BIASA
By. Aisber

Malam semakin larut, jerit jangkrik bersahutan memecah hening. Seorang pria berkacamata dengan rambut yang sebagiannya sudah memutih itu berulang kali menoleh ke arah pintu. Menunggu kepulangan seseorang. 

Sesekali ia kembali fokus pada buku di pangkuannya, tangan dengan kulit yang mulai mengendur disertai guratan halus itu membalik halaman demi halaman buku.

Kedua netranya memang sedang menatap barisan kata-kata dari buku tersebut, tetapi pikirannya tengah berkelana memikirkan satu nama.

Lagi, lelaki itu menoleh ke pintu. Berharap terdengar ketukan atau ucapan seruan dari luar. Namun, nihil. 

Ia mengembuskan napas, mengalihkan pandangan ke jam dinding yang jarumnya sudah menunjuk angka dua belas. Tepat tengah malam. 

Sudah berjam-jam lelaki itu duduk di sofa sambil mengamati halaman demi halaman buku. Mata tuanya terasa lelah, juga punggung dan leher yang terasa kaku dan pegal. 

Ia ingin istirahat, sangat ingin. Akan tetapi seseorang yang sedang ditunggunya tak juga kembali. 

Tak berselang lama, terdengar bunyi ketukan beberapa kali dari arah luar, lelaki itu menoleh dan mengembuskan napas lega. 

Ia berusaha bangkit berdiri, kemudian meraih handle pintu dan menariknya. Tampaklah seorang pemuda berusia dua puluhan tahun tengah berdiri di sana setelah pintu terbuka.

"Lama banget sih, bukanya!" bentak pria yang memakai jaket kulit tersebut.

Sekian detik kemudian ia melangkah masuk tanpa mempedulikan keberadaan lelaki itu.

"Dari mana aja, Rel? Kenapa baru pulang?" tanyanya lembut.

Langkah lebar pemuda itu terhenti, ia pun menoleh. "Emang kenapa sih? Terserah aku lah mau pulang jam berapa."

"Farel, papa cuma tanya, kenapa kamu malah bentak-bentak gitu ngomongnya?"

"Bentak-bentak? Biasa aja keknya, Papa aja yang lebay!" Pria bernama Farel tersebut berbalik dan melanjutkan langkah setelah berkata demikian.

Sakit, tentu saja. Tangan renta itu kemudian mengusap dada. Terasa sesak di dalamnya, karena menerima perlakuan dan ucapan yang terkesan kasar dari sang putra. Meskipun bukan kali ini saja, tapi hampir setiap hari. 

Pria itu mengunci pintu, lalu melangkah menuju kamarnya. Ia membaringkan tubuh di ranjang, dengan pandangan menatap langi-langit. 

Lelaki itu tahu, sangat mengerti mengapa sang anak bersikap demikian. Ia masih ingat, saat Farel masih anak-anak, dan dirinya masih bertubuh tegap dan sehat. 

Umurnya baru tiga puluhan kala itu, tapi sudah menduda karena sang istri telah pergi selamanya dari kehidupan mereka. Kecelakaan beruntun yang menjadi peristiwa pilu di kota Bandung saat itu, hingga menewaskan beberapa orang dan membuat trauma yang mendalam bagi keluarga yang ditinggalkan. Termasuk dirinya yang saat itu sangat terpukul atas kepergian sang istri. 

Seminggu setelah kepergian wanitanya, rumah terasa berbeda. Tentu saja. Farel yang baru berusia enam tahun dan sedang sibuk-sibuknya masuk SD, membuat sang ayah benar-benar pusing bukan kepalang. Belum lagi ia harus bekerja memenuhi kebutuhan mereka. Membuatnya benar-benar lelah hingga stres.

Tak jarang, Farel yang masih kecil dan sangat butuh kasih sayang juga perhatian itu acap kali mendapat bentakan dan pelampiasan amarah dari sang ayah.

Farel adalah anak yang hiperaktif, ia suka bertanya tanpa jeda sebelum mendengar jawaban yang memuaskan. Hal itu sering membuat papanya murka karena merasa terganggu. Jadilah dia dimarahi.

Atau, hal lain yang juga menciptakan ucapan kasar hingga pukulan dari sang ayah adalah, saat Farel tak mau mandi, bahkan tak mau belajar. Ia sulit sekali diatur.

Lambat laun, tumbuh kembang Farel membuatnya berpikir bahwa, perlakuan atau ucapan kasar adalah hal yang biasa. Hal itu tertanam hingga dewasa, akibat dari sesuatu yang dianggap sepele oleh sang papa. 

END.