaan pasangan, tentu menjadi satu hal yang utama. Karena sekali berkhianat, akan terus menimbulkan kecurigaan yang nantinya bisa berujung pada kesalahpahaman. Sekalipun tak lagi melakukannya.

"Mandi dulu sana. Udah mau Subuh. Kita salat bareng," ucap Kanaya melepas kedua tangannya di pinggangku.

"Siap, istriku. Tapi abis salat, lanjutin yang semalem, ya?" Aku menaikturunkan alis menggodanya.

"Abaaang …." Ia memukul dadaku dengan pipi merona. Ah, jika melihatnya begini saja aku begitu bahagia. Harusnya tak perlu kulakukan keisengan yang sifatnya hanya kesenangan sementara saja. Karena ternyata, bahagiaku adalah saat melihat senyum yang terbit dari wajah Kanaya, istriku.

Timit
rukminiirawan
amanda2ajaya
bukhorigan
bukhorigan dan 8 lainnya memberi reputasi
9
1.4K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.