serbaserbi.comAvatar border
TS
serbaserbi.com
Aku Anak yang Tak Diharapkan


Facebook Diary
By: Diana Dee

===

[Bulan ini pada banyak yang nikah, ya? Aku nganan. Bosen jadi tamu undangan mulu soalnya. Eh? šŸ˜‚šŸ˜‚šŸ˜‚]

Send.

Status Facebook pertamaku hari ini. Rada gaje memang. Namun, gapapa sih. Itu sengaja! Biar ada hiburan. Baru aja diposting, status barusan udah dibanjiri reaction ngakak dan komentar yang gak kalah gokil. Masa iya di kolom komen ada yang nyuruh aku nikah juga? Yakali kan yak? Orang jomlo gini, kok. Hiks.

Sejurus kemudian, aku sibuk menekur ke layar HP dengan jari lincah menari di keypad. Kubalas komentar kocak para teman-teman Facebook di statusku barusan, satu per satu.

[Iri ilang boss]
"Masa iya bos iri sama bawahan? šŸ˜"

[Skuy KUA, Dek. šŸ˜‚]
"Skuy, Bang. šŸ˜"

[Susulin, Dik]
"Susulin ke mana dah? šŸ˜"

[Nikah sama abang mao? šŸ–¤šŸ˜‚šŸ˜‚]
"Istri abang mau dikemanain? šŸ˜‘šŸ˜‚"

... dan banyak lagi komentar lain, yang asli, bikin ngakak.

Menit-menit berlalu begitu saja. Lancar, tenang, seakan tanpa beban. Senyum simpul selalu mekar di bibirku tiap kali membalas komentar-komentar itu. Bahkan tak jarang cekikan sendiri, saking gokilnya. Hingga akhirnya, aku sampai di komentar terakhir. Sudah kubalas. Kutunggu beberapa menit, tak ada lagi komentar yang datang. Akhirnya, ku-nonaktifkan HP lantas melemparnya pelan ke kasur.

Lanjut rebahan.

Menit-menit berlalu, aku mendecis pelan. Mata ini tak kunjung terpejam. Mungkin tubuhku sudah bosan dengan kamar yang sumpek, remang, dan berantakan ini. Jujur saja, sudah tiga hari tirai di jendela kamar tak disingkapkan. Bahkan jendelanya sama sekali tak dibuka. Barang-barang juga berserakan di mana-mana. Kain di lantai, puluhan kosmetik bertaburan, dan cermin besar yang sudah retak tak beraturan.

Perlahan, kuangkat jemari kanan ke awang-awang. Kupandangi lamat-lamat dengan perasaan entah. Tes! Setetes darah tiba-tiba jatuh, tepat di pipi. Aku meringis. Darahnya belum kering ternyata. Kugerakkan jariku perlahan. Ngilu.

Lagi, tanpa kuundang, tangisku datang.

****

"Uang! Uang! Uang! Itu terus yang kau minta! Kau pikir aku orang kaya?" bentak Mama. Matanya tajam melihatku. Penuh emosi. Segera aku menunduk, takut menatap mata Mama.

"De hanya ngasih tahu, Ma. Kalau Mama gak ada uang, gapapa. Jangan marah." Takut-takut, kalimat itu kulontarku sambil terus menunduk. Kupikir, Mama takkan marah lagi. Namun, dugaanku meleset. Mama menjambak rambutku lantas menghantamkan kepalaku ke dinding. Itu terjadi begitu cepat dan tak dapat kutangkas.

"Kau itu selalu buat susah!" berang Mama sambil terus membenturkan kepalaku berkali-kali.

Aku menggigit bibir, berusaha tak meraung keras. Takutnya, nanti tetangga dengar dan mereka datang ke sini. Namun, air mataku terus tumpah kian deras. Ludah pun sudah terasa asin. Mungkin darah, sebab aku menggigit bibir terlalu kuat.

"Makanya kau kerja, jadi kau tau gimana susahnya nyari uang! Biar bisanya gak minta terus!" Sekali lagi, Mama membenturkan kepalaku ke dinding. Sangat keras. Sampai-sampai aku tersungkur dan menggelosor di lantai. Tak kuat lagi, akhirnya pertahananku luruh. Aku menangis cukup keras. Kepalaku sakit sekali rasanya.

Mama menggeram. Sejurus kemudian beliau pergi, masuk ke kamarnya, dan membanting pintu. Aku masih terisak di lantai. Entah, tubuhku gontai tiba-tiba, sehingga untuk bangkit dan melangkah ke kamar pun aku tak mampu. Sejurus kemudian, kurasa ada yang mengalir dari dahiku. Kuraba. Ternyata darah.

Lagi, tangisku tumpah.

****

Tiga hari aku mengurung diri di kamar. Tanpa makan, tanpa minum, tanpa melakukan aktivitas apapun. Benturan Mama kemarin benar-benar membuat seluruh badanku sakit. Namun, yang paling parah hatiku. Ia jauh lebih sakit. Apalagi ketika menyadari Mama tak bertindak apa-apa atas perlakuannya kemarin. Ia mengabaikanku. Bahkan Papa dan adik-adik pun sama. Semuanya tidak ada yang perduli.

"Kalian udah makan?" samar-samar kudengar suara Papa dari luar.

"Belum, Pa." Itu suara Asha dan Idham, adik-adikku.

"Kalau gitu, ayo makan. Mama udah masak." Terdengar langkah kaki menjauhi ruang tamu yang tepat di depan kamarku. Tadinya, aku sempat berpikir kalau Papa akan mengetuk pintu kamar dan mengajakku makan juga. Namun, setelah beberapa menit kutunggu, hanya hening yang berkuasa.

Mereka semua benar-benar tidak peduli padaku! Tapi kenapa? Aku 'kan anggota keluarga ini juga. Aku juga anak Mama dan Papa. Namun, kenapa perlakuan mereka beda? Bukan cuma kali ini, tapi semenjak aku kecil dulu.

Mama dan Papa begitu ringan tangan padaku, sedangkan pada Asha dan Idham, tak pernah sekali pun kulihat.

"Emang aku salah apa?" Aku terisak.

Kembali kuingat tragedi tiga hari lalu. Mama begitu marah ketika aku mengingatkan tentang hari pembayaran uang kuliah yang sudah mendekati deadline. Aku juga nggak habis pikir, kenapa Mama bisa semarah itu.

Apa ... ia sudah tak ingin membiayai kuliahku lagi?

"Makanya kau kerja, biar kau tau gimana rasanya nyari uang biar taunya ga minta aja!"

Kalimat itu masih terus terngiang di telingaku. Ini bukan sekali Mama dan Papa ucapkan. Sudah sering. Mereka menghujatku sebagai anak pemalas yang tak bisa menghasilkan apa-apa. Padahal, bukan kehendakku menjadi seperti sekarang ini. Menjadi gadis dewasa yang pengangguran. Bukankah Mama dan Papalah yang memintaku seperti ini?

Sejak tamat sekolah menengah atas sudah kubilang; kalau aku ingin bekerja dan kuliah bila aku sudah punya tabungan sendiri. Namun, Mama dan Papa menolak keras! Alasannya, kalau sudah pintar bekerja aku tak mau lagi kuliah.

Akan tetapi, sekarang Mama dan Papa memarahiku atas keputusan yang mereka ambil sendiri. Seakan-akan ini semua hanya salahku seorang.

****

Aku menggeliat pelan, ketika sinar matahari menyilaukan pandangan. Aku menyipitkan mata dan tampaklah Mama yang tengah menyingkap tirai jendela.

"Enak, ya tiga hari tidur terus?!" Kalimat Mama pertama kali padaku sejak tiga hari lalu. Aku segera duduk dan menggulung rambut yang kusut ke atas.

"Kau mau mati? Tiga hari gak makan dan minum, hah? Mau bikin orang ngira aku gak ngasih kau makan? Mau bikin malu keluarga, hah?" Mama mendekat ke ranjangku, lantas mencubit keras pipiku.

"Sakit, Ma," desisku, meraba bekas cubitan Mama yang memanas.

"Tau sakit, masih juga jadi anak bandel!" Aku menunduk. Lagi-lagi takut menatap mata Mama.

"Lihat itu!" Aku mengikuti telunjuk Mama yang menunjuk cermin. "Kau apakan? Kok bisa retak begitu?"

Aku diam. Sementara tangan kanan segera kututupi dengan selimut. Takut kalau Mama melihat luka di sana.

"Entah apa yang ada di otakmu, Dea! Belum kerja aja kau udah pandai merusak barang di rumah ini! Kerja kau sana biar tau susahnya orang tua nyari duit!"

"Ma, kan dari dulu Dea pingin kerja. Cuma Mama dan papa terus larang Dea." Aku tersentak sendiri, gak menyangka kalimat itu keluar dari mulutku. Ah! Mama pasti tambah marah dan menghakimiku sebagai anak pelawan.

"Udah besar kau sekarang, ya! Udah bisa melawan mama!" Tuh, kan? Benar dugaanku.

"Nikah aja kau sana! Biar orang yang ngurusin kau!"

"Mah!" pekikku, tak percaya Mama melontarkan kalimat itu.

"Apa?! Aku udah capek ngurusin anak macam kau! Gara-gara kau, aku mesti hutang sana-sini! Itu buat sekolah kau aja! Kau pikir Asha dan Idham gak butuh biaya juga?"

Entahlah! Aku bingung harus merespon apa. Mama betul-betul memojokkanku.

"Biar kucari orang yang mau nikah dengan kau!" Mama pun beranjak dari kamarku. Aku menangis lagi. Entah, aku merasa kusut sekali saat ini. Pikiran kalut, hati sakit, dan tubuh yang lengket karena tiga hari tak menyentuh air.

Semalam, aku berharap kalau pagi ini akan menjadi lebih baik. Berharap amarah Mama sudah reda. Namun, aku salah. Pagi ini tak lebih baik. Malah lebih parah. Aku tak habis pikir kenapa aku bisa begini. Aku juga bingung salahku apa sehingga Mama dan Papa bisa sebenci ini.

Entah bagaimana, niat ini kembali muncul di benakku. Niat yang sudah kuurungkan bertahun-tahun lamanya. Cepat, aku turun dari ranjang. Menggelosor di lantai, meraih sebuah kotak yang sudah lama kusimpan di bawah ranjang. Aku tersenyum miring, ketika melihat benda itu masih ada di tempatnya, walau sudah berdebu. Sebuah tali tambang.

****

Menjadi kalian mungkin enak. Punya orang tua yang pengertian dan teman-teman yang sayang pada kalian. Berbeda denganku yang selalu kesepian, yang hidup di bawah tekanan dan bayang-bayang ketidakadilan. Sehingga aku tak punya wadah untuk bercurah cerita.

Dulu, aku punya kekasih sekaligus sahabat sebagai tempat bersandar dan bercerita. Namun, lagi-lagi Mama dan Papa memaksaku untuk mengikuti mau mereka. Ya, mereka memintaku, tepatnya memaksaku untuk meninggalkan laki-laki itu agar aku fokus kuliah. Ya, daripada terus kena pukul, akhirnya kuputuskan untuk mengikuti keinginan Mama dan Papa. Walaupun sampai detik ini, aku menyesali keputusan itu.

Setelah itu, aku tak pernah lagi punya tempat untuk bercerita. Adapun Asha, adikku yang kini kelas tiga SMA, ia sama saja dengan Mama dan Papa. Memandangku sebelah mata. Padahal, ia jauh lebih nakal daripada aku. Masih kecil saja sudah pacaran, sering keluyuran, suka ngomong kasar, tapi Mama dan Papa tidak pernah marah.

... dan di situ aku iri sekaligus kesal dengan orang tuaku. Namun, aku tak bisa berbuat banyak.

Satu-satunya tempat bercerita adalah media sosial. Khususnya aplikasi Facebook. Sering kutumpahkan beban hati di sana. Namun, tak banyak yang menanggapi. Mungkin karena aku punya hobi memposting status kocak, sehingga orang-orang menganggap keluhanku sebagai sebuah lelucon atau drama.

Pukul 09:00, sudah lumayan pagi. Kembali kebuka aplikasi Facebook lewat smartphone yang layarnya penuh retakan. Pagi ini aku akan memposting status pertama dan mungkin untuk terakhir kalinya. Tali tambang yang tadi, sudah kugantungkan di langit-langit kamar, plus sudah kufoto. Kali ini, aku akan memposting foto itu di Facebook.

[Mungkin kelahiranku tak pernah diharapkan oleh Mama dan Papa, sehingga bagaimana pun aku berusaha, mereka tetap tak bisa mencintaku. Aku selalu juara kelas agar mereka senang, tapi tetap saja mereka benci. Aku selalu mengikuti kehendak mereka agar mereka senang, tapi tetap saja mereka marah dan terus menyalahkan aku.

Apakah kelahiranku adalah kesalahan? Sebab, tak seorang pun yang menginginkan aku. 300 kontak di WhatsApp-ku, tapi tak seorang pun yang mau mendengar ceritaku. Malah, setiap kali aku bercerita, selalu berakhir dengan aku diblokir. Ribuan teman Facebook-ku, tapi selalu menganggap keluhanku drama dan lelucon. Orang tuaku tak menginginkan aku. Bahkan Tuhan pun juga tidak. Entah seberapa sering aku memohon dan menangis dalam doa, tapi Dia masih enggan menolongku.

Dear semuanya. Jika kelahiranku adalah kesalahan, maka kuharap kematianku adalah kebenaran.

Semoga bahagia, ya, kalian.]


Send.

Aku memejamkan mata, bingung dengan perasaan dan pikiranku sendiri. Setitik ragu tiba-tiba menggelayuti hati. Benarkah keputusanku ini? Bukankah aku punya mimpi yang hendak dicapai? Kalau aku mati, bagaimana dengan mimpiku?

Namun, sebuah slide film membayang di benakku. Tentang Mama dan Papa yang selalu marah, Asha dan Idham yang tak peduli, teman-teman yang selalu membully, dan momen-momen sial lainnya.

"Kau itu selalu menyusahkanku!"
"Drama terooss!"
"Kau gak bisa ngehasilin apa-apa!"
"Anak sial!"
"Mati aja kau sana!"
"Mati! Mati! Mati! Mati!"

Aaargh!

Mati?!

Kuseka air mata dengan kasar. Selanjutnya ku-nonaktifkan HP, mengabaikan notifikasi massenger yang berebut masuk setelah postinganku berhasil terkirim.

Baso, 7 Agustus 2020.


šŸšŸšŸ

Hai! Diana Dee adalah nama pena saya di sosial media. Jadi, cerpen ini adalah asli karya saya, bukan saduran apalagi plagiat. Oiya, jangan lupa kritik, saran, komentar, dan cendolnya, ya. Terima kasih.
wisudajuni
feyglosshe
motherparker699
motherparker699 dan 25 lainnya memberi reputasi
26
4K
79
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
icon
31.5KThreadā€¢41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
Ā© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.