Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

jaka.sembvngAvatar border
TS
jaka.sembvng
LGBT, Iman dan Penerimaan Gereja, Nyaris Bunuh Diri Hingga Enggan ke Gereja
ihat foto
Natacya Goncalves Nahak (kiri dan kanan) seorang transpuan dan Rido (kanan), Ketua Koordinator Independen Man of Flobamora (IMOF) NTT 

POSKUPANG.COM - COCO (32) pernah berniat bunuh diri di kamar rumahnya. Pria dengan rambut ikal seleher ini mengalami pergolakan batin antara identitas iman dan identitas seksual yang dimilikinya.


Coco adalah gay yang tidak dapat mengekspresikan dirinya sesuka hati. Alasannya beragam, karena tekanan masyarakat, keberadaan diirinya sebagai gay, status sosial dan profesinya sebagai seorang pendeta.


“Beta (saya) sudah tertekan dengan latar belakang keluarga dan ajaran agama bahwa kita (LGBT) diluar dari ajaran agama, dari situ sempat punya pemikiran mau bunuh diri, untung Tuhan sayang beta,” cerita Coco kepada pos kupang, awal September 2020.


Sejak kecil Coco sudah tertarik kepada laki-laki, tapi tak pernah bisa mengungkapkan karena bingung akan identitasnya apalagi statusnya sebagai anak pendeta.

Setelah dewasa Coco memilih masuk ke sekolah teologi jenjang S1agar bisa belajar teologi secara mendalam sehingga bisa menemukan jawaban akan statusnya dalam Gereja dan Alkitab. Namun keluarga mengira pilihannya itu karena ingin meneruskan profesi ibunya sebagai pendeta.


“Apakah LGBT itu dosa? Bisakah LGBT diterima di gereja? Di Masyarakat? Itu adalah hal-hal yang kerap jadi pertanyaan Coco sedari kecil.


Natacya Goncalves Nahak alias Nata, seorang transpuan di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur saat menerima Sakramen Krisma dari Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang, di salah satu Gereja di Kupang, NTT. Insert Kanan atas : Rido, Ketua Koordinator Independen of Flobamora atau IMOF NTT. Insert Kanan bawah : Natacya (dok Nata dan Rido)


Tahun 2014 silam, Usai ayahnya meninggal dunia, Coco akhirnya coming out kepada ibu, kakak dan adik-adiknya. Saat itu sang ibu tidak secara lugas mengatakan menerima keberadaan Coco sebagai LGBT.


“Tapi mama bilang tak akan membuangku karena aku anaknya,” katanya.

Coco kemdian melanjutkan ke jenjang S2 Teologi, lalu coming out ke teman-teman vicaris dan pendeta sebelum ditahbis menjadi pendeta. Usai pengakuannya di malam perenungan itu, teman vikaris berbondong-bondong menemui Coco dan memberikan dukungan. Kini Coco sudah ditahbis menjadi pendeta dan merasa tak perlu bersembunyi lagi.


“Pertanyaannya tentang apakah dia berdosa karena menyukai laki-laki itupun kini sudah mulai ditemukan jawabannya. Selama hidup, beta tanya pada Tuhan, apakah beta salah? Apakah beta berdosa? Bukankah Tuhan sendiri bilang, kasih cinta itu anugerah. Jadi, buat beta itu anugerah atau kutuk?” gugahnya.


Coco yakin tantangan akan semakin besar dalam menjalankan profesinya sebagai pendeta. “Beta siap hadapi apapun karena ini adalah sepatu yang beta pakai,” sahutnya Coco.


Cerita 
Jhow (28) dan Rido (39) gay lainnya pun nyaris sama. Tekanan keluarga, masyarakat dan penolakan gereja adalah hal yang sangat diakrabin mereka. Jhow dan Rido sangat aktif di kegiatan kepemudaan gereja dan tampil setiap Minggu sebagai song leader di Gereja.


Kondisi itu membuat mereka pernah dipanggil oleh seorang pendeta yang memintanya untuk mengubah perilakunya dan jemaat pun memandang sebelah mata.


Akibatnya, 
Jhow memilih berhenti mengunjungi gereja sejak 2018.


“Sekalipun beta tak ke gereja, hubungan beta dengan Tuhan sangat baik, beta selalu berdoa padaNya. Kini beta tak peduli lagi apa kata orang tentang kehidupan beta. Beta sudah menerima diri beta, tak butuh pengakuan orang lain,” pungkasnya.


Bagi 
Jhow, menjadi Gay bukan keinginannya karena hal itu itu sudah dirasakannya sejak kecil. “Ini adalah given dari Tuhan. Saat Tuhan kasih beta pung hidup seperti apa, beta akan lakukan seperti yang Dia mau,” kata Jhow.


Rido pernah lari dari rumah dan menghadapi ‘persidangan’ dari keluarga besar saat keluarganya tahu keberadaannya sebagai gay. Namun, Ketua Koordinator Independen Man of Flobamora (IMOF) NTT ini tetap bersikeras menjadi dirinya sendiri.


Rido yang pernah menjadi waria mengatakan, LGBT tak perlu memasakan diri coming out (pengakuan kepada orang lain) karena yang penting adalah bagaimana LGBT bisa menerima diri sendiri terlebih dahulu.


Rido, Ketua Koordinator Independen Man of Flobamora (IMOF) Provinsi Nusa Tenggara Timur atau NTT (dok Rido)


“Bagaimana katong (kita) bisa menerima dan berdamai dengan diri sendiri itu yang paling penting. Karena saat kita berdamai dan menerima diri sendiri maka setelahnya proses bagaimana kita bisa siap menghadapi tantangan ke depan. Lu (kamu) pung hidup tidak tergantung dari omongan orang lain,” pesan 
Rido.


Cerita juga datang dari 
Tia (27), seorang lesbian yang pernah hidup bersama seorang pria (tidak menikah) dan memiliki dua orang anak. Sebagai Protestan, Tia selalu beribadah ke gereja tapi tak mengikuti perjamuan karena belum sidi – pengakuan iman.


Tia merasa tak pantas Sidi karena baginya dengan melakukan Sidi artinya ia tak boleh menjadi Lesbian.


“Pengen seperti yang lain, Sidi, tapi beta rasanya belum siap, belum pantas. Tapi beta percaya apapun yang terjadi ini Tuhan pung  jalan,” katanya.


Ketua Komunitas Lesbian, Biseksual dan Transgender fimale to male (LBT) dan Ketua Pelangi Kota Kupang, Charli (31) ini pernah ingin menjadi biarawati tapi tak direstui keluarganya. Akhirnya setelah masuk biara selama 1,5 tahun, cita-cita dan keinginan hilang begitu saja.


Charli mengaku tak percaya diri dengan penampilan fisiknya hingga dia tak mudah menjalani kehidupannya. Charli yang pernah lari dari rumah selama setahun itu pernah coba berpacaran dengan seorang pria tapi tak bisa melanjutkan hubungan itu karena tak nyaman.


“Agar tak minder lagi dan diterima di gereja dan masyarakat, beta sekolah hingga S2,” ungkapnya yang kini sudah terbuka terhadap indentitasnya, baik di lingkungan masyarakat dan pekerjaannya. Charli kini aktif sebagai pengajar bahkan menjadi ketua jurusan di salah satu perguruan tinggi swasta di Kota Kupang.


Natacya Goncalves Nahak alias Nata, seorang transpuan di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur saat menerima Sakramen Krisma dari Uskup Agung Kupang, Mgr Petrus Turang, di salah satu Gereja di Kupang, NTT (dok Nata)


Menurutnya, selain coming in (mengakui identitas diri sendiri), 
LGBT juga mesti meningkatkan kualitas diri agar bisa diterima dalam kehidupan bermasyarakat dab, bergereja.


“Beta mau tunjukan dan buktikan ke semua orang walau beta begini, tapi beta punya prestasi. Jika berprestasi maka tidak ada orang yang omong jelek tentang beta,” katanya yang aktif sebagai ketua orang muda Katholik (OMK).


Natacya Goncalves Nahak alias 
Nata (40), seorang transpuan lebih beruntung karena sejak kecil sudah jujur akan dirinya dan diterima oleh ayahnya. Dulu saat dicemooh masyarakat dia sakit hati, tapi kini Nata merasa terbiasa menerima ejekan itu.


“Beta bercermin bahwa beta punya kehidupan seperti ini, berjenis kelamin laki-laki yang berpakaian seperti perempuan, otomatis akan dihadapkan dengan berbagai macam bahasa di luar sana. Biar saja, itu hak mereka,” sahutnya.


Natacya Goncalves Nahak alias Nata, seorang transpuan di Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (kolase pos kupang)


Mengenakan daster batik coklat yang sepadan dengan warna kuku tangannya, tato rosario di punggung tangan kirinya, tato salib di belakang leher dan tato kawat duri di kedua dadanya, malam itu 
Nata duduk di sebelah ayahnya.


Saat berumur 30-an tahun, 
Nata sangat rindu menerima Sakramen Krisma. Namun ragu apakah dia bisa diterima oleh Gereja karena kondisi fisiknya sebagai trasnpuan yang sudah memiliki payudara.


Tiga tahun bergumul akhirnya 
Nata melaksanakan Sakramen Krisma setelah difasilitasi oleh Oce, transpuan lain. Ia bertemu pastor paroki di gereja pinggiran Kota Kupang.


“Saya tanya, Bapa Romo beta bisa ikut Krisma atau tidak? Keadaan beta seperti ini, beta punya payudara, beta tidak bisa pakai baju laki-laki. Bapa Romo bilang bisa, ia minta waktu untuk berkonsultasi dengan keuskupan terlebih dahulu,” kenangnya.

Dua hari kemudian Romo mengabarinya bahwa Uskup di Keuskupan Agung Kupang, Mgr Petrus Turang, tak mempermasalahkan identitas Nata sebagai transpuan.


“Betapa sangat bersyukur, Tuhan sangat luar biasa untuk beta pung hidup. Beta jalani Krisma dengan identitas saya sebagai transpuan dan Bapak Uskup Petrus Turang yang memberikan saya Krisma,” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Para LGBT CocoJhowRidoTia, Charli dan Nata punya kebersinggungan yang dekat dengan gereja sebagai umat kristiani. Harapan mereka gereja bisa terbuka dan menerima keberadaan LGBT.


“Gereja mesti terima setiap orang yang datang ke rumah Tuhan, jangan pandang dia narapidana, dia 
LGBT atau apapun. Karena gereja adalah rumah Tuhan yang terbuka untuk kedatangan siapapun,” pinta Tia.


Bagi Joy, ada banyak sekali norma, adat, agama, susila dan hukum yang dibuat dengan pandangan masing-masing. Aturan-aturan ini yang kemudian menjadi penentuan antara yang benar dan salah.


“Masih banyak juga pendeta yang merasa paling benar dalam pandangannya.”



sumber: https://kupang.tribunnews.com/2020/09/27/lgbt-iman-dan-penerimaan-gereja-nyaris-bunuh-diri-hingga-enggan-ke-gereja?page=all.


lanjutken, yang penting jangan banyak makan sambel emoticon-Traveller
meooong
orangemonkey
combustor
combustor dan 6 lainnya memberi reputasi
7
2.5K
53
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671KThread40.9KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.