gilbertagungAvatar border
TS
gilbertagung
Antara 1946 dan 1964, Indonesia Berutang 7 Kali kepada Rakyatnya


Pada tahun-tahun awal Republik Indonesia, pemerintah sempat 7 kali berutang kepada rakyat Indonesia. Utang dari rakyat ini menjadi salah satu bukti dukungan kepada perjuangan kemerdekaan dan pembangunan Indonesia.

Klik gambar untuk menuju sumber gambar

Pindjaman Nasional 1946

Contoh surat utang sebesar 100 rupiah Jepang sebagai bagian dari Pindjaman Nasional 1946 sebesar 1 miliar rupiah Jepang.

Republik Indonesia memulai perjalanannya dalam kondisi yang serba kekurangan. Perang Dunia II yang baru saja berakhir dan kedatangan kembali Belanda untuk memulihkan kekuasaannya di Asia Tenggara membuat kegiatan ekonomi tidak dapat berjalan mulus. Akibatnya, pemerintah tidak bisa memperoleh pemasukan. Opsi meminjam dana pun diambil agar pengeluaran dapat dibiayai. Namun, Republik Indonesia belum dapat menarik pinjaman dari negara lain karena belum diakui secara resmi oleh dunia internasional. Rakyat yang menderita karena nilai uang pendudukan Jepang yang banyak dipegang menurun drastis pun dilirik sebagai kreditor.

Pada 29 April 1946, dengan persetujuan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (parlemen sementara), Presiden Soekarno mengesahkan Undang-undang Nomor 4 tahun 1946 tentang Pindjaman Nasional 1946 (kemudian diubah dengan UU Nomor 9 tahun 1946). UU ini memberikan kuasa kepada Menteri Keuangan, saat itu dijabat Soerachman, untuk menerbitkan surat pengakuan utang atas tanggungan negara dengan kurs dan bunga yang sudah ditetapkan. Jumlah pinjaman yang hendak diperoleh adalah sebesar 1 miliar rupiah Jepang (Untuk memperjelas, rupiah dalam konteks ini adalah mata uang rupiah pendudukan Jepang, bukan ORI atau rupiah yang kita kenal sekarang), ditarik dalam dua tahap dari wilayah Jawa dan Madura sebesar 500 juta rupiah Jepang serta Sumatera juga sebesar 500 juta rupiah Jepang, dan dengan bunga sebesar 4 persen yang dibayarkan setiap 18 bulan. Surat utang diterbitkan dalam denominasi 100, 500, dan 1.000 rupiah. Surat utang ini hanya boleh dibeli oleh Warga Negara Indonesia dan tidak diperkenankan untuk dialihkan kepada warga negara maupun badan hukum asing.

Pendaftaran untuk pembelian surat utang dibuka antara 15 Mei dan 15 Juni 1946, namun diperpanjang hingga beberapa bulan. Untuk keperluan penjualan surat utang ini sekaligus untuk mengatur peredaran uang, pemerintah mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946. Selain BNI, Postspaarbank(kini menjadi Bank Tabungan Negara) juga mengurus penjualan obligasi ini.

Pinjaman ini selain digunakan untuk membiayai pembangunan, membantu perusahaan umum, dan mendirikan tempat tinggal bagi rakyat juga untuk mengurangi peredaran uang Jepang di masyarakat.

Pengembalian Pindjaman Nasional 1946 diatur dalam UU Nomor 26 tahun 1954 mengenai Pembayaran Kembali Pinjaman Nasional 1946. Negara menjamin pembayaran kembali pinjaman ini dilakukan selambat-lambatnya dalam 5 tahun anggaran mulai 1954 dengan 5 persen dari nilai obligasi dibayar sekaligus dan pembayaran sisanya diatur oleh Menteri Keuangan. Setiap 100 rupiah Jepang dari nilai obligasi tersebut dianggap setara dan dikembalikan sebagai 10 rupiah yang telah berlaku saat itu. Angka ini lebih tinggi dari ketetapan yang berlaku sebenarnya yaitu 100 rupiah Jepang disetarakan dengan 3 rupiah baru (nilainya 233,33 persen lebih tinggi dari seharusnya). Ini dimaksudkan untuk menghargai jasa rakyat yang membantu negara pada masa yang sulit.

Pelaksanaan pembayaran kembali Pindjaman Nasional 1946 diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia tanggal 30 Agustus 1955 mengenai peraturan Pelaksanaan Pembayaran Kembali Pindjaman Nasional 1946.

Sebelumnya, upaya mengatur pengembaliannya telah dilakukan pada 1947 dan 1948, namun terhalang oleh dua Agresi Militer Belanda.

Dukungan besar rakyat terhadap RI yang baru saja terbentuk terlihat dari besar pinjaman yang berhasil dikumpulkan. Di Jawa dan Madura, dana yang dikumpulkan mencapai 318.644.500 rupiah Jepang. Di Sumatera, jumlahnya adalah 208.330.100 rupiah Jepang. Total dana yang terkumpul adalah 526.974.600 rupiah Jepang, yang pada saat pengembalian dinilai sama dengan 52.697.460 rupiah.

Kontribusi Rakyat Aceh untuk Pembelian Pesawat Pertama RI pada 1948

Pesawat RI-001 di Bandara Kemayoran, Jakarta, 1950. Pesawat ini dibeli dengan dana sumbangan rakyat Aceh pada 1948.

Pada 16 Juni 1948, Presiden Soekarno berkunjung ke Kutaraja (kini Banda Aceh), Aceh. Di sana, ia berpidato meminta dukungan finansial dari rakyat Aceh kepada republik. Dengan bantuan Tengku Muhammad Daud Beureueh, Gubernur Militer Aceh, upaya Soekarno berhasil. Rakyat Aceh berbondong-bondong menyumbangkan emas dan uang mereka hingga terkumpul uang sebesar 120 ribu dolar Selat (mata uang British Malaya) dan emas seberat 20 kilogram. Dengan modal tersebut, dibelikanlah sebuah pesawat C-47 Dakota di Singapura. Pesawat ini diberi nama "RI-001 Seulawah" dan dijadikan alat transportasi untuk pejabat negara yang dioperasikan Angkatan Udara Republik Indonesia. Seulawah bermakna "Gunung Emas" dalam bahasa Aceh.

Namun, terdapat kesimpangsiuran apakah ini adalah sumbangan atau utang yang harus dikembalikan negara kepada rakyat Aceh. Pada 2018, seorang pria 91 tahun asal Aceh bernama Nyak Sandang datang ke Jakarta dan meminta pengembalian terhadap obligasi yang ia miliki sehubungan dengan pembelian pesawat tersebut. Obligasi yang dibawanya bertahun 1950 dan menurutnya, Daud Beureuh berjanji bahwa akan ada imbalan kepada rakyat Aceh dalam 40 tahun. Ia sendiri berhasil menemui Presiden Joko Widodo. Tidak diketahui apakah obligasi tersebut berhasil dicairkan atau tidak, namun presiden menyanggupi permintaan Nyak Sandang yang lain yaitu dibiayai operasi katarak, dibangunkan masjid, dan diberangkatkan umrah.

Pindjaman Nasional 1950


Contoh surat obligasi Pindjaman Nasional 1950 senilai 1.000 rupiah dan kupon bunga tahunannya.

Pengakuan kedaulatan oleh Belanda berdasarkan Konferensi Meja Bundar pada 27 Desember 1949 memiliki konsekuensi finansial bagi Indonesia. Indonesia harus menanggung utang pemerintah kolonial Hindia Belanda sebesar 1,13 miliar dolar AS.

Karena beban berat ini, sekaligus untuk menertibkan peredaran uang lama terutama terbitan De Javasche Bank, Menteri Keuangan Syarifuddin mengeluarkan kebijakan moneter bernama Gunting Syarifudin, pada 18 Maret 1950. Semua uang kertas pecahan 5 gulden ke atas digunting, baik nilai maupun fisiknya, menjadi 2. Potongan sebelah kiri digunakan untuk ditukar dengan uang rupiah baru dengan nilai setengah dari uang tersebut (Jadi, potongan sebelah kiri uang 10 gulden akan ditukar dengan uang baru 5 rupiah, misalnya). Sementara itu, potongan sebelah kanan digunakan untuk membeli obligasi negara bertajuk "Pindjaman Nasional 1950". Penarikan pinjaman ini diatur dalam UU Darurat nomor 13 tahun 1950. Jumlah yang ditarik mencapai 1,5 miliar rupiah dan bunga yang diberikan kepada pemegang obligasi adalah sebesar 3 persen per tahun, dibayarkan setiap tanggal 1 September mulai tahun 1951.

Salah satu orang yang membeli obligasi ini adalah Drs. Mohammad Hatta, Perdana Menteri RIS kala itu dan juga mantan Wakil Presiden RI. Ia membeli hingga sebesar 326.000 rupiah. Uang untuk membelinya diperoleh dari hasil menjual buku-buku yang ditulisnya.

Sehubungan dengan sanering mata uang rupiah sebesar 99,9 persen pada 13 Desember 1965, diterbitkanlah Keputusan Presiden nomor 32 tahun 1967, diubah dengan Keputusan Presiden nomor 116 tahun 1967, yang menetapkan bahwa pembayaran untuk obligasi Pindjaman Nasional 1950 tersebut adalah setiap 1.000 rupiah lama dinilai sama dengan 100 rupiah baru, 100 kali lebih tinggi dari seharusnya, yaitu 1.000 rupiah lama setara 1 rupiah baru.

Pindjaman Obligasi Berhadiah dan Pindjaman Konsolidasi 1959

Contoh surat obligasi Pindjaman Konsolidasi 1959.

Pada 17 Agustus 1959, pemerintah kembali mengeluarkan obligasi bertajuk "Pindjaman Obligasi Berhadiah 1959" berdasarkan UU Darurat nomor 3 tahun 1959 dan diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 31 tahun 1960. Besar pinjaman yang ditarik mencapai 2 miliar rupiah. Bunga yang diberikan adalah 6 persen per tahun. Nominal obligasi yang disediakan adalah 5.000 rupiah. Diberikan pula opsi untuk membayarkan zakat sebesar 2,5 persen dari nilai obligasi yang dipegang sebelum menerima hadiah.

Obligasi ini disebut berhadiah karena memang menjanjikan hadiah yang diberikan dengan sistem undian. Besaran hadiahnya adalah 0,5 persen dari nilai obligasi yang terjual dan dibebaskan dari pengenaan pajak.

Tak lama berselang, pada 1 September 1959, pemerintah kembali mengeluarkan obligasi bertajuk "Pindjaman Konsolidasi 1959". Pinjaman ini erat kaitannya dengan tindakan moneter pada 25 Agustus 1959. Selain memotong nilai uang kertas 500 dan 1.000 rupiah sebesar 90 persen, pemerintah juga membekukan sebagian simpanan masyarakat di bank. Jumlah yang dibekukan adalah 90 persen dari bagian yang melebihi 25.000 rupiah (Jadi, jika terdapat simpanan 40.000 rupiah, jumlah yang dibekukan adalah sebesar 90 persen dari 15.000 rupiah atau sebesar 13.500 rupiah). Simpanan yang dibekukan inilah yang dikonversikan menjadi obligasi terhadap negara berupa Pindjaman Konsolidasi 1959 tersebut.

Diatur dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 26 tahun 1959, ditetapkan bahwa besar simpanan yang dibekukan dibulatkan menjadi kelipatan 100 rupiah (Misalnya, jumlah yang dibekukan adalah 18.670 rupiah, maka jumlah ini dibulatkan menjadi 18.700 rupiah). Jika jumlahnya di bawah 50.000 rupiah, diterbitkan obligasi atas unjuk dengan denominasi 100, 500, 1.000, 5.000, dan 10.000 rupiah. Jika jumlahnya mencapai 50.000 rupiah ke atas, maka terhadap jumlah 50.000 rupiah atau kelipatannya akan didaftarkan atas nama sebagai pengakuan utang pada suatu Buku Besar di bank yang bersangkutan yang pusat tata usahanya dilakukan di Bank Indonesia, sisanya akan diterbitkan obligasi seperti untuk simpanan di bawah 50.000 rupiah. Misalnya, apabila terdapat 165.000 rupiah, terhadap 150.000 rupiah akan didaftarkan atas nama sebagai pengakuan utang dan terhadap 15.000 rupiah akan diterbitkan obligasi.

Jumlah pinjaman yang ditarik dari Pindjaman Konsolidasi 1959 adalah sebesar 5 miliar rupiah dengan bunga 3,5 persen per tahun yang dibayarkan sebanyak 45 kali dimulai pada 1 September 1960. Pelunasan ditetapkan dimulai pada 1 September 1965.

Pindjaman Obligasi Pembangunan dan Pindjaman Obligasi Konfrontasi 1964

Contoh resepis atas obligasi Pindjaman Obligasi Konfrontasi Republik Indonesia 1964.

Pada 1964, pemerintah membelanjakan 681,328 miliar rupiah dengan pendapatan 283,386 miliar rupiah, artinya APBN 1964 mengalami defisit 397,942 miliar rupiah, jumlah yang bahkan melebihi pendapatan negara. Pada masa itu juga, konfrontasi menentang pembentukan negara Malaysia pada 1963 sedang berlangsung. Kedua hal tersebut membebani keuangan pemerintah dengan berat. Tak mengherankan bahwa pada 1964, pemerintah menarik pinjaman dari 2 obligasi sekaligus.

Untuk membiayai pembangunan, dikeluarkan "Pindjaman Obligasi Pembangunan Republik Indonesia 1964" berdasarkan UU nomor 29 tahun 1964. Jumlah yang ditarik mencapai 10 miliar rupiah. Bunga yang diberikan adalah sebesar 6 persen per tahun, dibayarkan setiap tahun mulai 1 Januari 1966. Denominasi yang tersedia adalah 10.000 rupiah, 50.000 rupiah, 100.000 rupiah, dan 1.000.000 rupiah.

Untuk membiayai Konfrontasi dengan Malaysia, dikeluarkan "Pindjaman Obligasi Konfrontasi Republik Indonesia 1964" berdasarkan UU nomor 30 tahun 1964. Jumlah yang ditarik mencapai 10 miliar rupiah. Bunga yang diberikan adalah sebesar 15 persen per tahun, dibayarkan setiap 6 bulan sekali saban tanggal 1 Januari dan 1 Juli, dimulai pada 1 Juli 1965. Denominasi yang tersedia sama dengan Pindjaman Obligasi Pembangunan 1964.

Pembayaran cicilan atas pokok kedua obligasi ditetapkan dimulai pada 1970 selama 15 tahun (Pindjaman Obligasi Pembangunan) dan 5 tahun (Pindjaman Obligasi Konfrontasi).

Jumlah yang Dipinjam Pemerintah dari Rakyat

Uang kertas pecahan 1 rupiah tahun emisi 1960. Dibutuhkan lebih dari 27 miliar lembar uang seperti ini untuk melunasi utang dalam negeri pemerintah Indonesia kepada rakyat.

Jika dihitung dengan mata uang rupiah yang berlaku antara 1949 dan 1965, jumlah pinjaman yang ditarik pemerintah dari rakyat mencapai 27.054.501.460 rupiah. Dalam nilai rupiah sekarang, jumlah itu setara 27.054.501,46 rupiah. Asumsi yang digunakan adalah sebagai berikut. 100 rupiah Jepang dari Pindjaman Nasional 1946 disamakan dengan 10 rupiah alih-alih 3 rupiah sehingga 526.974.600 rupiah Jepang disamakan dengan 52.697.460 rupiah. 1 dolar Selat sama dengan 14,7 rupiah berdasarkan kurs rupiah Riau 1963 untuk menetapkan nilai 120.000 dolar Selat dari rakyat Aceh menjadi 1.764.000 rupiah. Untuk penghitungan nilai emas, 10 rupiah ORI disamakan dengan 5 gram emas murni dan nilai 20 kilogram emas dari rakyat Aceh adalah sebesar 40.000 rupiah. Sehingga, total kontribusi rakyat Aceh adalah 1.804.000 rupiah. Sementara itu, total pinjaman dari 5 obligasi yang diterbitkan pada 1950, 1959, dan 1964 adalah sebesar 27.000.000.000 rupiah.

Pembayaran Kembali

Contoh resepis atas obligasi Pindjaman Obligasi Pembangunan Republik Indonesia 1964. Ini adalah salah satu obligasi yang dibayar kembali oleh pemerintah berdasarkan keputusan tahun 1978.

Terhadap Pindjaman Nasional 1946, pembayarannya telah diatur dalam UU Nomor 26 tahun 1954 seperti yang telah disinggung di atas. Untuk pembayaran kembali atas obligasi lain yang diterbitkan antara 1950 dan 1964, Menteri Keuangan Ali Wardana menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 466a/KMK.011/1978 mengenai Pelunasan Sekaligus 3% Obligasi Republik Indonesia 1950, 6% Obligasi Berhadiah 1959, 3.5% Obligasi Konsolidasi 1959 dan Resepis 6% Obligasi Pembangunan 1964 tanggal 28 November 1978. Hal yang diatur mengenai pembayaran tersebut adalah :
1) Obligasi yang akan dibayarkan kembali adalah Pindjaman Nasional 1950, Pindjaman Obligasi Berhadiah 1959, Pindjaman Obligasi Konsolidasi 1959, dan Resepis Pindjaman Obligasi Pembangunan 1964.
2) Obligasi tersebut dilunasi sekaligus (alih-alih dicicil) dengan kurs nominal setinggi-tingginya 100 persen.
3) Jumlah yang dibayarkan untuk Resepis Pindjaman Obligasi Pembangunan 1964 adalah sebesar nominal obligasi dikali 816.
4) Pelunasan sekaligus tidak membayarkan hadiah atas Pindjaman Obligasi Berhadiah 1959.
5) Ketentuan mengenai pembayaran bunga adalah sebagai berikut.
a) Untuk Pindjaman Nasional 1950, bunga dibayarkan untuk kupon nomor 24 sampai 28 (jatuh tempo 1974 sampai 1978).
b) Untuk Pindjaman Obligasi Berhadiah 1959, bunga dibayarkan untuk kupon nomor 15 sampai 19.
c) Untuk Pindjaman Obligasi Konsolidasi 1959, bunga dibayarkan untuk kupon nomor 15 sampai 19.
d) Untuk Resepis Pindjaman Obligasi Pembangunan 1964, bunga dibayarkan untuk kupon ke-1 ditambah dengan hasil perhitungan [(12x6)/100] dikali nominal.
6) Surat Obligasi yang telah lewat 5 tahun sejak tanggal ditetapkannya pelunasan sekaligus namun tidak diuangkan, menjadi kedaluarsa. Artinya, obligasi ini hanya bisa diuangkan sampai 28 November 1983. Setelahnya, tidak lagi bisa diuangkan.

Sebagai tindak lanjut, diterbitkan Pengumuman Menkeu Nomor: PENG-10/MK.011/1979 tanggal 5 Maret 1979 ("PENG-10/1979"), yang mengumumkan pelunasan sekaligus obligasi-obligasi tersebut pada KMK 466a/1978 di tempat-tempat yang ditunjuk, dan pemberitahuannya di berbagai media massa. Pemberitahuan mengenai pembayaran kembali obligasi ini diumumkan dalam Warta Berita Kantor Berita Antara pada 6 Maret 1979, Harian Merdeka pada 7 dan 17 Maret 1979, Harian Kompas pada 7 Maret dan 19 Desember 1979, dan Harian Suara Karya pada 14, 20, 21, dan 26 Maret 1979.

Setelahnya, para pemilik obligasi tersebut berbondong-bondong menguangkan obligasi tersebut pada Kantor Kas Negara yang telah ditunjuk berdasarkan keputusan Menteri Keuangan. Surat dan resepis obligasi yang telah dikembalikan ke negara dimusnahkan di PN Kertas Padalarang pada 19-23 November 1985 dan 27-30 November 1985.

Namun, tidak semua orang mengetahui atau sempat mengurus pembayaran kembali obligasi pada waktu yang telah ditetapkan. Sejak daluarsanya obligasi tersebut pada 1983, sudah ada 220 pemegang maupun ahli waris yang mengupayakan pelunasan atas obligasi mereka. Maka, Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 357/KMK.01/1999 tentang pembentukan Tim Penyelesaian Pinjaman Nasional 1946 3% Obligasi RI 1950, 6% Obligasi Berhadiah 1959, 3.5% Obligasi Konsolidasi 1959, Resepis 6% Obligasi Pembangunan 1964, sebagaimana diubah dengan KMK 395/KMK.01/2001.

Berdasarkan rapat pleno pada 28 Agustus 2001 yang dilaporkan Sekretaris jenderal selaku Ketua Tim Pengarah kepada Menkeu dengan Nota Dinas Nomor: ND-686/SJ/2001 tanggal 13 September 2001 ("ND-686/2001"), diputuskan berdasarkan kajian tim bahwa permintaan tersebut tidak dapat dipenuhi karena sudah kedaluarsa. Keputusan Tim tersebut selanjutnya disampaikan Menkeu kepada Sekretaris Negara dengan surat Nomorr: 510/MK.01/2001 tanggal 29 November 2001.

Pada 2005, ahli waris dari seorang pemegang Resepis Pindjaman Nasional 1946 bernama Atrip asal Banten mengajukan gugatan mengenai pembayaran kembali pinjaman tersebut. Gugatan disampaikan kepada Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia untuk mengembalikan pinjaman sebesar 1,185 miliar rupiah. Resepis tersebut bernilai 100 rupiah Jepang dengan nomor A 92756 bertanggal 1 Mei 1946.

Dalam sidang gugatan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Februari 2009, majelis hakim menyatakan gugatan tak dapat diterima. Utang tersebut dinilai sudah kadaluarsa sebab pemerintah telah mengumumkan pembayaran kembali melalui UU Nomor 26 tahun 1954 dan Keputusan Menteri Keuangan (Menkeu) tanggal 30 Agustus 1955.

Kesulitan lainnya adalah obligasi-obligasi tersebut diterbitkan atas unjuk alias tanpa nama sehingga dapat diperjualbelikan dan menyulitkan proses pembayaran kembali.
Diubah oleh gilbertagung 16-08-2020 02:15
tyrodinthor
saktihikari
kallong29
kallong29 dan 50 lainnya memberi reputasi
49
8.6K
106
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.