Saat Gavin masih kecil, ia termasuk seorang anak yang lemah dan sering sakit-sakitan. Sangat mudah untuk menyalahkan junk food, kebiasaan buruk dan banyak faktor lainnya, tetapi dia sudah terlahir seperti itu. Gavin emang sering sakit, tetapi ia tak pernah merasa terganggu, beda dengan orang tuanya.
Parahnya, pada usia 12 tahun, Gavin mendapat penyakit yang mengerikan: tuberkulosis. Itu adalah penyakit mematikan bagi anak seusianya, dan untuk anak seperti Gavin, penyakit itu membuatnya hampir kehilangan nyawanya — hampir. Setelah berbulan-bulan dirawat oleh dokter dan minum obat-obatan yang rasanya pahit, anak itu berhasil keluar dari rasa sakitnya, alias sembuh.
Orang tuanya masih khawatir mengenai hal itu, sehingga mereka memindahkannya ke pedesaan, ke sebuah desa kecil bernama Subang (Bandung Barat) di tempat kakek-neneknya tinggal, untuk memberinya perubahan gaya hidup. Mengurangi polusi, mengurangi makanan tak sehat, mengurangi nonton televisi, tidak ada video game, dan udaranya pun lebih segar dan tentu saja; sayuran. Itu bukan sesuatu yang awalnya Gavin bisa terima dengan mudah, tetapi dia tak bisa melawan keinginan orang tuanya, yang mereka inginkan adalah Gavin yang lebih sehat. Meskipun semua itu merupakan perubahan yang sangat drastis, Gavin tipe anak yang mudah untuk diberi kesenangan.
Saat ayahnya pergi, kakeknya langsung memberikannya kasih sayang yang melimpah. “Jadi, Gavin, gimana kalau kita makan es kacang merah, ya?” Es kacang merah — dessert ciri khas Indonesia yang terbuat dari es serut dengan kacang merah sebagai topping andalannya. Yap, hanya dengan satu pertanyaan itu, Gavin yakin kalau dia bakal betah tinggal di sana. Makanan penutup apa pun dengan mudah dapat memenangkan hati Gavin. Dengan hanya satu gigitan es, ia sudah bisa melupakan panasnya cuaca tanpa AC itu. Tetapi, Subang tidak sepanas ibu kota, cuaca di sana masih sangat sejuk.
Cantiknya bunga-bunga dan es kacang merah? Tempat ini lebih baik dari dugaanku selama ini! riang Gavin, menyeringai.
Namun, modul kemping bahagia itu tak berlangsung lama. Sehari kemudian, ia menyadari bahwa kehidupan di desa tidak sepenuhnya romantis. Selama 3 hari pertama di rumah kakek-neneknya, Gavin harus kreatif dan berusaha untuk menghibur dirinya sendiri. Mereka jarang sekali menyalakan televisi, ada kurang dari 5 saluran yang tertangkap oleh antena di sana dan kakek-neneknya tidak memiliki DVD player, dan juga benda itu hanya tergeletak di salah satu sudut ruangan, sesekali dibersihkan oleh neneknya.
Rumah itu juga cukup kecil, jadi Gavin hanya bisa bermain di sekitar kamarnya sendiri, kamar kakek-neneknya atau di ruang tamu yang kosong. Kamar mandi dan dapur, bukan tempat bermain yang bagus. Hal buruk semacam itu menjadi lebih dan lebih jelas seiring berjalannya waktu, tempat itu sungguh membosankan. Gimana orang-orang di sini bisa menghibur dirinya tanpa adanya teknologi? Bicara dengan tanaman? Gavin tak keberatan untuk mengobrol dengan tanaman, tetapi mereka semua itu bisu.
Satu-satunya hal yang bisa menghibur kakek-neneknya hanya radio. Karena mereka selalu mendengarkan radio hampir setiap hari, Gavin rasa ia harus ikut menikmatinya juga. Di depan teras rumah, Gavin bernyanyi dan bersenandung nyaring untuk lagu-lagu klasik, dan akan tertidur di atas sebuah meja kayu yang ukurannya lumayan panjang sambil mendengarkan balada streaming melalui frekwensi benda itu. Suatu sore, ketika Gavin sedang duduk di pekarangan rumah sambil menyanyikan lagu secara acak, ia mengerang keras dan terdengar sampai ke dalam rumah. Semua nada-nada di dalam lagu itu tidak cocok dengan selera Gavin.
“Gavin gak apa-apa, kan?” neneknya bertanya.
“Gavin bosen, nek.” Anak baik itu jarang mengeluh, tetapi sulit untuk menahan rasa frustrasi dari kebosanannya pada situasi seperti itu.
“Gavin boleh kok main di luar beres makan es kacang? Itu bakal jadi olahraga yang bagus buat kamu juga. Ada beberapa anak yang tinggal di sekitaran sini. Gavin, mungkin, bisa ketemu sama mereka di sana.”
Mengikuti nasihat neneknya, selesai makan es kacang, Gavin berpamitan pada orang-orang di rumah untuk petualangannya yang pertama. Mendengarkan baik-baik setiap suara yang dihasilkan di sekitarnya, Gavin berkeliaran di jalanan kecil di sisi hutan terdekat di ujung jalan sambil bersenandung yang lagunya ia karang sendiri, dadakan. Menuruni tumpukan batu di lereng, perlahan-lahan ia bergerak selangkah demi selangkah, batu demi batu, ia melangkah dengan hati-hati supaya tidak tersandung dan jatuh. Akan menjadi sebuah musibah kalau ia terjatuh di tempat sepi yang terpencil itu, tempat yang terselubung oleh pohon-pohon yang menjulang.
Dengan setiap langkah yang Gavin ambil dan dibarengi oleh suara katak yang terdengar sangat nyaring dan bebunyian jangkrik yang tak kalah nyaringnya, sementara batu-batu besar mendominasi simfoni nyanyian hutan itu. Akhirnya, ia melompat dari tangga berbatu dan mendarat di tanah yang berumput.
Setelah melihat ke atas, Gavin melihat sesuatu yang membuatnya terpesona. Jauh di ujung sana, ada sesuatu yang bersinar dan berkilauan — warna biru dari cahaya yang terpantul di permukaan air.
Air yang berkilauan dan terus berkilauan di bawah matahari musim panas, mirip dengan segelas limun yang menyegarkan. Semua itu memberi Gavin isyarat untuk mendekat lebih jauh lagi, mengundangnya untuk menyelam ke dalam dunia keajaiban yang membiru.
“Wow ... tempat apaan nih? Nenek sama kakek kok gak pernah bilang apa-apa soal tempat ini ...” Gavin terus melangkah, menerobos rumput liar tanpa berkedip atau memalingkan pandangan matanya dari air di sana. Hatinya yang masih muda berdetak dengan kegembiraan dan kekaguman yang meluap-luap, Gavin mengira kalau ia sudah menemukan tempat yang paling indah di bumi. Panas terik dan semua serangga berisik yang menjengkelkan di sana pun pelan-pelan memudar seolah tak ada hal lain di dunia ini yang lebih penting dari kumpulan air di tengah-tengah hutan itu. Gavin sudah jatuh cinta pada pandangan pertamanya. Pada hari itu, Gavin telah memutuskan kalau tempat itu akan menjadi tempat favoritnya.
Ketika ia melayangkan kedua tangannya ke udara, menyatu dengan angin di tempat antah berantah itu, Gavin mulai menyadari kalau ia tak sendirian di tempat itu. Tepat di hadapannya, ada orang lain yang juga datang ke sana.
Ada seorang gadis yang sedang berdiri di atas bebatuan besar di tepi danau. Gadis itu lebih tinggi dari Gavin dan sepertinya beberapa tahun lebih tua darinya. Gadis itu kurus, sosok remaja dengan rambut panjang nan lembutnya yang menari-nari tersibak oleh angin. Gadis itu berdiri sembari melihat ke arah danau yang berkilau dengan mempesona, matanya seolah-olah sedang merindukan sesuatu, jiwa gadis itu seperti sudah meninggalkan tempat itu dan menyapu angin musim panas sampai ke sisi lain danau. Cara gadis itu menatap nanar ke arah danau, terlihat seperti sebuah bingkai lukisan yang menghantam imajinasi Gavin, membuat gadis itu terlihat aneh. Tetapi, menakjubkan pada saat yang bersamaan.
“Hm. Hai,” Gavin menyapa gadis itu sembari menatapnya takjub, helai demi helai rambut hitam panjang nan lembut gadis itu bergoyang diterpa angin musim panas.
Gadis itu berbalik untuk melihat siapa orang yang telah menyapanya. Bahu gadis itu sedikit terangkat, seolah-olah tak mengharapkan ada siapa pun yang datang ke situ. Ketika ia melihat Gavin di belakang pohon kesemek yang batangnya bengkok, gadis itu tak mengatakan apa pun, dan hanya menatap Gavin dengan tatapan aneh, menganggap bocah laki-laki itu seperti fenomena hutan yang tidak biasa.
Gavin melangkah naik ke bebatuan disebelahnya dan melompat ke tempat berdebu di sana, untuk mendekati gadis itu. Ketika sudah cukup dekat, gadis yang lebih tua itu terus menundukkan kepalanya ke bawah. Saat itu, rambut Gavin masih plontos. Keringat membasahi seluruh wajah dan leher Gavin. Bocah laki-laki itu tampak agak konyol, tetapi untuk anak kecil yang senang berpetualang di luar rumah, menurut Gavin, penampilan tidak terlalu penting.
“Siapa kamu?” gadis yang lebih tua bertanya. Gadis itu memiringkan kepalanya ke samping dan dengan rasa penasarannya, ia mengaitkan matanya pada mata Gavin seperti seekor burung gagak yang sedang memeriksa sepotong batu yang berkilauan.
Ketika Gavin merasa sudah punya cukup keberanian untuk membuat kontak mata pada gadis itu, bocah laki-laki itu terkagum pada wajah porselen gadis di depannya, dan di dalam mata gadis itu, ada binar kecokelatan yang ekspresif—bulat dan manis seperti seekor anak kucing, tetapi di sisi lain, binar itu juga seperti misteri dan rasa yang melankolis. Gadis ini sangat cantik, Gavin pikir. Aku belum pernah melihat gadis secantik ini ...
“Aku Gavin Ardian.”
“Ah ... tetangga baru di sebelah rumahku,” gadis itu bergumam pada dirinya sendiri.
Gavin mendengarnya. “Kamu udah tahu soal aku?”
“Ini desa yang cukup kecil. Jalanan di sini bahkan lebih kecil. Rumah bunga, kan?” gadis itu berbicara dengan lembut dan kalimatnya terlalu singkat.
“Kok bisa tahu? Aku baru aja pindah ke sini tiga hari yang lalu,” ujar Gavin.
“Aku tinggal di sebelah. Kakekmu memanggil namamu dengan cukup keras. Aku nggak sengaja sering mendengarnya. Dan aku juga suka denger kamu nyanyi.”
“Oh ya, haha ... Aku suka menyanyi.” Memalukan kalau tahu tetangga bisa mendengarnya. Gavin tak pernah mengira suaranya terdengar senyaring itu. “Mereka bilang aku punya bakat bernyanyi dari ayahku ...” Kemudian, keheningan yang sangat canggung menyelimuti mereka. Bahkan suara-suara burung Cumiik pun tidak bisa membunuh semua kecanggungan itu. Jadi, Gavin bertanya, “Jadi, siapa namamu?”
“Almeera.”
“Cuma Almeera aja?”
“Cuma itu.”
Ah, oke. Sedikit ketus sikap Almeera, untung cantik, batin Gavin. “Senang bertemu denganmu, Kak Almeera,” kata Gavin dengan senyum alami yang paling manis. Gavin sangat senang bertemu teman dari lingkungan yang sama, ia ingin cepat-cepat menjadikan Almeera temannya. Gavin belum mempunyai teman dan Almeera bisa menjadi teman pertamanya di sana. Ditambah, Almeera juga sangat cantik. Itu sebabnya senyum besar terpampang di wajah Gavin.
“Kamu lahir di mana?” tanya Almeera.
“Bandung.”
“Cukup kaku untuk seorang yang lahir di Bandung. Kamu pasti nggak lancar pakai bahasa Sunda, kan?” Alis Almeera terangkat. Untuk seorang yang baru Gavin kenal barusan, Almeera sudah menebaknya dengan tepat. Gavin memang tidak terbiasa memakai bahasa Sunda. Keluarga, teman sekolahnya dulu, bahkan guru-gurunya, jarang sekali memakai bahasa itu.
“Aku lancar kok kalau pakai bahasa Indonesia.”
Gadis yang lebih tua itu hanya tertawa. “Apa yang kamu lakuin di sini? Apa kakek atau nenekmu gak akan nyariin?”
“Kayanya sih nggak.” Gavin dengan santai menggelengkan kepalanya. “Mereka nggak akan nyariin, karena aku udah izin mau main di luar.”
“Dan kamu lagi bermain di sini?”
“Aku suka menjelajah.”
Dilihat dari ekspresi Almeera, ia terdengar kaget oleh sikap Gavin kecil. “Nah, Gavin, mulai sekarang, kamu harus lebih hati-hati. Kalau kamu gak mau tersesat di sini.”
“Gak apa-apa, Kak Almeera, aku udah tahu jalan pulang kok. Aku bisa melacak arah jalan keluar.” Gavin menunjuk ke arah jejak kecil yang tersembunyi di antara pepohonan, lalu kembali ke Almeera. “Apa yang lagi kamu lakuin di sini?”
Almeera mengangkat bahunya. “Nggak melakukan apa pun.”
“Cuma liatin danau dan nggak ngapa-ngapain lagi?” Gavin punya banyak pertanyaan.
“Aku, hmm ... kurasa ... ya,” Almeera berkata seolah-olah malu untuk mengakuinya.
“Di sini sangat indah.” Gavin memandang ke arah danau yang berkilauan, cahaya di matanya menari dengan gerakan lembut riak airnya. Meskipun Bandung memiliki beberapa danau dan itu merupakan pemandangan yang indah juga, tetapi pemandangan alam yang belum terjamah teknologi dari pedesaan itu memiliki pesona yang unik. Langit dan perairan tampak lebih biru, dan rumput lebih hijau.
“Itu pasti.” Senyum simpul terbentuk di wajah Almeera saat ia melihat ke arah anak kecil yang penuh dengan kekaguman di sampingnya itu. Almeera kembali ke tempatnya sambil mendesah dengan berat hati.
“Kak Almeera nggak apa-apa, kan?” Gavin mungkin sudah bisa membaca suasana hati yang cukup melankolis dari sosok gadis remaja itu. Terlihat ada yang janggal di dalam ekspresi Almeera. Pemandangan yang indah seperti ini tak mungkin membuat gadis itu mendesah dengan begitu menyedihkan.
Dalam sekejap, Almeera tersenyum sedikit lebih lebar dan membawa tubuhnya untuk menghadap ke anak yang lebih kecil itu lagi. “Aku nggak apa-apa kok.”
“Apa kamu yakin?” Gavin terus menatapnya. Gadis yang lebih tua itu mulai terlihat sedikit tidak nyaman.
“Kemarilah, aku ingin menunjukkan sesuatu padamu.” Almeera tiba-tiba meraih tangan Gavin dan menariknya melalui rerumputan dan semak yang sedikit rendah di sana.
“Kemana?”
Almeera tidak mengatakan apa-apa. Mereka berdua perlahan-lahan memanjat lereng yang agak curam, sampai akhirnya mereka telah mencapai area yang lebih luas dan lebih tinggi. Saat Gavin berbalik, ia tercengang. Di daerah yang sedikit lebih tinggi itu, bahkan pemandangan air danaunya lebih menakjubkan. Tidak seperti sebelumnya, bunga teratai yang bermekaran terlihat jelas dari tempat mereka berdiri tersebut — sekitar ratusan dari mereka meringkuk seperti angsa dengan kepala seperti bayi angsa – merah muda dan badan hijaunya mengambang di bagian air yang lebih dangkal.
“Cantik, kan?”
“Oh ya, kak, mereka sangat cantik!”
“Kalau kamu lihat ke sana,” Almeera menunjuk ke arah pegunungan di sisi lain danau, “kamu bisa lihat jalan pegunungan dan bukit yang nggak ada habisnya, dan kamu juga bisa lihat pantulan pegunungan yang terbalik di atas air.” Itu benar. Di bawah langit biru yang lebar terlihat siluet biru dan hijau pegunungan yang tinggi dan juga rendah, sejauh mata bisa memandang. Dan tepat di bawahnya ada pemandangan yang serupa terputar 180 derajat seperti cermin di atas perairan, sedikit buram oleh gerakan cahaya air. “Wow...”
“Itu alasan kenapa danau ini disebut Danau Eunteung, karena mirip kaya cermin. Kalau kamu ngerasa danau itu cantik di siang hari kaya gini, kamu salah besar. Danau itu bahkan lebih cantik saat matahari terbenam,” Almeera memberitahu Gavin dengan serius. Eunteung berarti cermin dalam bahasa Sunda.
“Apa kamu sering datang ke sini, Kak?”
“Aku mencoba untuk datang ke sini sesering mungkin.”
“Pasti seneng deh bisa ngeliat pemandangan kaya gini lebih sering,” kata Gavin saat ia menatap serius pemandangan di depannya itu, dan mencoba untuk mengukir semuanya di dalam benaknya. Semua itu terlalu indah untuk diabaikan. “Kayanya aku bakal sering-sering dateng ke sini deh.”
Almeera terkekeh, menunjukkan senyum manisnya, sementara Gavin menyisir rambut tipisnya dengan jari. “Lakuin apa aja yang kamu mau,” kata Almeera begitu lembut, hampir seperti bisikan. Suaranya terdengar dingin dan menenangkan di telinga Gavin — tipe suara yang mungkin akan menenangkan bahkan di depan jiwa yang paling terguncang sekali pun. Suara Almeera begitu menyejukkan dan bisa menyamai kelemahlembutan matanya yang dalam. Gavin merasa sedikit malu tanpa alasan.
“Kadang nih, kalau aku lagi di sini, aku suka ngebayangin apa sih yang ada di belantara hutan sana — apa sama seperti jaman purba,” kata Almeera lembut sambil meringis, lalu turun sedikit dari posisinya yang semula untuk duduk di atas batu. “Sebuah desa yang berbeda, dunia yang berbeda, kehidupan yang berbeda ... Siapa tahu? Semuanya mungkin, dan mungkin aja sesuatu yang besar sedang terjadi di dalam sana. Sebuah dunia yang nggak berujung.”
“Mungkin, Dinosaurus?” Gavin meringis saat ia duduk di sampingnya, berpikir tentang segala ‘kemungkinan’ yang ada.
Almeera meratap. “Aku harap sih bukan itu.”
Gavin tertawa, ia sudah mengetahui bahwa dinosaurus tak mungkin ada di pegunungan tersebut, tak peduli seberapa keren itu terdengar ditelinganya. “Lalu apa yang kamu bayangin, Kak?”
“Apa pun yang nggak menakutkan. Nggak ada dinosaurus.” Untuk sesaat, Almeera terdengar ceria, tetapi ekspreksi tersebut berubah kembali menjadi ekspreksi sedih seperti sebelumnya. “Tapi kamu tahu apa yang mereka sering bilang, kan? Kalau rumput selalu tampak lebih hijau di tempat tetangga ... Mungkin ada dinosaurus atau makhluk menakutkan lainnya di dalam sana, tapi aku nggak pengen mikirin hal buruk kaya gitu. Berpikir positif juga merupakan anugerah ...”
“Mungkin aja.” Jawab Gavin santai.
Lalu Almeera menambahkannya dengan bisikan yang lebih lembut, “ ... meskipun terkadang hal baik itu mungkin nggak ada ...” Jujur saja, Gavin tak tahu bagaimana merespon kalimat tersebut. Gadis remaja itu lalu mengubah topiknya. “Jadi, kalau kamu dari Bandung, kenapa jauh-jauh pindah ke sini?”
Gavin kemudian bercerita tentang kesehatannya yang pernah lemah dan ide ayahnya soal menjalani gaya hidup sehat di pedesaan.
“Huh.” Gadis yang lebih tua itu seperti mengejek penjelasan Gavin, seolah-olah penjelasan itu terdengar sangat aneh untuk dijadikan alasan ayahnya memindahkan Gavin ke desa terpencil seperti itu.
“Kenapa?” Gavin bertanya, tak yakin kenapa Almeera mengejek apa yang baru saja dijelaskannya mengenai kondisi kesehatannya yang lemah.
“Apa?” sekarang Almeera bertindak seperti ia tak pernah mengejek Gavin.
“Kamu tadi ngomong, 'huh’.” Gavin memberikan contoh.
Almeera menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa kok.”
“Oke ...” Jika kakak misterius ini bersikeras bahwa itu bukan apa-apa, maka Gavin harus mengabaikannya. Ia tidak ingin memprovokasi gadis itu.