Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

the.commandosAvatar border
TS
the.commandos
Islam, Candu, Tuhan Telah Mati: Agama Lawan Pancasila?
Beberapa tahun silam ada seorang peneliti dari Amerika Serikat datang ke kantor Republika. Dia bule dan terkenal sebagai seorang Indonesianis dalam bidang jurnalistik. Dia tengah mengamati soal hubungan media dan umat Islam di Indonesia. Hal yang sama juga telah dia lakukan di Malaysia.

Sudah biasa awak Republika terlibat dalam sibuah diskusi yang intens. Tapi tiba-tiba di bagian tengah-tengah diskusi dia nyerocos tak keruan dengan mengatakan: Tidak ada ekspresi negara Islam di Indonesia! Omongan dia jelas membuat kami terkejut. Namun dia terus yakin bila omongannya benar. Dia bicara terus dan terus.

Di ujung debat ada seorang rekan menanggapi soal argumentasinya itu. Dia bantah bila tidak ada ekspresi negara Islam di Indonesia. Sang rekan bicara: justru semenjak awal soal ekpresi soal negara Islam itu sudah ada. Dan ini jelas terlacak dalam risalah debat  sidang BPUPKI, beberapa bulan sebelum Indonesia merdeka.

''Coba lihat dan baca apa argumentasi Ki Bagus Hadikusumo di rapat sidang BPUPKI. Dia ingin Indonesia merdeka berdiri dengan dasar negara Islam. Dan tak hanya dia, saat itu tokoh Islam lain seperti Hasyim As'ari dan hingga KH Sanusi juga sejalan dengannya. Debat ini berlangsung seru! Jadi tak benar alias sesaat bila dikatakan tidak ada ekpresi pendirian negara Islam ketika Indonesia akan didirikan,'' katanya.

Tak cukup dengan itu dia kemudian mencontohkan adanya 'general agreement' dalam sidang PPKI pada 22 Juni, yakni Piagam Jakarta, hingga perumusan sila pertama dari Pancasila: Ketuhanan Yang Maha Esa. "Ingat yang melobi hingga menjadi rumusan piagam Jakarta, yakni Soekarno sendiri sebagai Ketua Panitia sembilan PPKI yang juga telah berpidato mengenai Pancasila pada 1 Juni 1945. Selain dia Moh Yamin juga bicara soal dasar negara. Bahkan, kata Pancasila terindikasi berasal dari pilihan Moh Yamin. Sebab, dialah yang paham bahasa Sansekerta."

Nah, bila hari-hari ini tiba-tiba Ketua Badan Pengarah Ideologi Pancasila (BPIP) yang baru dilantik dan omongannya bikin heboh media, yakni bila agama adalah lawan dari Pancasila, maka jelas absurd. Beberapa tahun silam, ketika hendak ditetapkan Pancasila sebagai salah satu bagian dari istilah empat pilar pada zaman Ketua MPR Taufik Kiemas, pun sudah ada protes yang 'semeriah' ini. Kala itu mendiang Wakil Ketua MPR, AM Fatwa, sempat khusus datang ke redaksi Republika untuk menyatakan menentang itu, terutama karena Taufik Kiemas menetapkan Pancasila yang dipakai sebagai salah satu pilar itu adalah Pancasia yang lahir dalam pidato Bung Karno pada tanggal 1 Juni 1945 itu.

''Tidak benar itu. Pancasila menjadi dasar negara baru tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan ditetapkan konstitusi negara UUD 1945. Kalau menuruti pemahaman Taufik lalu pertanyaannya kemudian di mana letak rumusan lima sila yang ada pada Piagam Jakarta. Ingat pigam Jakarta juga menjadi dasar kembalinya ke UUD 1945 oleh Bung Karno pada tahun 1959 dulu. Pidato 1 Juni itu hanya pendapat Sukarno. Sedangkan resmi menjadi dasar negara itu baru pada 18 Agustus 1945. Dan rumusan silanya pun sudah beda,'' kata Fatwa saat itu.

Lucunya apa yang dikatakan Fatwa kemudian saat itu sebangun dengan sikap sosiolog Universitas Indonesia, Thamrin Amal Tomagola. Dia mengatakan Taufik Kiemas tidak paham baik arti dan istilah mengenai dasar dan pilar.''Taufik tidak paham,'' katanya. Soal ini kemudian Thamrin Tomagola ulangi pada diskusi di corong RRI di Gedung DPD RI. Dan di waktu terkini ada juga kehebohan dengan adanya sikap melawan arus pengajar filsafat, Rocky Gerung. Dia berkata bahwa Pancasila bukan ideologi negara, melainkan dasar falsafah (Philosofische Gronslag)

                    *****
Bila dirunut ke belakang lagi pernyataan 'agama adalah lawan Pancasila' juga bukan hal baru. Di jaman DN Aidit menjadi penguasa Partai Komunis Indonesia dia juga mengatakan 'justru yang paling Pancasilais adalah PKI, bukan Masyumi (partai politik berbasis pada umat Islam). Omongan Aidit ini diucapkan dalam sebuah acara kampanye terbuka di Malang pada musim kampanye Pemilu 1955. Saat itu Aidit pun diserbu massa mau dipukuli banyak orang di tengah lapangan hinga ditarik turun dari atas mimbar. Aidit pun pucat pasi. Dia selamat dari amukan setelah minta maaf, meski beberapa hari ke berikutnya meralat permintaan maaf itu seraya mengatakan itu merupakan insiden provokasi kader Masyumi kepadanya.

Dan sikap Aidit seperti tersebut, kalau disimak pada tulisan dan pidatonya, memang terasa berusaha keras membenturkan Pancasila dengan agama. Di banyak kesempatan dia terus membuli Masyumi yang disebutnya sebagai 'Sarekat Hijau' atau DII/TII versi baru, dan terlibat dalam pemberontakan PRRI/Permesta.

Ketegangan ini terus berlanjut memasuki masa Orde Baru.  Rezim Soeharto pada awalnya terlihat 'abstain' dalam agama. Kalau Islam pun termasuk dalam kategori Islam minimalis alias bercorak abangan. Usaha ini seperti pernah dicoba diluruskan oleh Bung Hatta melalui pendirian sebuah partai Islam menjelang tahun 1970. Tapi partai ini gagal berdiri karena tak mendapat izin dari rezim. Alasannya kemudian teraba bila rezim Orde Baru juga diam-diam risau dan curiga bahwa masih ada 'gerilya kembali ke aturan Pigam Jakarta' alias kembali ke negara Islam.

Dan usaha mendamaikan antara agama dan Pancasila selama Orde Baru juga dilakukan. Ini misalnya dengan pernyataan dari Menteri Agama pada dekade akhir 1970-an, H Alamsyah Ratu Prawiranegara yang mengatakan Pancasila itu merupakan hadiah terbesar dari umat Islam kepada bangsa Indonesia.

Agama bukan lawan pancasila gak usah dibenturkan

Usaha rezim Orde Baru untuk mendamaikan kecurigaan agama dengan Pancasia kemudian diwujudkan melalui usaha pembentukan 'Asas Tunggal Pancasila'. Pada awalnya juga bikin kehebohan. Organisasi mahasiswa intra universitas seperti HMI terpecah antara yang pro azas tunggal Pancasila dan ada yang menolak dengan tetap berazas Islam dengan argumen agama (Islam) tak bertentangan dengan Pancasila.
Ormas Islam pun sempat gamang. Muhammadiyah dan NU misalnya sempat tarik ulur asas soal asas tunggal ini. Untungnya gejolak NU bisa diredam dengan kipiawaian Gus Dur yang saat itu runtang-runtung mengajak LB Moerdani menemui para kiai di pesantren.

Di Muhammadiyah Pak AR Fachruddin dengan keluwesan diplomasinya pun berhasil menuntaskan soal ini. Dalam sebuah khotbah Jumat di Masjid Kauman, Yogyakarta, dia istilahkan Pancasila itu seperti helm kala hendak naik kendaraan motor yang harus dipakai.''Kalau tidak naik motor kan helm tidak dipakai. Masa lagi duduk sarungan di rumah harus pakai helm,'' kata Pak AR dengan ringan.

Keriuhan dan suara adanya gerilya ingin mendirikan negara agama (Islam) juga kembali bergema menjelang tahun 1990-an saat akan diundangkannya UU pengadilam agama. Kepala keamanan negara saat itu dengan ketus mengatakan bahwa ini menjadi bukti bahwa masih ada gerilya ke Piagam Jakarta. Namun suara ini kemudian meredup setelah Presiden Soeharto mendekat ke umat Islam dengan membentuk ICMI, Bank Syariah, pergi haji, dan lainnya.

Dan bulan madu ini hilang setelah datangnya masa reformasi. Soal hubungan agama dan Pancasila entah kenapa menjadi persoalan baru yang terlihat enggan diselesaikan. Dan makin menjadi setelah terjadi peristiwa robohnya Menara Kembar di New York pada 9 September 2001. Saat itu dunia mulai disibukan isu baru soal jihad dan terorisme yang disematkan kepada Islam. Soal ini pun kian hari kini semakin rumit  karena terkait dengan penguasaan kekuatan global berupa 'kolonialisme baru' setelah tumbangnya kolonialisme lama seiring hancurnya ideologi komunis Uni Sovyet.

Maka mulai saat itu soal baru tersebut kemudian bertiwikrama. Dari sepele menjadi raksasa, dari sekedar kucing menjadi harimau. Ramalan benturan peradaban oleh Samuel P Hutington mulai jadi pembenar. Musuh baru usai tumbangnya 'musuh lama dunia' adalah Islam dan China. Dunia pun ribut dan dunia terus mencari keseimbangan baru.

Imbas lainnya, seperti lazimnya, Indonesia pun menjadi korban. Soal hubungan agama dan Pancasila kembali meruncing bersamaan dengan munculnya ekspansi kekuatan ekonomi Cina yang kini menjadi pesaing Amerika Serikat,  peran yang sebelumnya dilakukan Jepang.

Tapi, bila dirunut lagi, publik sebaiknya tidak usah kuatir. Isu 'lawan melawan ini' ujungnya tak membuat agama (Islam) mati. Memang boleh saja filusuf Jerman, Niestzhe, mengatakan Tuhan telah mati atau Karl Marx mengatakan agama itu candu? Tapi faktanya agama tetap hidup dikala sebuah ideologi mati. Agama seakan punya sejuta nyawa alias tak bisa dimatikan.

Lihat saja apa yang terjadi di Amerika Latin, Rusia, Eropa Timur, Yugoslavia setelah bubar atau rezim berganti. Yang muncul ternyata bukan ideologi baru atau paham lain, malah yang muncul adalah agama yang dulu telah berurat dan berakar di sanubari rakyatnya, misalnya Islam, Kristen, Katolik, atau yang lainnya. Di London gereja bisa saja tutup dan diganti masjid hinga ibu kota Inggirs ini disebut 'Londonistan'. Juga di Belanda hal yang sama juga terjadi.

Tapi, bukannya agama yang mati, tapi agama lain (Islam tumbuh subur menggantikan agama Kristen). Justru ideologi yang kehilangan pengikutnya. Begitu juga di China, Kamboja, dan Mynmar. Agama berusaha dilibas melalui revolusi komunis ala Mao Tse Tung di Cina. Tapi Uighur yang Islam dan agama Katolik sampai kini diam-diam tetap eksis di sana. 
Begitu pula di Tibet, Dalai Lama meski hingga kini tetap tak boleh pulang oleh pemerintah China, tapi agama Budha di negeri 'atap dunia' itu tetap eksis.

Sama halnya juga dengan Kamboja di dekade 60-70-an dulu. Vihara dan orang Budha boleh dibantai secara massal, tapi rezim Khmer Merah Polpot tetap tak bisa menghapus agama Budha. Juga di Mynmar, mungkin ada usaha untuk mereduksi dan mengusir orang Islam dari suku Rohingnya di sana. Tapi terbukti Islam tetap eksis. Agama ternyata kenyal dan liat atas benturan zaman. Bahkan agama Majusi yang sudah sangat lama dan hidup mengarungi berbagai era represi penguasa zaman dan ideologi, sampai kini tetap eksis. Keluarga penyanyi legenda dunia, Freddie Mercury alias Faruq Bulsara, bisa menjadi contoh konkritnya.

Eloknya, dari kasus ini soal agama lawan ideologi negara, harusnya bisa mencontoh apa yang dilakukan Presiden Rusia Vladimir Putin atau para penguasa Turki pada hari-hari ini. Putin berusaha keras membentuk identitas baru Rusia yang berbeda dengan era Uni Soviet: Rusia menjadi ramah agama. Bahkan Putin mengatakan tak ragu akan nasionalisme umat Islam di negaranya.''Bila negara ini (Rusia) diserang merekalah yang akan maju bertempur membela negara ini!" Dan kini di Rusia agama 'Katolik Timur'  dan Yahudi pun bangkit. Ideologi ateis komunis pun ternyata tak mampu menghapuskan Tuhan dan agama dalam benak manusia.

Contoh lain yang paling nyata ya di Iran. Di bawah rezim Sah Reza Pahlevi yang liberal gaya Amerika ternyata tak menggoyahkan keyakinan penduduknya yang merupakan Islam Syiah. Bahkan hanya dipimpin seorang ulama tua yang berada di pengasingan dan menyebarkan ceramah melalu rekaman audio karena tinggal di Prancis, Sah Iran pun yang punya ideologi liberal barat itu pun tumbang. Iran gagal menepikan agama dari benak rakyatnya.

Anehnya, bila dunia barat begitu takut ketika kekuatan agama Islam seperti Iran, di Mesir, atau di Aljazair pad zaman FIS, menjelma menjadi kekuatan politik, mereka tak sadar --bahkan acuh-- saja ketika agama bukan Islam (Kristen) menguasai sebuah negara. Lihat saja pada kasus Jerman yang sampai kini pemenang pemilunya tetap dikuasi Partai Kristen Demokrat. Atau juga Philiphina di mana para kardinal begitu berpengaruh setiap kali ada pemilihan presden. Hal serupa juga terjadi di negara-negara Amerika Latin.

Bahkan di Amerika Serikat pun begitu, tanpa perlu gembar-gembor dan dianggap fundamentalis atau kaum ekstrim, kelompok agama Kristen Protestan --meski tersebar dalam banyak aliran-- di sana tetap menjadi penentu pemilu. Bahkan Goerge Bush dahulu ketika hendak mencari dukungan menjadi presiden dia sempat mencitrakan diri sebagai penganut agama yang taat. Uniknya, beda dengan Indonesia yang berpancasila, Bush tak ramai dituding sebagai kelompok fundamentalis yang ingin menjadikan agama sebagai permainan politik praktis. Ingat Bush senior yang menyerukan seruan jihad ala barat 'Crusaide' alias perang salib untuk menghadapi Usmah bin Laden dan kawan-kawannya.

Alhasil, dengan munculnya banyak sekali paradoks itu, maka berhentilah 'berpanjang angan' bawa agama itu lawan dari Pancasila. Ingatlah dahulu juga pada sikap Tan Malaka yang kemudian memutuskan diri tak mau berkiblat ke komunis Sovyet karena Lenin menolak sarannya agar bekerja sama dengan Islam sebagai cara untuk melawan kolonialisme. Kata Tan Malaka: Islam punya kekuatan untuk melawan itu semua.

Maka janganlah nekad atau omong sembarangan. Ingatlah pada sejarah kalau terus dilawankan dan dibenturkan dengan Pancasila atau ideologi lainnya, agama pasti akan ke luar sebagai pemenang. Maka bijaklah berpikir dan berdamai dengan keadaan!

Akhirnya, kini terbukti ternyata baru mendiang DR Nurcholish Madjid yang bisa menerangkan Pancasila beserta kajian filsafat dan praktisnya dengan begitu baik. Sepeninggal dia ternyata belum ada sosok yang secanggih dengannya. Mungkin nanti itu ada sosok muridnya yang bernama Yudy Latif itu. Tampaknya dialah yang kini paling otoritatif bicara Pancasila. Sayangnya, dia sudah terlanjur mundur dari posisi BPIP.

sumber

Bukan lawan gan
RyanYulio
sebelahblog
4iinch
4iinch dan 4 lainnya memberi reputasi
1
2K
42
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672KThread41.7KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.