• Beranda
  • ...
  • Sista
  • Agni, Potret Lemahnya Penanganan Kekerasan Seksual di dalam Birokrasi Kampus

wariar17Avatar border
TS
wariar17
Agni, Potret Lemahnya Penanganan Kekerasan Seksual di dalam Birokrasi Kampus

google pict


Ingat dengan kasus Agni? Atau mungkin saja ‘Agni’ baru muncul saat membaca artikel ini? Agni adalah salah satu korban pelecehan seksual saat melaksanakan kuliah kerja nyata. Mahasiswi yang berkuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) terus mengalami jalan panjang untuk memperjuangkan haknya sebagai korban.

Pembelaan terus dilakukan seperti pelaku merasa tidak melakukan kekerasan seksual karena belum sampai memasukkan alat kelamin. Selain itu pelaku juga merasa korban menyetujui tindakan pelecehan tersebut karena tidak melakukan perlawanan. Sebuah stigma klasik yang sering terjadi pada korban.

Kasus Agni yang awalnya terkubur namun kembali naik setelah ada pemberitaan dari pers mahasiswa. Beberapa aktivis dan lembaga bantuan hukum bahu membahu mendukung kasus ini dibawa ke ranah hukum. Namun sayangnya kasus ini berakhir dengan kata ‘damai’.

Kata damai tidak menyenangkan lagi ketika berurusan dengan kasus kekerasan seksual. Damai, punya artian besar kalau kasus tidak akan ditindaklajuti dan pelaku bebas dari tuntutan. Karena sudah diselesaikan dengan cara musyawarah dan kekeluargaan. Tidak peduli bagaimana dampak dari kekerasan seskual yang telah dilakukan pada korban. Pelaku terus diberi panggung sehingga terus terimpunitas.

Kekebalan pelaku terhadap hukum menyebabkan kekerasan seksual terus melonjak. Kasus ini terus meningkat namun tidak pernah terbaca oleh publik. Sudah seperti gunung es, hanya terlihat seperti daratan kecil permukaan laut. Namun di bawahnya telah membengkak sebesar gunung.

Quote:


Saat ini hukum di Indonesia belum mencantumkan defenisi kekerasa seksual secara lengkap. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KHUP) hanya ada defenisi pencabulan yang memiliki arti yang sama dengan pemerkosaan. Alhasil banyak kerancuan dan kebingungan untuk menyelesaikan kasus yang tidak tercantum di dalam acuan hukum.

Ya, kita memang masih menunggu kejelasan dari perkembangan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). Namun di saat kita terus menunggu, korban kekerasan seksual terus bermunculan tanpa adanya penanganan.

Baru-baru ini, seorang alumni dari kampus Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta muncul di khalayak publik, yaitu Ibrahim Malik. Jika dilihat dari kasat mata, tidak ada yang aneh dari pelaku. Saat menjadi mahasiswa, ia terkenal sebagai mahasiswa religius dan mempunyai segudang prestasi.

Namun, belakangan kasusnya terkuat. Setidaknya ada 30 aduan kasus kekerasan seksual yang telah ia lakukan. Semua aduan itu diterima oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan sudah terjadi sejak tahun 2016 sampai 2020.

Rata-rata korban juga merupakan alumni dari kampus yang sama. Di dalam siaran pers yang telah tersebar di beberapa media, pelecehan seksual dilakukan lewat jejaring sosial hingga fisik. Pelbagai modus pelaku lakukan seperti korban yang ingin menanyakan informasi terkait perkuliahan, namun diarahkan ke pembicaraan yang berbau seksual.


google pict


Beberapa korban juga harus mendapatkan pil pahit ketika menerima pesan atau video call dari pelaku. Saat mengangkat panggilan atau membuka pesan dari pelaku, maka korban akan mendapatkan foto atau video pelaku sedang melakukan tindakan tidak senonoh. Seperti memamerkan alat kelamin miliknya sendiri. Dan masih banyak lagi.

Quote:


Kasus Agni dbeserta 30 korban di atas merupakan satu dari ribuan buih di lautan. Sampai sekarang, belum ada kabar yang pasti bagaimana penyelesaian kasus yang tuntas secara hukum. Lantas, kenapa kasus kekerasan seksual di lembaga akademik terkesan lamban?

Tidak ada yang tahu. Namun rata-rata, hampir semua kasus pelecehan seksual yang berada di bawah birokrasi kampus seakan dilindungi dengan penyelesaian secara kekeluargaan.

Seperti Indonesia yang belum punya aturan yang jelas terkait pelecehan seksual (bahkan belum ada defenisi pelecehan seksual di dalam KHUP) kampus pun punya permasalahan yang sama. Belum punya regulasi yang jelas dalam menanggulangi kasus kekerasan seksual. Selain itu pihak kampus juga belum memiliki badan atau organisasi internal semacam lembaga penerimaan aduan untuk tindak kasus kekerasan seksual. Begitu pula dengan pendampingan psikologi bagi korbannya

Quote:


Padahal, ketimbang nama baik yang selalu diagung-agungnkan itu, kondisi psikologi korban justru lebih penting. Pelecehan seksual bisa memengaruhi masa depan korban bahkan dapat menorehkan trauma seumur hidupnya. Padahal sebagai lembaga pendidik, kampus mempunyai kewajiban untuk melindungi mahasiswanya. Bukan malah membiarkan pelaku menjadi terimpunitas dan bebas berkeliaran tanpa sanksi hukum.

Sudah saatnya semua elemen akademisi mulai melakukan pembenahan dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Mari mengubah pandangan baru jika menjadi korban bukan lagi menjadi aib. Justru yang harusnya menjadi aib adalah mereka yang punya kuasa. Namun lamban menangani kasus kekerasan seksual bahkan terkesan menutup-nutupi.


Sumber: Tirto.id, komnasperempuan.go.id
hampala
topantrengginas
tien212700
tien212700 dan 30 lainnya memberi reputasi
31
7.3K
84
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sista
Sista
icon
3.9KThread7.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.