Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Astri.zeeAvatar border
TS
Astri.zee
Jangan Sengaja Pergi Agar Dicari (Part 1)
"Jangan pergi agar dicari, jangan sengaja lari agar dikejar, berjuang tak sebercanda itu."

Pernah mendengar kutipan kalimat dari Sujiwo Tejo itu?
Menurutku itu benar. Aku merasa ditertawakan oleh baris kalimat itu sekarang.

Akulah si sok percaya diri yang mencoba sembunyi. Akulah si besar kepala yang sok-sok pergi. Berharap, dia akan mencariku seperti biasa. Berandai, dia akan mengejarku seperti yang dulu-dulu.

Aku lupa jika batas kesabaran manusia ada garisnya. Aku lalai jika level perjuangan seseorang ada titik akhirnya. Hingga saat kusadari dia telah benar-benar pergi.

“Lo gak harus dateng.”

Tepukan lembut di bahu dibarengi ucapan itu membuatku menoleh. Bertemu tatap dengan sepasang iris madu yang memandang sendu. Mungkin Eva prihatin padaku. Mungkin juga dia mengasihaniku. Atau justru menertawakanku? Menertawakan si bodoh ini.

Kembali aku menekuri kertas tebal di tangan. Kertas undangan dengan nama mempelai pria yang sangat aku kenal. Pria yang aku kira akan menjadi jodohku, dulu. Pria yang telah aku buat pontang-panting mengejarku, dulu.

Lalu kini ... dia memutuskan menyudahi perjuangannya. Dia memutuskan mengakhiri kekonyolan itu. Dan ... memilih cinta yang baru.

Rasanya ... entah bagaimana aku harus menjabarkannya. Di sini, di dalam dada ini seperti terimpit batu besar. Mencipta sesak dan sakit secara bersamaan. Jujur, aku tak pernah mengira dia benar-benar melakukannya. Pergi dariku dan mendapatkan pengganti.

Bukan, bukan dia yang jahat. Tapi aku. Aku yang telah puluhan kali menyakitinya. Aku yang telah berkali-kali mempermainkannya. Membuat dia terluka, luka yang tak kasat mata.

Lalu ... pantaskah aku mencegahnya?

Saat menerima undangan ini dari Eva beberapa menit lalu, aku sempat mengira bahwa ini hanya mimpi buruk yang datang di siang hari. Mimpi yang datang karena terlalu banyak beban pikiran. Mimpi yang hanya sebatas bunga tidur. Mimpi yang akan hilang setelah aku membuka mata.

Namun, faktanya semua itu nyata. Kertas ini asli. Nama orang di sana pun asli. Bukan sekadar halusinasi.

Aku kembali mengangkat kepala menatap Eva. Mencoba menarik sudut-sudut bibir, tersenyum, meski aku yakin itu gagal, karena suara yang keluar setelahnya, menegaskan segalanya. “Gue ... gak pa-pa,” ucapku terbata, sedikit serak karena menahan hasrat untuk meneteskan air mata.

Perempuan itu meraih tubuhku dalam pelukannya, mengusap punggungku berulang. Hal yang justru membuat tangisku pecah.

“Gak papa, nangis aja,” ucapnya nyaris hanya berupa bisikan.

“Gue bodoh banget, ya, Va,” ujarku di sela isak. “Bodoh banget ....” Air mataku bercucuran, berderai sepanjang pipi, dan berakhir membasahi baju sahabatku ini.

Eva tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya semakin intens mengusap punggungku. Mungkin dia tahu aku butuh meluapkan emosi terlebih dahulu.

“Harusnya gue sadar, harusnya gue gak terus-terusan bikin dia ngejar, harusnya gue ngehargain semua jerih payahnya, harusnya ....” Tenggorokanku tercekat, tak bisa melanjutkan kalimat. Sesak di dada kian bertambah kuat.

“Sshh ... bukan salah lo. Lo kan cuma pengen ngebuktiin seberapa besar cintanya.”

Aku melerai pelukan, kembali berhadapan dengan Eva. Lantas menggeleng kuat. “Enggak, Va! Gue udah berlebihan. Gue yang salah.” Aku menunjuk dada sendiri. Menegaskan bahwa aku yang salah. Aku yang memang pantas dihukum seperti ini.

“Iya ... iya ....” Eva mengusap jejak basah di pipiku dengan jemarinya. “Lo yang salah, tapi jangan nyalahin diri sendiri terus. Anggap aja kalian emang gak jodoh, hm?”

Menelan ludah kelat, aku tak langsung menanggapi ucapannya. Kembali, kupandangi kertas hitam dengan tinta emas itu. Meraba tanggal diadakannya acara. Seminggu lagi. “Menurut lo, gue gak harus dateng?” gumamku, tanpa menatap Eva.

“Kalau lo gak siap, gue rasa gak papa.”

Mengangkat kepala, aku menatapnya. “Menurut lo, kalau gue dateng apa yang bakal terjadi?”

Perempuan di sampingku itu mengerutkan kening beberapa saat, lantas mengedikkan bahu. “Nangis mungkin.”

Aku terkekeh, lalu mengangguk setuju. “Bisa jadi,” ujarku, “kalau gue nangis ... kira-kira dia bakal iba gak? Dia bakal belai kepalaku kayak biasanya gak? Dia bakal—”

“Ve ....” Eva menyentuh telapak tanganku, membuat racaunku berhenti. Pun seolah ingin menyadarkanku jika semua itu tak mungkin terjadi. Jika semua itu hanya mimpi.

Memalingkan kepala, agar tak harus menatapnya, aku menyeka kasar cairan bening yang menggenangi kelopak mata. Dalam hati merutuk kenapa aku secengeng ini. Entah sudah serupa apa wajah ini.

Lantas pandanganku menerawang ke arah dinding kaca itu. Pada luasnya cakrawala yang membentang. Tapi bukan birunya langit yang membuatku tertegun, sesuatu yang lain. Sebuah bayangan seolah terbentuk di sana. Serupa slide sebuah film yang menampilkan adegan tokohnya. Ada aku dan dia, si lelaki itu di sana.


Bersambung.

Sumber gambar: canva
Diubah oleh Astri.zee 13-07-2020 08:42
ceuhetty
teguhwidiharto
rinnopiant
rinnopiant dan 3 lainnya memberi reputasi
4
1.7K
9
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.