Kaum yang Lapang di Akhirat



Pic : Google

Matahari belum terik, tapi panas yang cukup menyengat ditambah keranjang belanja yang berat membuatku berjalan terseok seok. Aku memang sengaja berbelanja lebih banyak hari ini. Maklumlah sekarang ini agak takut juga kalau sering ke pasar. Lebih suka belanja lebih banyak agar tidak sering meninggalkan rumah.

Alhamdulillah, gerbang perumahan sudah tampak di depan mata. Aku mempercepat langkah agar bisa segera sampai di rumah.

Belum sepuluh langkah memasuki gerbang, tampak sesosok perempuan duduk di antara tanaman yang ada di taman kompleks. Aku berjalan mendekatinya. Siapa dia? Aku tidak pernah melihatnya. Baju dan kerudungnya terbilang bagus dan rapi. Matanya yang terpejam membuatku takut untuk mendekat, tahu sendirilah saat ini banyak sekali OTG (Orang Tanpa Gejala) Corona berkeliaran.

Namun, nuraniku tidak tega kalau harus membiarkan beliau terduduk seperti itu. Usianya kurang lebih sama dengan ibuku yang sedang sakit. Akhirnya kuputuskan menyapanya dari jarak aman.

"Mbah, wonten nopo lenggah mriki? " tanyaku.

"Ga opo, Ning. Simbah istirahat wae soale kesel. Gak oleh yo, Ning, lungguh kene?" tanyanya.

"Angsal kok, Mbah. Nopo Mbah poso? Bade teng pundi? Griyanipun pundi?" beruntun aku bertanya padanya.

"Poso, Ning. Sahurku karo teh ae mau. Makane saiki rodok lemes tak gawe golek sampah," jawabnya.

Sedikit tak percaya mendengar jawabannya. Penampilannya terlalu rapi dan bagus untuk menjadi pemulung sampah. Namun melihat wajahnya yang kuyu, aku tahu dia tidak berbohong. Kubuka dompet untuk mencari uang, sayang uangku ternyata sisa lima ribu rupiah saja.

"Mbah, purun teng griyo kulo? Niku ketingal saking mriki. Kaleh griyo maleh. Kathah kaleng plastik," tawarku padanya.

Melihat dia mengangguk, segera aku melangkah kembali. Sesampainya di rumah, kukeluarkan tumpukan kaleng herbalife shake yang awalnya mau kupakai menanam sayuran. Simbah lebih butuh daripada aku. Di dapur hanya ada nasi tanpa lauk, kuputuskan membungkus beberapa roti yang sedianya untuk berbuka puasa nanti. Buat kami, masih ada tahu bakso yang bisa digoreng buat lauk dan takjil.

Kuserahkan semua barang tersebut ditambah sedikit uang sambil berkata," Sampun tersinggung nggih, Mbah. Niki damel buko."

Terlihat matanya berkaca kaca," Ya Alloh, Ning. Matursuwun engast, Nggih. Mugi-mugi Ning sak keluarga diparingi sehat lan kathah rejekine."

Aku mengamini doa simbah tersebut dan menatap kepergiannya dengan perasaan sedih.

Siapapun bisa terdampak oleh wabah ini, termasuk juga keluargaku. Namun, aku percaya dengan berbagi pada sesama, Alloh akan menjaga kami.

Tiba-tiba teringat petikan nasehat Ustadz Salim A.Fillah 'kita kaum yang sempit di dunia, lapang di akhirat'



Keterangan :

Mbah, wonten nopo lenggah mriki= Mbah ada apa duduk di sini

Ning = Panggilan untuk anak perempuan

Ga opo, Ning. Simbah istirahat wae soale kesel. Gak oleh yo, Ning, lungguh kene = Tak ada, Nak. Mba hanya capek. Tak boleh ya duduk di sini

Angsal kok, Mbah. Nopo Mbah poso? Bade teng pundi? Griyanipun pundi = Boleh, Mbah. Apa sedang berpuasa? Mau kemana? Rumahnya mana?

Poso, Ning. Sahurku karo teh ae mau. Makane saiki rodok lemes tak gawe golek sampah = Puasa, Nak. Sahur sama teh saja. Sekarang jadi lemas karena cari sampah

Mbah, purun teng griyo kulo? Niku ketingal saking mriki. Kaleh griyo maleh. Kathah kaleng plastik = Mbah, mau ke rumah saya? Itu kelihatan. Dua rumah lagi. Banyak kaleng plastik

Sampun tersinggung nggih, Mbah. Niki damel buko = Jangan tersinggung ya, Mbah. Ini buat buka puasa

Ya Alloh, Ning. Matursuwun engast, Nggih. Mugi-mugi Ning sak keluarga diparingi sehat lan kathah rejekine = Ya Alloh, Nak. Terima kasih banyak. Semoga keluarga diberi kesehatan dan banyak rezeki