Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengisyaratkan akan menolak perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia. Saat ini, bukan waktu yang tepat bagi pemerintah membicarakan masalah perpanjangan kontrak karya dengan perusahaan itu.
Pembicaraan mengenai perpanjangan kontrak akan digelar pada 2019, setelah perusahaan tambang emas asal Amerika Serikat itu memenuhi lima syarat yang ditetapkan pemerintah.
Adapun kelima syarat tersebut adalah pertama, Freeport dituntut terlibat aktif dalam pembangunan di Tanah Papua. Kedua, Freeport wajib menggunakan lebih banyak konten lokal dalam proses produksi. Ketiga, pemerintah Indonesi mensyaratkan Freeport mendivestasi sahamnya. Keempat, kejelasan tentang besaran royalti yang harus disetor kepada Pemerintah Indonesia.
Kelima, perusahaan tambang itu berkewajiban membangun smelter untuk memproses hasil tambang emas di Indonesia. Sebelumnya, Freeport menawarkan 10,64 persen sahamnya kepada pemerintah pusat.
“Undang-undangnya jelas. Perpanjangan kontrak hanya bisa dilakukan dua tahun sebelum kontrak karya habis, yaitu pada 2019,” kata Presiden Jokowi, usai meninjau empat kontainer tekstil ilegal hasil tangkapan Direktorat Jenderal Bea Cukai, di Lapangan Kantor Bea Cukai, Jakarta, Jumat (16/10).
Presiden Jokowi juga menyatakan tidak akan mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) terkait perpanjangan kontrak Freeport.
“Enggak ada PP-PP-an. Enggak ada,” kata Presiden Jokowi.
Freeport di Indonesia dijajah Amerika Serikat
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang PS Brodjonegoro menilai, mekanisme pelepasan saham (divestasi) PT Freeport Indonesia lewat penawaran saham perdana atau initial public offering (IPO) lebih bagus.
"Saya sih lebih baik masuk market supaya pendalaman pasar kita, khususnya pasar modal, menjadi kuat," kata Bambang, Kamis (15/10/2015) malam.
Menurut Bambang, melantainya Freeport di bursa saham Indonesia dapat mengurangi volatilitas yang selama ini dialami pasar saham.
"Supaya pasar modal kita enggak gampang volatile, harus makin banyak (saham) blue chip," ucap Bambang.
Lebih lanjut, dia mengatakan, saham blue chip yang saat ini didominasi emiten BUMN dan perbankan besar belumlah cukup untuk memperkuat pasar modal.
"Menurut saya, istilahnya wajiblah hukumnya (perusahaan berbasis SDA) IPO di Indonesia," ucap mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) itu.
Bambang menambahkan, wajar apabila perusahaan di sektor ekstraktif listing di bursa Indonesia.
"Masa Freeport listing di AS, padahal emasnya, tembaganya, ada di sini. Kan ada ketidakadilan-lah," ujar Bambang.
Terkait pendapatnya ini, Bambang mengaku sudah menyampaikan kepada Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said.
Apabila disepakati divestasi Freeport lewat IPO, perlu ada perubahan regulasi Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014. "Saya sudah ngomong ke Menteri ESDM. Ya kita masih harus cari cara supaya mereka masuk ke pasar modal," kata dia.
SUMBER