Kaskus

Story

wiwinindah10Avatar border
TS
wiwinindah10
Bakso Ular Part 7
Bakso Ular Part 7

POV Bang Kumis

Kisah Bang Kumis di latar belakangi asal usul di salah satu Desa di Provinsi Jawa Tengah. Sengaja tidak disebutkan secara detail, demi untuk menjaga nama baik dan agar tidak menimbulkan opini yang tidak diinginkan. Mohon maaf bila ada kekeliruan dalam menyebutkan nama tempat atau yang lainnya. Kisah ini hanya fiksi. Dalam hal ini, penulis hanya ingin membuat cerita lebih hidup.
***

Desa Sendang merupakan salah satu desa yang ada di Provinsi Jawa Tengah, diapit dan berbatasan langsung dengan dua kecamatan. Di sisi timur desa tersebut terhampar perairan waduk.

Desa Sendang pada awalnya dihuni oleh para pelarian Kerajaan Majapahit pada masa-masa keruntuhannya. Mereka lari karena enggan diperintah oleh Kesultanan Demak. Pasalnya, Kerajaan Demak memiliki keyakinan yang berbeda dengan mereka kala itu.

Akhirnya mereka lari ke berbagai penjuru, salah satunya di Desa Sendang itu sendiri. Mereka pun tidak langsung menempati lokasi balai desa. Namun, mereka memilih bermukim di dekat puncak bukit.

Semakin lama, jumlah kepala yang tinggal di sana semakin banyak karena para pelarian itu beranak pinak. Akhirnya beberapa keluarga memilih turun dari bukit dan membuat tempat tinggal baru. Dari situ muncul permukiman baru di kaki bukit itu.

Sebelum waduk itu dibangun, ada sungai yang mengalir di bawah bukit. Karena zaman dulu sungai dianggap sebagai sumber kehidupan, maka semakin banyaklah orang-orang yang tinggal di situ, dan jadilah Desa Sendang. Kata Sendang dipilih karena di sekitar aliran sungai tersebut ada beberapa sendang.
Di salah satu Sendang itu, menurut para leluhur ada makhluk yang menghuni.

Konon katanya makhluk seorang wanita cantik berwujud ular. Jika ada yang mandi atau hanya sekadar membasuh menggunakan air itu, maka siapa pun akan mendapat kutukan sampai ke anak keturunan mereka. Kutukan itu berupa kulit yang tiba-tiba bersisik seperti ular setelah air dari sendang itu mengenai kulit. Bisa hanya sebagian atau sekujur tubuh.

Menurut cerita, dulu seorang gadis cantik bernama Bhanuwati mendapat perlakuan tidak seronok oleh para pemuda desa di Sendang tersebut. Gadis itu adalah anak dari warga pendatang.

Kecantikan parasnya membuat para lelaki berlomba-lomba memikat hatinya. Terlebih dengan laki-laki yang mempunyai niat jahat.

Puncaknya saat Bhanuwati tengah mandi di Sendang, airnya yang jernih dan tempatnya yang indah membuatnya terlena ingin mandi di situ. Namun, siapa sangka, tanpa ia sadari beberapa pasang mata, sedang menikmati aktivitasnya.

Hingga akhirnya tiga orang pemuda itu menodai Bhanuwati secara bergilir.
Betapa sakit dan hancur hati gadis itu, jiwa raganya sudah dinodai. Rasa percayanya terhadap orang lain telah pupus, ia memutuskan bunuh diri.

Berendam di tengah sendang dan menyumpah serapahi semua warga di tempat itu. Hingga memberi sebuah kutukan yang mengerikan. Baginya satu kesalahan membuat semua warga di situ dinilainya buruk.

Bhanuwati tewas. Namun, mayatnya tidak ada. Konon kata orang yang dianggap paling pintar di desa tersebut, Bhanuwati menjadi pengikut dan istri dari siluman ular yang sebelumnya menjadi desas-desus penghuni asli di Sendang itu.

Dari jaman ke jaman, tempat itu menjadi tempat keramat. Tidak ada satupun warga yang mendekati sendang tersebut.
Namun, suatu hari. Di tahun 1978, seorang warga pendatang baru bernama Sukardi menikah dengan seorang wanita asli dari warga Sendang. Ia tidak percaya dengan kutukan yang ada di tempat itu.

Hingga tepatnya kala itu, Sukardi pulang dari sawah sore hari. Saat berjalan Sukardi tidak sengaja menginjak kotoran kerbau yang tercecer di tepi jalan. Orang zaman dulu membajak sawah masih tradisional, menggunakan kerbau. Untuk itu, masih sangat maklum jika di sepanjang jalan desa banyak kotoran kerbau.

Sukardi berniat membasuh kakinya, karena kebetulan sendang yang paling dekat adalah sendang keramat itu. Tanpa ragu, Sukardi mendekati sendang kemudian langsung membasuh kaki dan juga membasuh wajahnya yang dipenuhi keringat karena seharian bekerja.
Awalnya, Sukardi tak merasakan apa pun sampai rumah. Namun, ia merasakan gatal yang luar biasa saat akan tidur. Lama kelamaan istrinya yang tengah hamil tua terkejut mendapati wajah dan kakinya bersisik seperti ular.

Barulah Sukardi sadar dengan kutukan itu memang benar adanya, ia sangat menyesal. Semua keluarga dan semua tetangganya kini menjauhinya karena jijik. Bahkan istrinya juga tak mau serumah lagi dengannya, takut anaknya tertular. Padahal kutukan itu berlaku pada keturunannya.

Tinggalah Sukardi seorang diri, ia frustrasi karena semua orang menjauhinya. Hingga akhirnya ia memutuskan mengakhiri hidupnya, Sukardi bunuh diri dan meninggal.

Di tempat lain, istri Sukardi melahirkan seorang anak laki-laki. Namun, ia tidak bahagia dengan kelahiran anaknya yang sudah dinantinya sejak lama. Pasalnya, perut sang anak dipenuhi sisik ular, ia tak menerima anak itu. Terpaksa anak itu ia berikan pada dukun bayi yang sudah membantunya melahirkan. Malang nian nasib bayi itu, akan tetapi dukun bayi itu bersedia merawatnya.

Begitulah cerita yang dipaparkan pengasuhku. Dua puluh tahun sudah aku hidup bersama Mak Asih, seorang dukun bayi yang sudah mau merawatku dengan ikhlas. Meski keterbatasan ekonomi, meski aku memiliki kekurangan, ia tak pernah sekalipun mengeluh. Banting tulang dari pagi hingga sore hari demi untuk sesuap nasi.

Emak sudah lama ditinggal suaminya, saat pernikahannya yang baru seumur jagung. Suaminya merantau ke Kota, tapi sampai sekarang tidak pulang atau sekalipun mengirim kabar. Saat itu belum ada HP, Warung Telepon (Wartel) pun jarang. Mau mengirim surat juga tak tahu alamat suaminya. Jadi Emak hanya pasrah dan berharap suatu saat suaminya itu pulang menemuinya. Namun, sejak ada aku, Emak bilang tak lagi memikirkan suaminya. Entah bagaimana keadaannya sekarang.

Semua orang tahu bahwa aku bukan anak Mak Asih karena beliau sudah ditinggal suaminya, dan aku dilahirkan oleh Ibu Marni—istri Sukardi—yang terkena kutukan di sendang keramat itu. Kata Emak, Ibuku setelah melahirkanku jadi gila. Ia terus menyebutku anak kutukan, tentu saja orang lain jadi tahu posisiku. Sungguh ini tak adil untukku!

Namaku Marijan, aku tumbuh menjadi orang yang pendiam, kuper dan jarang sekali berkomunikasi dengan orang lain. Bahkan, orang-orang terkesan menjauhiku, menganggapku sebagai anak kutukan. Ibu kandungku saja tidak menerimaku, apa lagi orang lain. Hanya Mak Asih yang ikhlas dan tulus menerima diriku.

“Jan, ayo bantu emak ke pasar,” ucap wanita berusia 57 tahun itu. Namun, tubuh rentanya masih sangat bugar. Ia masih tak sungkan untuk bekerja sepanjang hari.

“Njeh, Mak,” jawabku seraya mengangkut semua sayur-sayur hasil panen di kebun belakang rumah.
Ada beberapa sayur yang bisa kami jual, seperti; kangkung, bayam, tomat dan yang lainnya. Kami akan berjualan dua atau tiga hari sekali, tergantung banyaknya panen yang kami dapat. Emak sudah cukup tua, ia tak lagi menjadi dukun bayi.

Saat tiba di pasar, baru saja kami menata barang dagangan, tiba-tiba tiga orang laki-laki bertubuh tinggi besar datang dan memaki-maki kami.

“Hey, Asih! Jika kau mau memberikan tanah di belakang rumahmu itu padaku, kau tidak akan repot terus-terusan berjualan seperti ini!” bentaknya sembari mengambil korek di saku celananya. Lalu menyalakan rokok dan menghisapnya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asap rokok itu hingga mengepul dan berterbangan ke mana-mana.

Namanya Bakri—orang paling kaya di desa kami—semua orang memanggilnya Juragan. Ia mempunyai tanah di mana-mana, hampir semua tanah di desa kami ia yang menguasai.

Sifatnya yang angkuh dan terkenal kejam, membuat kami tak ada yang berani menantangnya. Terlebih soal hutang, jika kami tak mampu membayar sesuai waktu dan perjanjian yang sudah ditentukan, ia tak segan mengambil tanah milik kami. Itulah sebabnya dia memiliki banyak tanah.

“Ma-maaf, Juragan. Sa-saya tidak akan memberikan tanah itu pada siapa pun, termasuk pada Juragan,” jawab Emak dengan suara yang gemetar. Aku hanya diam, tak berani melawannya.

“Halah, dasar keras kepala! Kalau kau tidak mau, cepat kau bayar hutang-hutangmu beserta bunganya sekarang juga!” hardiknya pada wanita tua yang terlihat menundukkan kepala.

“Masalah hutang nanti saya lunasi, Juragan. Tolong beri saya waktu lagi,” jawab Emak memelas. Tubuhnya terlihat berguncang menahan tangis dan rasa takut.

“Hahaha ... mau bayar pakai apa kau wanita tua!? Hutangmu banyak, keburu mati! Memangnya anak kutukan itu bisa membayarnya?” Seketika darahku mendidih, aku tak terima dengan ucapannya.

“Jaga ucapanmu, Juragan! Jangan hanya karena kami miskin Anda bisa seenaknya!” seruku pada laki-laki sombong itu seraya mengacungkan jari telunjuk ini pada wajahnya.

“Diam kau, Anak Kutukan!” Dia meludahiku, lalu mengacak-acak dagangan kami hingga tak tersisa.
Emak hanya menangis pasrah, dan aku dalam hati bersumpah akan membalas semua tindakkan mereka. Bagaimanapun caranya!

Kami pulang tanpa membawa apa pun. Hanya menelan sakit tanpa berbuat apa-apa. Namun, semua itu belum cukup. Saat kami pulang, betapa terkejutnya mendapati rumah dan kebun berantakkan. Semua tanaman rusak tanpa sisa. Siapa yang bisa melakukan ini kalau bukan Juragan Bakri dan anak buahnya. Aku semakin geram dengan perbuatannya, cukup sudah kami bersabar. Akan kubalas semua ini!
Aku berada di tepi sendang keramat. Hatiku dipenuhi amarah dan dendam, gara-gara Sendang ini, aku mendapat kutukan dan hidupku selalu dihina.

Tiba-tiba muncul seekor ular besar lagi mengerikan. Matanya merah menyala, sisiknya berwarna hitam pekat berpadu dengan kuning keemasan. Sesekali menjulurkan lidahnya, membuat rasa ngeriku kian bertambah. Seketika aku terlonjak.

Suara tawa menggelegar. “Tidak perlu khawatir, aku akan membantumu. Aku tahu, kau memiliki sisik ular di bagian tubuhmu. Justru itu bukan sebuah kutukan, tapi keistimewaan yang tidak dimiliki orang lain. Kau bisa meminta apa pun padaku.” Suara itu berasal dari ular besar yang tengah berhadapan denganku. Ular itu bisa bicara? Aku masih takut dan sama sekali tak tahu apa maksud ular itu.

“Si-siapa kau?” tanyaku takut-takut.

“Aku lah si Raja Ular, kau boleh meminta apa pun padaku. Pasti akan kukabulkan permintaanmu,” jelasnya.

“Be-benarkah? Apa pun itu?”

“Iya, apa pun. Kau bisa minta harta, tahta atau apa pun yang kau mau. Tapi, dengan syarat. Kau mau menukarnya dengan sesuatu yang berharga milikmu dan bersedia menjadi pengikutku,” jelasnya lagi. Terdengar suara desisan ya yang sangat berisik.

“Ba-baik, Tuan. Akan kupenuhi syarat itu, asal aku menjadi orang yang kaya dan terhormat. Hingga tidak ada lagi orang yang berani menghinaku!” Tanpa pikir panjang aku menyanggupinya. Lagipula, aku tak memiliki sesuatu yang berharga dalam hidupku selama ini.

Tak kusangka, sisik yang ada pada tubuhku bisa membawa kesejahteraan dalam hidup. Hanya yang bisa memiliki sisik ular sepertiku yang bisa menjadi pengikut Raja Ular di sendang keramat ini.

Tak lama cahaya terang muncul di hadapanku, lalu perlahan hilang bersama munculnya sebuah kotak berukuran sedang berwarna emas. Aku mematung, kedua mata ini menatap lekat kotak itu.

“Ambilah! Itu untukmu,” ucap Ular itu.

“A-apa itu, Tuan?” jawabku sedikit takut, seraya mengambil kotak yang berada tepat di bawah ular besar itu. Tanganku gemetar.

“Buka saja, setelah itu kau akan menjadi orang yang paling beruntung. Hahaha ....” Ucapanya masih tak bisa aku pahami.

Aku penasaran dan segera membukanya. Seketika mata ini melotot demi apa yang sedang aku saksikan, antara percaya atau tidak. Beberapa kali mengucek mata, dan menelan saliva berat.

Beberapa koin emas dan perhiasan bercampur jadi satu di dalam kotak itu. Kemudian aku meraba dan mengambilnya satu persatu, baru kali ini melihat koin emas dan perhiasan begitu banyak. Aku senang bukan kepalang, sebentar lagi aku akan menjadi orang paling kaya di desa ini. Bahkan lebih kaya dari Juragan Bakri. Akan kubalas kesombongan mereka!

Aku bergegas pulang, ingin kuperlihatkan isi dalam kotak ini pada Emak. Pasti dia sangat senang.

“Emak ...!” seruku begitu semangat. Namun, tak ada jawaban.

“Maaak! Lihat ini, Marijan bawa apa.” Lagi, tidak ada jawaban.

Kucari Emak di setiap sudut ruangan. Namun, tak kudapati tubuh rentanya. Di mana Emak? Lalu aku teringat, belum sempat mengecek di kamar tidurnya.
Saat sudah di depan kamar Emak, aku mendengar suara desisan dari dalam sana. Sangat jelas, karena kamar Emak hanya ditutup menggunakan tirai. Suara apa itu? Rasa penasaran membuatku segera membuka tirai itu, dan ....

“Emaaak!” Aku terkejut mendapati tubuh Emak tengah dililit ular besar yang baru saja kutemui di sendang keramat tadi. Inikah harga yang harus kubayar dengan semua yang ada di dalam kotak ini?

Aku menangis meraung-raung, tak menyangka jika nyawa Emak-lah yang menjadi pertukaran itu. Hanya dengan iming-iming sebuah ambisi, harta paling berharga menjadi taruhannya. Kini, nasi sudah menjadi bubur, ternyata Emak sudah kujadikan tumbal tanpa disengaja, Raja Ular itu sudah menghisap habis darah Emak.

Melihat itu aku pasrah, mundur pun sudah tidak bisa karena aku sudah terikat dengan ular itu. Jika aku melanggar, nyawaku juga akan lenyap. Maafkan aku, Mak!

Kini, aku hanya akan meneruskan dendamku pada orang-orang yang sudah menghinaku selama ini.

Aku telah dibutakan oleh ambisi, hidup miskin dan dijauhi orang-orang karena dijuluki ‘Anak Kutukan’ membuatku menjadi manusia pendendam, lagi tak punya hati. Aku bahkan mampu menumbalkan Juragan Bakri untuk memikat anaknya yang bernama Ningsih untuk menjadi istriku.

“Marijan adalah namaku. Orang-orang mengenalku sebagai Bang Kumis sekarang.” Aku terkekeh, sembari menyesap sebatang rokok dengan penuh kenikmatan.

“Siapa pun yang berani menggangguku, tidak akan aku ampuni! Tidak ada yang bisa mengacaukan hidupku, terlebih membunuhku! Tuanku sudah melindungi tubuhku, aku akan mati hanya jika perut bersisik ini terkena air garam.”

Bersambung...
Richy211
silvershark008
tien212700
tien212700 dan 5 lainnya memberi reputasi
6
1.8K
21
Thread Digembok
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Heart to Heart
Heart to Heart
KASKUS Official
22.5KThread32.6KAnggota
Urutkan
Terlama
Thread Digembok
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.