hikayat0120Avatar border
TS
hikayat0120
CINTA SANG KAPITALIS




______

CINTA SANG KAPITALIS

Aku membawa bara yang masih meradang dan menyala-nyala di tubuhku. Membakar dingin jalan yang selalu berliku tanpamu. Bahkan masih saja, dalam otakku yang kosong ini selalu penuh dengan mimpi.

'Tak lagi kurasakan sakitnya. Sejak kau pergi dan aku dipaksa sibuk mengurusi sisa luka yang kau torehkan, selepas penghianatanmu padaku setahun lalu.

September tanggal 23. Pagi ini rasa malas menyelimuti seluruh tubuhku. Bantal, guling, kasur dan selimut, seolah enggan mengikhlaskan aku bangun untuk menyapa mentari.

Dengan berat kubuka daun jendela. Udara sejuk mengalir masuk, penuhi setiap celah kamar. Aku menyapu lukisan alam di luar sana.

AAA!!! Brengsek ... kenapa sepagi ini aku masih terus rindu dia! Wake up Andara!! Wake up! Rasanya masih kurang keras aku menghajar sifat cengeng ini.

Video call menyala dari layar ponsel, yang kuletakkan tidak sopan di pojok kamar. Tampak oleh mataku wajah Wiliam di sana.

Si konyol itu ngapain coba vcall pagi-pagi. Apa dia tidak tahu kalau aku belum mandi, belum dandan, belum wangi, belum siap dilihat jelek oleh netizen iseng macam dia.

"Yaa ... Apaaa!?"

"Busyet, galak amat!"

Aku manyun. Bisaku hanya berlagak kesal, tapi untuk bersikap kasar lebih dari itu pasti tak akan mampu, manusia salju macam aku mana bisa menyakiti orang lain.

"Nanti malam jadwal manggung nih di Cafe si Olin. Aku jemput ba'da dzuhur," ujar Wiliam sembari mengerutkan alis tebalnya.

"Kapan aku bisa istirahat?" tanyaku kemudian.

"Job selesai pukul sembilan malam. Tenang aja aku tungguin."

"Aku capek, Wil."

"Capek mana, kamu bengong di rumah sambil mikirin Roman, atau pergi ketemu netizen tapi dibayar?"

"Dasar otak kapitalis!! Matrealistis!!"

"Hehehe ... biarin dari pada pesimis."

"Narsis!"

"Bodo, kamu sendiri sadis."

"Sadis apa aku?"

"Sadis menolak cintaku! Coba lihat, berapa tahun aku nemenin dan perjuangin kamu sampe jadi bujang lapuk gini? Kamu malah milih si Roman yang otak udang."

Tersentak aku dengan pernyataan Wiliam. Cinta? Wiliam cinta padaku? Aku sungguh tak percaya. Ini pasti jebakan batman. Bahasanya cinta, padahal kita cuma saling memanfaatkan. Aku aktrisnya sedang dia jadi manager karena pergaulannya yang sangat luas, hingga bisa dijadikan ladang mencari uang.

"Aku siap di jam satu, Wil."

"Baiklah. Akan kujemput secepatnya. Mau kubawakan apa?"

"Apa aja selain omong kosong."

Dari layar ponsel dapat kulihat pria itu tersenyum. Aku menghela napas, memejamkan sejenak mataku yang lelah, istirahatkan sesaat hatiku yang patah. Ooohhh ... aku sungguh merindukan Roman.

Setahun yang lalu kebiasaannya selalu menghadirkan video gitar akustik jika aku merasa sangat jenuh. Kupikir kesamaan sifat dan hobi yang Tuhan hadirkan di antara kami mampu membuat kami bersama, nyatanya tidak.

Miyura lebih menawan dari aku. Seorang siswi kelas biola yang berpenampilan lembut itu mampu membiusnya. Membawa Roman pada cerita yang lebih manis dari irama gitar kami.

Atau aku yang kurang cantik?
Aku melangkah turun dari tempat tidur. Berjalan menuju meja rias. Kulihat penampakan wanita cantik di cermin sana. Dengan tubuh yang sintal berkulit kuning, pinggul yang masih aduhai juga dada yang tampak penuh dan kenyal. Apa kurangnya diriku?

Tapi, aku memang tak sehangat mentari. Bahkan tiga tahun menjadi kekasih Roman, belum pernah sekalipun merasakan kecupannya mendarat di bibirku. Yang ada di kepala ini hanya not balok, irama, birama, kunci nada, feeling lirik lagu atau aransemen lagu. Itukah salahku?

Mau pecah rasanya kepalaku.

Detik membawa pergi masa dengan cepat. Dari sejak mataku hanya menatap lembah di luar sana hingga tampilanku sudah berubah menjadi sosok Andara, gitaris finger akustik, yang sedang duduk dengan santainya di pekarangan rumah.

Sembari menunggu Wiliam datang. Kusibukkan jemari dengan denting irama melankolis dari lagu SUDAH milik Afgan Syahreza.

Ingatanku kembali berputar di genang kenangan. Betapa rindu pada Roman begitu membunuhku. Hingga tetes cairan hangat menerobos bulu mata yang sudah kuhias dengan airliner dan mascara.

Aku sangat rindu padamu, Bang. Apakah kau masih mengingatku di lembar cerita usang kita? Lihatlah, banyak keheningan yang bernyanyi di sini. Tanpa warna aku melukis setiap senyuman. Untukmu ... cinta yang pernah menjadi pragmen lawas.

Sebuah jemari menghapus airmataku. Tanpa kusadari, sejak tadi Wiliam sudah berdiri di samping. Air mukanya menunjukkan kebencian yang teramat sangat.

"Kenapa masih saja kamu menyiksa diri?"

"Maaf ...." Kutundukkan wajah perlahan.

"Bukan maaf, tapi berubahlah."

"Sulit buatku, Wil."

"Bodoh! Roman sudah melupakanmu. Kenapa juga kamu masih mengenangnya."

"Ya ... aku paham itu."

Aku hanya sepokok kayu penuh ngengat. Kutangguhkan rapuh yang menginfeksi setiap ranting, tapi tegakku tetap kokoh dan penuh misteri. Sedang sunyiku membunuh setiap hempas udara yang terlahir dari desah kesedihan.

"Yaah sudahlah, yuk!" Wiliam menggamit jemariku.

Sebenarnya sudah terbiasa aku dengan sikapnya sedari dulu. Namun, entah mengapa kali ini ada rasa yang aneh di antara kita.

Sungkan yang tiba-tiba hadir dan aku harus bekerja keras meredakan debar halus itu. Kulepaskan genggaman tangan Wiliam perlahan. Pria itu menoleh padaku.

Aku memecah kebekuan dengan sedikit senyum.

Kendaraan roda empat meluncur di atas aspal panas. Membawa kami berdua menuju LET ME LOVE cafe milik Olin, teman kuliah Wiliam dahulu.

Cafe berjarak 250km dari kediaman kami di Bogor. Baru setengah perjalanan menuju Jakarta, hari sudah beranjak senja.

Sepanjang jalan sunyi, bintang gemintang mulai mengerling, ditemani cahaya rembulan. Peraduan malam cerah ceria, tak ada mendung yang menggayut. Sisa-sisa asa seolah terpagut denting, yang bersenandung dari mobile radio. Lagu RADIO, persembahan The Corrs membakar terbenamnya hari.

***

Cafe mulai dipadati para lovers dan heaters. Tugas seorang artis salah satunya ya, seperti aku. Menutup telinga dan mata. Kalaupun ada hati. Jangankan ia memperhatikan ekspresi orang lain atau mendengarkan celotehannya, menomorsatukan hati sendiri pun aku sudah lupa kapan terakhir aku menjadi manusia perasa.

"Malam Andes!!" sapaku pada para penonton. ANDES singkatan dari Andara Netizen, adalah sebutan bagi para pemerhati pertunjukan yang kusuguhkan. Mencakup dua kubu lovers juga heaters.

"Malam bukan cuma tentang kesendirian dan rindu. Juga buat kamu ... yang telah menjadikanku batu."

Seperti biasa sebelum aku melantunkan irama akustik, selalu aku menyertakan sebuah narasi manis. Agar penonton merasakan getaran rasa yang coba kusampaikan melalui nada.

Setiap detik yang mengalir menghempaskan aku pada cerita lalu. Tentang cinta yang pernah menghiasi pekarangan hatiku. Jika aku tampak patah. Kubiarkan tetap patah. Jika aku tampak sedih, kubiarkan pula tetap seperti adanya. Tapi, aku tak melebur. Seperti kemarau memakan unsur hara.

Aku tetaplah berdiri dengan juntai lengan yang masih kuat melukis warna cerah. Setidaknya buat para lovers yang mendukungku.

Seribu cinta menghidupi persembahanku malam ini. Di atas panggung, lemahku menguatkanku. Berdiri dengan kenangan yang memudar.

***

Telah lima buah lagu mengalir. Sorak-sorai menjadi makanan pokok pengamen cafe sepertiku. Wiliam naik ke atas panggung, berdiri menemaniku, lalu mengucapkan sepatah dua patah kata. Ucapan terima kasih dan semoga berkenan mendukung pertunjukan kami berikutnya.

Aku mengikuti pria itu berdiri, dengan sebuah gitar tua di tangan kanan dan tangan kiri menggenggam jemarinya. Kami bungkukkan tubuh bersama tanda penghormatan. Lalu berlalu pergi dari hadapan penonton.

Sekilas cahaya merobek pandangan. Sebelum hilang tubuh kami ke balik tirai panggung, kulihat sosok Roman, berdiri di tengah hiruk pikuk penonton dan tersenyum padaku.

"Bang Roman?" Aku menoleh ke belakang.

Wiliam terperangah. "Roman? Mana?" selidiknya. Mata pria itu menyapu seluruh penonton yang masih berkerumun. "Mana Roman?" tanya Wiliam kembali.

"Aku melihatnya tadi, Wil. Di sana. Di tengah. Dia masih ingat aku, Wil," rengekku pada Wiliam. "Aku harus temui dia."

Bergegas aku berlari menuju kerumunan. Namun urung, tangan Wiliam dengan cepat menarikku.

"Jangan, jangan bodoh. Ini bahaya. Kamu gak lihat banyak banget orang di sana dan kita gak tahu mana di antara mereka yang sengaja ingin mencelakakanmu. Kau ini artis, lupa ya?"

"Tapi Wil ...."

" Gak ada tapi, biar nanti kita cari tahu lewat kru pertunjukan."

Kuturuti Wiliam. Otakku sudah lama tidak sehat. Sesekali memang aku hidup dalam kenangan, jadi terpaksa kupercayakan Wiliam mendampingiku dalam mengambil keputusan. Kecerdasannya lebih unggul dari pada emosi yang sesat.

Jam menunjukkan pukul 22.00 WIB.

"Gak ada, Bang. Udah dicari dari daftar pengunjung, nama Roman gak ada tuh." Seorang kru bagian penjualan karcis membawa berita jauh dari harapan.

"Ok, Kim. Thanks, ya. Jadi ikut repot nih." ujar Wiliam.

"Aaah, biasa aja, Bang."

"Ya deh, kita pamit undur diri dulu."

"Eh, besok jangan lupa ya, pertunjukkan di cafe Om Farouk."

Wiliam mengangkat ibu jarinya. Akhirnya kami pun meninggalkan cafe.

Banyak pertanyaan yang masih kusembunyikan. Sengaja tidak satu pun kujadikan bahan obrolan bersama Wiliam. Dari air mukanya tampak ia mengerti sesuatu. Tapi kedewasaannya meminta ia tidak membuka suara. Aku pun ikut menikmati kesunyian.

Mobile radio tidak lagi bersenandung. Biasanya ada penghantar tidur yang mengalun dari sound sistem canggih itu. Sekadar untuk membuatku rilex dari sorak-sorai penonton yang masih terngiang di telinga.

Tiba-tiba sebuah ambulan menyalip kendaraan kami. Terhuyung Wiliam menguasai laju mobil yang sedikit oleng.

Aku sendiri sempat menahan debar jantung yang tidak karuan.

"Haduh, hampir saja," desis Wiliam.

"Siapa ya?"

Wiliam mengangkat bahu.

***

"Istirahat yang cukup dan gak usah banyak mikir. Ingat kesehatan itu penting." Wiliam mengusap gerai rambutku. "Masuklah," pintany padaku.

Aku mengangguk.
Langkahku terseok menuju ke dalam rumah. Kuburan orang hidup berlantai tiga ini hanya di huni lima orang, aku, satpam, tukang kebun, tukang masak dan tukang bersih-bersih. Selebihnya supir merangkap manager adalah Wiliam, tapi dia sendiri tidak tinggal bersamaku.

"Kecuali aku suamimu, baru aku mau tinggal di sini. Kita buat pentas yang meriah dan penuh tawa di rumah besar ini, bersama anak-anak kita, dan kamarmu tak perlu lagi menggunakan penghangat. Aku yang akan membuatmu berkeringat setiap saat. Kau mau?" Begitu ucapannya tempo hari. Kurang lebih sebulan yang lalu. Kupikir ledeknya padaku sungguh keterlaluan. Wiliam paham betul, aku hanya sibuk menghidupi not-not balok, tapi diriku sendiri telah lama mati. Dasar tukang gombal.

"Mbok, besok pagi bikinkan aku bubur Manado ya, dengan ubi ungu. Jangan lupa," pintaku pada Mbok Lasmi sebelum aku meninabobokan tubuh penatku.

"Ya, Non."

Malam menutup tirai temaram. Suriku pada gemerisik angin gulita tak terbayangkan lelapnya. Mungkin hanya dengkur yang pecah atau tetes liur yang basah menjadi saksi, bahwa sepanjang malam. Nyawaku melayang bersama doa sebelum tidur hingga penghujung bayi subuh yang terlahir prematur.

Kelopak mataku masih berat. Dingin udara pagi menusuk pori-pori kulit. Terdengar panggilan adzan dari kejauhan. Aku memaksa bangun meski lelahku merayu agar tetap tertidur.

Dari sela lubang hidung, aroma bubur manado menguar. Lezatnya terasa sampai ke pangkal lidah. Padahal belum sesendok pun aku telan. Fisiknya pun masih di angan.

Derrrttt ... ddeeerrrttt ... Ponsel bergetar. Notifikasi sengaja tidak kuberi suara. Khawatir mengganggu saat-saat aku beristirahat. Aku menyalakan layar ponsel. Ada pesan di sana.

ROMAN SEKARAT, DATANG CEPAT

"Roman?" Segera kuhubungi Wiliam, meminta agar ia mau mengantarku. 'Tak kalah terkejut, ternyata pria itu sudah lebih dahulu berada di rumahku sedari pagi buta.

Aku bergegas menuruni anak tangga. Belum sempat kurapikan wujudku. Tampak Wiliam sedang duduk manis sambil bersandar di sofa, ditemani secangkir kopi, sepiring gorengan kentang juga sebuah buku yang sedang ia baca, entah sudah sampai di halaman berapa.

Aku berdiri tepat di hadapannya. "Wil."

Wiliam memandangku sambari mengangkat kedua alisnya. " Mandi dululah. Masa menjenguk orang sakit penampilannya gitu."

Ya ... aku gak sengaja tadi, karena terkejut membaca sebuah pesan tentang kabar Roman.

"Ok tunggu aku." Secepat kilat aku merapikan diri. Menjadikan sosok Andara yang pantas untuk dilihat khalayak ramai. Entah kenapa saat ini rasa sedihku menghilang, aku pun tidak tampak gembira ataupun perasaan canggung lainnya. Semua ... datar.

Sedang dahulu aku merindu, sedang dahulu aku berharap. Mungkin matiku sebab kau yang inginkan. Jika ya, maka saat ini telah kutuntaskan semua. Penghargaan terhadap cinta, yang membawaku melanglang buana di dunia yang penuh kenangan pernah indah.

Aku tidak membenci, tidak pula kumerindu. Kesadaranku memaksa untuk membaca sebuah cerita hingga kutemukan kata takdir kita ... tanpa airmata.

Wiliam terlihat santai. Untuk kesekian kalinya aku menyadari, bahwa pria di hadapanku ini memang menyayangiku dengan tulus. Hanya saja dia tidak seperti pria romantis yang lain. Kesungguhannya menemaniku berjalan sesuai alur bukan rekayasa yang biasa dikatakan orang sebagai gombalan cinta.

Apakah saat ini aku harus bersikap mulai menerima Wiliam?

Perjalanan menuju kediaman roman diisi dengan obrolan tak penting. Sesekali kami berdua menertawakan hal konyol, cerita beberapa heaters yang posting di media sosial perihal tipu-tipu berita. Namun, tak pernah sekalipun aku coba klarifikasi. Karena makin diangkat berita itu maka makin panjang urusannya. Aku mungkin tipe yang tidak perduli. Lebih baik mengubur daripada menggali. Kadang dibalik itu, sebenarnya heaters itulah yang ingin ikut mendompleng ketenaran artis yang dibicarakannya. Tugasku hanya manggung lalu dapat duit, sebelum aku pensiun aku harus punya tabungan buat menikmati hari tua dan buat anak-anakku kelak nanti.

Komitmenku ini hampir separuhnya disetujui Wiliam. Meskipun pria otak bisnis itu sesekali bikin capek. Tapi prinsipnya juga terlihat masuk akal terkadang.

***

Kediaman Roman tampak dari kejauhan. Sudah banyak tamu di sana. Beberapa sanak saudara, kerabat dan handai taulan berkunjung dengan berbagai macam kepentingan.

Kepergian menghadirkan tangis. Tangis kehilangan juga kegembiraan. Hanya Tuhan yang tahu.

Kami berdua melangkah masuk. Mengikuti petunjuk asisten rumah tangga Roman. Terus terang ini kali pertama aku menginjakkan kaki di rumah seorang Mantan kekasih.

Perjuangan kami menjalin hubungan asmara tanpa diketahui khalayak ramai adalah bukan hal yang mudah, meski akhirnya harus kandas seperti embun yang mengering terbakar panas mentari pagi.

Tergeletak dengan lemah di atas kasur. Roman, dengan tubuhnya yang lebih kurus dari yang pernah kulihat setahun yang lalu.

Aku dan Wiliam mendekat. Tak kubuang pandangan seincipun dari sosoknya. Roman tersenyum. Bibirnya pucat pasi. Matanya meredup. Aku membalas senyumnya.

"Aku bersyukur, kau baik-baik saja," ucap pria itu dengan suara parau.
Tak ada satupun yang bisa kukatakan. Aku menyimak semua yang ia ucapkan. 'Tak boleh tertinggal sedikitpun dari lorong pendengaran. Penantianku telah memuncak hari ini. Bisa jadi ini terakhir kalinya terbenam sang mentari untuk selamanya.

"Selalu aku ingatkan Wiliam agar terus menjagamu," kembali Roman berkata. "Maukah kamu menerima Wili sebagai penggantiku? Aku percaya padanya," lirih suaranya membuatku tertunduk mendekati wajah Roman, agar aku tetap bisa mendengar segala ucapannya. "Maafkan aku, Dek ... "

Aku masih menyimak. Rasa hangat mulai menjalari kedua mataku. Tenggorokanku seperti tercekat. Sanggupku hanya diam. Tak berapa lama rintik itupun turun, membasahi rongga dada. Banjir gemuruh yang sangat menyesakkan. Aku tak lagi mampu menanggalkan kesedihan. Aku patah ... di detik terakhir saat jemari Roman menyatukan tanganku dengan tangan Wiliam.

"Ma -- afkan, a -- aku ... Dek," bisik Roman untuk yang terakhir.

Dadaku terguncang hebat. Meski isak ini kutahan dengan bibir yang tergigit. Namun, badai kehilangan menghentak dengan kerasnya.

Wiliam memelukku erat. Menutupi segala kesedihanku, agar tak ada satupun wartawan yang mengambil gambar moment aneh itu. Yang mereka tahu hanya Roman sebagai guruku. Tak lebih tak juga kurang.

Wiliam cukup tangguh menguasai keadaan. Menarik tubuhku dari kerumunan saat semua keluarga Roman mendekat. Saat itulah waktu yang tepat aku menghilang.

***

Sudut yang sangat lengang. Di sebuah pujasera pesisir pantai. Aku dan Wiliam menepi.

"Ya ... aku memang telah tahu lama tentang kabar Roman."

"Kenapa tidak cerita padaku."

"Dia yang minta. Leukimia yang diidapnya sudah sangat menghawatirkan. Sedang ia tak ingin kau bersedih."

"Bagaimana dengan Miyura, pacarnya."

Wiliam menggeleng. "Tidak ada. Roman bukan pacar siapa-siapa. Semua cuma setingan."

Aku menarik napas perlahan. Sandiwara ini bagian dari dunia keartisan. Bahkan dalam kesedihanku yang teramat sangat, akhirnya kutahu, aku hanya menangisi bagian dari sebuah pragmen.

Wiliam bangkit dari duduknya. Melangkah mendekati tebing tanggul pantai. Debur ombak menebas kesunyian. Ada resah di matanya yang aku tak ingin tanyakan. Biar saja waktu akan menjawab.

Aku sendiri bingung, bagaimana selanjutnya kujalani hari berikutnya. Kalau dahulu aku begitu merindukan Roman untuk kembali hadir. Sekarang? Siapa gerangan berikutnya.

Aku mengikuti Wiliam. Berdiri di sampingnya dengan sejuta tanya tanpa ekspresi. Pria itu menoleh. Kerut di dahinya membuat ia terlihat tua beberapa saat.

"Menikahlah denganku," bisiknya.

Bukan rengekan, tapi aku tahu ia sangat ingin aku menjawabnya. Sengaja kutahan. Aku ingin lihat sampai di mana ia berkeras hati ingin hidup bersamaku.

Semenit, dua menit, tiga menit ... hingga ke menit demi menit berikutnya habis dilalap kebungkaman. Siaal!! Dasar kapitalis gak romantis! Ditungguin malah diam aja. Serius gak siiiih. Hatiku berteriak tidak henti.

"Kapan?" tanyaku memecah kebekuan.

Wiliam menatapku. "Apanya?"

Busyet ... Parah nih orang, baru lewat satu jam ngajak nikah, sekarang malah lupa.

"Apanyaa ...." Wiliam kembali menegaskan pertanyaannya.

"Kapan kita akan menikah?" Terpaksa kujawab tanpa rasa sungkan. Aku bahkan tidak perduli, kalau saat ini wajahku memerah macam kepiting rebus. Wiliam mulai berubah menjadi sosok yang menggemaskan.

Pria itu tertawa. Konyol banget, jadi aku yang diledek. Dasar otak kapitalis!

Dengan cepat tangan pria itu meraih pinggangku. Membawanya dalam pelukan yang paling hangat.

"Memang aku bukan pria romantis seperti Roman. Tapi aku tahu cara menaklukkan manusia salju yang cantik ini. Muach ... muach ... muach." Kecupannya mendarat tanpa ampun di wajahku.

"Udah ... udah ... Wil!" teriakku sekencang-kencangnya.

Wiliam merenggangkan tangannya. "Tunggu aku, Tuan Putri. Akan kusiapkan semuanya. Aku pun sudah tidak sabar." Senyumnya begitu meyakinkan. Senyuman yang tak pernah kujumpai pada sosok pria manapun selain Wiliam. Tegas juga menggemaskan.

Apakah lentera malamku menyala kembali? Kurasa demikian. Karena 'tak lagi lengang dan dingin yang memaknai setiap perjalanan. Hari berikutnya bahkan lembar demi lembar cerita mulai tertulis lagi. Tentang aku ... kamu dan suralaya cinta.




Hikayat0120.
Fin.

____

Jangan lupa like dan follownya, Kakak🤗🙏
Diubah oleh hikayat0120 11-08-2020 01:06
wakyu06
zukii.vixii
anton2019827
anton2019827 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.3K
6
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread•41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.