Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

singawallahAvatar border
TS
singawallah
Mengapa Jarak 2 Meter Ternyata Tak Cukup Cegah Penyebaran Covid-19
Mengapa Jarak 2 Meter Ternyata Tak Cukup Cegah Penyebaran Covid-19

KOMPAS.com - Menjaga jarak dengan orang lain setidaknya sejauh dua meter telah menjadi bagian dari protokol kesehatan yang diterapkan untuk membatasi penyebaran Covid-19.
Sayangnya, jarak dua meter ini pada kondisi tertentu mungkin tidak selalu cukup untuk menekan penyebaran virus.
Direktur Fluid Dynamics of Disease Transmission Laboratory di Massachusetts Institute of Technology (MIT), Lydia Bourouiba mengatakan, aturan jaga jarak dua meter sebetulnya merupakan sains yang sudah ketinggalan zaman.
Lydia dan para koleganya menulis sebuah paper yang dipublikasikan beberapa waktu lalu di jurnal medis BMJ.
Melalui jurnal tersebut mereka menjabarkan mengapa jaga jarak dua meter belum cukup untuk menurunkan risiko penyebaran virus.

Asal aturan dua meter
Aturan jaga jarak dua meter, atau sekitar enam kaki, berasal dari tahun 1800an, ketika ilmuwan Jerman Carl Flügge menemukan bahwa patogen hadir dalam tetesan besar yang dikeluarkan dari hidung dan mulut.
Sebagian besar tetesan ini jatuh ke tanah dalam jarak satu hingga dua meter dari orang yang terinfeksi.
Baca juga: Selain Kampanye Pakai Masker, Kini Pemerintah Gencarkan Ajakan Jaga Jarak
Pada tahun 1940-an, kemajuan fotografi memungkinkan para peneliti menangkap gambar tetesan ekspirasi yang tersebar ketika seseorang bersin, batuk, atau berbicara.
Studi lain pada periode itu menemukan bahwa partikel besar dengan cepat jatuh ke tanah di dekat orang yang mengeluarkannya. Studi itu memperkuat aturan dua meter, terlepas dari batasan keakuratan studi awal ini.
Studi-studi tersebut cenderung mengelompokkan tetesan ekspirasi menjadi dua kategori, yakni besar dan kecil.
Para ilmuwan mengira tetesan besar akan jatuh dengan cepat ke tanah dan tetesan kecil akan menguap sebelum mereka terbang jauh, kecuali jika didorong oleh aliran udara lain.

Namun, Jesse Capecelatro, PhD, asisten profesor teknik mesin di Universitas Michigan di Ann Arbor, yang tidak terlibat dalam penelitian baru tersebut mengatakan bahwa dalam 90 tahun terakhir, kita sudah belajar banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi ketika kita bicara, batuk atau bersin.

Menurutnya, banyak faktor yang dapat memengaruhi seberapa jauh tetesan dapat menyebar.
Jika kelembapan udara rendah, tetesan besar bisa menyusut dan bertahan lebih lama di udara. Angin di luar atau ventilasi di dalam juga bisa membawa tetesan tersebut semakin jauh.
"Gagasannya ada garis keliling setinggi dua meter dan jika kita berada satu inci saja melebihi garis itu maka kita tidak aman. Gagasan itu sungguh tidak masuk akal," katanya, seperti dilansir Healthline.

Dalam sebuah tinjauan sistematis terbaru, 8 dari 10 penelitian menemukan bahwa tetesan ekspirasi dapat melakukan perjalanan lebih dari dua meter dari orang yang terinfeksi, bahkan dalam beberapa kasus hingga delapan kaki.
Dalam sebuah penelitian, para peneliti menemukan jarak penularan virus bisa mencapai hampir empat meter.
Ada pula kasus latihan paduan suara di negara bagian Washington Mare lalu, di mana satu orang dengan gejala Covid-19 menularkan virus ke setidaknya 32 penyanyi lainnya.
Kekuatan mengembuskan napas ketika bernyanyi dianggap membantu penyebaran virus tersebut. Meski begitu, faktor lain seperti berbagi makanan atau benda lainnya juga bisa berkontribusi.

Salah satu pesan kunci dari jaga jarak adalah jika berada di luar ruangan, risiko kita terinfeksi virus cenderung lebih rendah. Sebab, virus akan lebih cepat menghilang, yang artinya tingkat paparan lebih rendah.
"Jika kita berada di dalam ruangan dan seseorang batuk, bersin atau bicara, tetesan tersebut akan berada di sana untuk beberapa waktu."
"Tidak peduli di mana pun lokasi kita, kita akan bernapas dengan udara yang mengandung tetesan tersebut, terutama jika ventilasinya buruk," ungkap Capecelatro.
Sebuah makalah pracetak yang dibuat oleh peneliti asal Jepang menemukan bahwa risiko penularan di dalam ruangan mencapai 18,7 kali lipatnya. Namun, hasilnya masih perlu dikaji kembali.

Bicara soal udara dalam ruangan, pola aliran udara sangat memengaruhi tingkat penyebaran dan terkadang malah dapat memperburuk keadaan.
Menurut Capecelatro, ketika terjadi turbulensi misalnya, partikel virus akan mengelompok dan akan meningkatkan jumlah partikel yang mungkin kita hirup.
Selain beberapa penelitian yang secara khusus menganalisa penyebaran virus di beberapa lokasi di sejumlah negara, pandemi juga dilaporkan banyak terjadi di dalam ruangan, termasuk pusat kebugaran, rumah ibadah, tempat jasa pelayanan, dan lainnya.
Namun, banyak penelitian yang hanya mengamati laju aliran udara rata-rata, bukan fluktuasi pergerakan udara di dalam ruang.

Dalam lift
Sebuah penelitian pracetak lain dari para peneliti di University of Minnesota College of Science and Engineering melihat lebih detail bagaimana virus corona menyebar di dalam ruangan ketika dihembuskan oleh orang.
Mereka menganalisa tiga pengaturan khusus, yakni lift, ruang kelas kecil, dan supermarket.
Penelitian tersebut menemukan bahwa ventilasi yang baik dapat menghilangkan beberapa partikel virus dari udara, tetapi banyak yang akan berakhir di permukaan di dalam ruangan.
Penulis studi sekaligus seorang profesor teknik mesin di University of Minnesota, Jiarong Hong, PhD, mengatakan jika permukaan tersebut tidak sering dibersihkan, partikel tersebut dapat menempel di seseorang ketika mereka menyentuh permukaan.

Partikel juga bisa tersuspensi kembali di udara dan dihirup.
Dalam beberapa kasus, ventilasi yang buruk dapat menyebabkan “titik panas” alias hot spot, atau lokasi tempat partikel virus berkumpul.

Penelitian Hong menunjukkan cara memperbaiki beberapa masalah ini. Beberapa di antaranya adalah melihat seberapa ramai tempat tersebut, apakah orang-orang yang ada di sana disiplin mengenakan masker dan bagaimana aliran udaranya.
Untuk menekan tingkat penyebaran, salah satu hal yang bisa dilakukan adalah mempersingkat keberadaan kita di ruangan tersebut.

Model jaga jarak baru
Para penulis di penelitian BMJ menuliskan saran-saran jaga jarak baru yang dianggap bisa mengurangi risiko-risiko yang mereka temukan.
Risiko paparan sebetulnya bervariasi pada setiap tempat. Misalnya, di pesta kebun, di mana orang-orang cenderung bisa saling berjauhan satu sama lain dan semua memakai masker, maka risikonya cenderung rendah.

Orang-orang bisa saja berada di sana selama satu jam atau lebih dan masih berisiko rendah. Bahkan, mereka bisa berteriak atau bernyanyi. Namun, jika mereka melepas masker, risikonya cenderung lebih tinggi.
"Jika kita memakai masker, aturan jaga jarak dua meter masih sangat efektif. Namun jika tidak, maka kita bisa saja terinfeksi virus dalam jarak dua meter," kata Capecelatro.
Tempat-tempat keramaian atau ruangan tertutup dengan ventilasi buruk juga merupakan contoh ruang dengan kemungkinan risiko lebih tinggi.
Hal terpenting yang perlu diingat adalah, risiko penyebaran sangat bervariasi di setiap pengaturan tempat.
"Aturan umumnya adalah menjaga jarak dari seseorang untuk mengurangi kemungkinan kita menghirup tetesan yang mereka keluarkan," kata Capecelatro.
"Meskipun aturan dua meter sudah kita berlakukan sejak lama, namun setidaknya saat ini kita tahu bahwa di tempat-tempat tertentu kita mungkin harus menjaga jarak lebih dari itu."


Penulis: Nabilla TashandraEditor: Lusia Kus Anna

https://lifestyle.kompas.com/read/20...id-19?page=all
nomorelies
anon009
Adieet
Adieet dan 3 lainnya memberi reputasi
2
591
9
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.3KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.