Tuhan menciptakan manusia sebagai pemimpin/khalifahdi muka bumi. Sungguh suatu peran yang mulia, yang mana mulia itu ada di atas baik. Di atas benar. Tidak cuma sekadar benar, tapi juga tepat. Salah satu bentuk kemuliaan itu adalah memperindah alam semesta. Berangkat dari hal tersebut, maka prinsip kepemimpinan harusnya dipelajari oleh masing-masing orang.
Jadi sebuah kesalahkaprahan ketika ada dari kita yang menganggap diri kita tidak perlu belajar tentang kepemimpinan karena alasan kita bukan pemimpin perusahaan, bukan pemimpin instansi, bukan pemimpin sebuah wilayah. Karena pada hakikatnya setiap orang adalah pemimpin. Tidak harus figur. Kamu semua bisa jadi pemimpin. Pemimpin itu output dari kepemimpinan. Tapi, kalau di negara, kendati subjek utamanya pemimpin, belum tentu output-nya adalah kepemimpinan.
Belajar dari sejarah, kita dapat mengetahui beberapa sikap yang harusnya menjadi dasar bahwa seseorang layak untuk jadi pemimpin :
Spoiler for 1.Sense of Crisis.:
1. Sense of Crisis.
Pertama, yakni mampu merasakan kesulitan dan penderitaan orang lain. Pemimpin menerima kekuasaan sebagai amanah dari rakyat, maka amanah itu dipegangnya dengan erat, karena tugas itu disertai oleh tanggung jawab yang besar. Betapa rancunya sebuah kepemimpinan ketika seorang pemimpin tidak memiliki kepekaan terhadap kondisi masyarakat yang dipimpinnya. Apalagi yang disebut sebagai atasan para pegawai itu cuma “outsourcing”. Tenaga sementara yang bekerja lima tahun. Belum tentu tahu apa-apa mengenai apa yang dia kerjakan. Pegawai permanen ini, yang sudah jadi pegawai negeri berpuluh-puluh tahun, harus taat pada “outsourcing”.
Spoiler for 2.Sense of Achievement.:
2. Sense of Achievement.
Kedua, seorang pemimpin yang mempunyai komitmen untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya dalam hal kebutuhan dunia, sekaligus mengarahkan rakyatnya agar terbina menjadi pribadi yang taat kepada Tuhannya. Tapi, sepertinya hal ini sulit diwujudkan, melihat situasi sekarang sudah banyak orang berani bermain peransebagai Tuhan, yang seolah-olah punya kuasa luar biasa mengkafirkan,mensyirikan, atau mengislamkan, atau menganggap orang lain beriman atas dasar kekuatan dakwahnya itu.
Takut dipimpin oleh orang yang bukan dari golongannya. Katanya tidak mau dipimpin orang kafir. Sekarang mari kita berpikir, apakah kita sudah sangat bagus sehingga tidak pantas dipimpin oleh setan, iblis, dan sejenisnya? Padahal, melihat kondisi Indonesia kekinian, fenomena yang terjadi itu tidak beda dengan kelakuan setan dan Iblis. Banyak pencuri, penguntil, rampok, yang orientasinya hanya materi. Itu adalah orientasi setan. Materialisme itu orientasi setan.
Surga saja diperlakukan dengan konsep materi. Orang ingin masuk surga biasanya karena tidak puas hidup di dunia. Rumahnya kurang gede, mobilnya kurang. Berharap nanti di surga mendapat rumah yang gede. Itu materialisme.
Spoiler for Sense of Love.:
3. Sense of Love.
Prinsip ketiga kepemimpinan yaitu memiliki cinta dan kasih sayang yang tinggi. Ada kutipan populer kurang lebih seperti ini “Sebaik-baik pemimpin bagi kalian adalah mereka yang kalian cintai dan meraka pun mencintai kalian; kamu menghormati mereka dan mereka menghormati kamu. Sejelek-jeleknya pemimpin bagi kalian adalah mereka yang kalian benci dan meraka pun membenci kalian.”
Berangkat dari kutipan tersebut ,wajar rasanya jika pemimpin yang mencintai rakyatnya, maka rakyatnya pun akan memberi dukungan dan cinta balik kepadanya. Kalau diteruskan lagi, kurang lebih artinya mirip dengan pejabat. Semua pejabat harus memimpin, tapi tidak semua pemimpin harus jadi pejabat. Sekarang malah terbalik, karena orang sudah tidak kenal kepemimpinan. Orang tidak mengerti pemimpin. Makanya Cuma mimpi; pemimpi kepemimpinan. Karena orang tidak mengerti kepemimpinan itu apa.
Mengenai kepemimpinan dan pemimpin, keduanya hal yang berbeda. Pemimpin negara harus dipilih secara formal. Undang-undangnya jelas. Pasalnya jelas. Itu dalam konteks negara. Dalam jangkauan yang kecil, misalnya mengorganisir sebuah event, tidak perlu pemimpin. Yang diperlukan adalah kepemimpinan agar eventitu berjalan lancar.
Maka mulai saat ini, mari kita tumbuhkan dalam diri karakter-karakter baik yang selama ini dibutuhkan oleh seorang pemimpin sejati. Jika kita memang pantas untuk menduduki sebuah tugas dan amanah, bukan mustahil kitalah yang pada akhirnya terpilih. Jika pun tidak terpilih untuk menduduki tanggung jawab dengan cakupan yang luas, paling tidak prinsip dan karakter kepemimpinan itu bisa kita aplikasikan dalam lingkup kehidupan yang relatif lebih sempit, bisa bagi diri sendiri maupun keluarga kita, karena seperti yang kita tau, kita semua ini tidak berguna bagi Tuhan.
Jadi, bersyukurlah, tidak ada gunanya tapi masih diciptakan, sehingga kita bisa mencari manfaat di antara kita sebagai sesama yang diciptakan. Kamu kufur, Tuhan tidak rugi. Kamu menyembah-Nya, Tuhan tidak diuntungkan. Dalam hidup memang banyak sekali dialektika yang dilematis, dan itu menyenangkan, meskipun kadang-kadang bikin mumet.
Spoiler for Sumur:
Inspirasi Tulisan : Ceramah Emha Ainun Nadjib, Buku Karya Ahmad Rifa'i Rif'an