Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

beritamoneterAvatar border
TS
beritamoneter
Menelusuri Jejak Kasus Jiwasraya
Menelusuri Jejak Kasus Jiwasraya

Kasus PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) yang merupakan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mencuat ke publik pada akhir tahun 2019. Kemudian menjadi perbincangan publik dan berita media sampai awal tahun 2020. Kemudian berita dan informasi kasus tersebut sempat tenggelam ditengah merebaknya Pandemi Covid-19.

Berita dan informasi kasus Jiwasraya muncul lagi pada awal bulan Juni 2020 dengan dimulainya persidangan terdakwa kasus tersebut. Tulisan singkat mecoba menelusuri jejak kasus Jiwasraya. Data dan informasi yang digunakan berdasarkan jejak digital dari sumber berita mainstream yang penulis anggap valid dan kredibel.

Tulisan ini dibagi menjadi lima bagian. Setelah pengantar dilanjutkan dengan kronologi kejadian kasus Jiwasraya. Kemudian disajikan pendapat Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI), dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terkait kasus Jiwasraya.

Selanjutnya merupakan catatan mengenai industri full and heavy regulated. Bagian terakhir merupakan penutup.

Kronologi

Kasus Jiwasraya sudah mulai muncul ke permukaan sejak tahun 2018, karena masalah seretnya likuiditas atau krisis keuangan. Kemudian kasus Asuransi Jiwasraya pertama kali ke publik pada pertengahan Desember 2029, setelah manajemen Jiwasraya tak mampu lagi membayar polis nasabah dengan total kerugian senilai Rp 12 triliun.


Ternyata, kasus Jiwasraya merupakan puncak gunung es yang baru mencuat. Jika dilacak, permasalahan Jiwasraya sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 2000-an.

Pada tahun 2006. Kementerian BUMN dan Bapepam-LK menyatakan ekuitas Jiwasraya tercatat negatif Rp3,29 triliun. Pada tahun 2008, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) memberikan opini disclaimer (tidak menyatakan pendapat) untuk laporan keuangan 2006-2007 lantaran penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.

Defisit perseroan semakin lebar, yakni Rp5,7 triliun pada 2008 dan Rp6,3 triliun pada 2009.

Selanjutnya pada 2012, Bapepam-LK memberikan izin produk JS Proteksi Plan?JS Saving Plan pada 18 Desember 2012. Produk tersebut dipasarkan melalui kerja sama dengan bank (bancassurance). Produk ini ikut memperparah keuangan PT. Asuransi Jiwasraya karena produk tersebut menawarkan bunga tinggi, yakni 9 persen hingga 13 persen.

Pada bulan Oktober-November 2018, masalah tekanan likuiditas Jiwasraya mulai tercium publik. Manajemen PT. Asuransi Jiwasraya mengumumkan tidak dapat membayar klaim polis jatuh tempo nasabah JS Saving Plan sebesar Rp802 miliar. Selanjutnya pada November 2018, pemegang saham menunjuk Hexana Tri Sasongko sebagai Dirut PT. Asuransi Jiwasraya (Persero).

Dirut baru tersebut mengungkap Jiwasraya membutuhkan dana sebesar Rp32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas (RBC) 120 persen. Selain itu, aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp23,26 triliun, sedangkan kewajibannya mencapai Rp50,5 triliun.

Kondisi tersebut menjadikan ekuitas Jiwasraya negatif sebesar Rp27,24 triliun. Sementara itu, liabilitas dari produk JS Saving Plan yang bermasalah tercatat sebesar Rp15,75 triliun.

Pendapat BPK dan OJK

Terkait dengan kasus Jiwasraya, BPK RI mencatat bahwa total kerugian negara terkait kasus dugaan korupsi PT Asuransi Jiwasraya mencapai belasan triliun rupiah. Metode yang digunakan BPK RI dalam melakukan perhitungan kerugian negara adalah total loss, di mana seluruh saham-saham yang diduga dibeli secara melawan hukum dianggap berdampak dan nilai kerugian negaranya adalah sebesar Rp16,81 triliun.

Dari total kerugian itu terdiri atas kerugian negara investasi saham sebesar Rp 4,65 triliun dan kerugian negara akibat investasi di reksa dana Rp12,16 triliun. Perhitungan kerugian negara itu terkait dengan salah satu skema di Jiwasraya yang dikenal dengan JS Saving Plan.

Salah satu sumber permasalahan terkait dengan JS Saving Plan dari 2008 sampai dengan tahun 2018. BPK RI membuat pernyataan resmi terkait skandal Jiwasraya. Salah satunya, laba perseroan sejak 2006 disebut semu karena melakukan rekayasa akuntansi (window dressing).


Selanjutnya OJK menilai kasus gagal bayar polis yang dialami PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terjadi karena pemegang saham tidak berhasil mengawasi tata kelola perusahaan.

Dalam kasus ini regulator (OJK) merupakan penjaga lapis ketiga atas kondisi suatu industri, termasuk industri asuransi. Pihak yang seharusnya memiliki peran lebih besar adalah pemegang saham sebagai pemilik atau lapis pertama dan komisaris sebagai lapis kedua.

Dalam kasus Jiwasraya ini,  Kementerian BUMN selaku pihak yang diberi kuasa oleh bendahara negara merupakan pihak yang pertama kali seharusnya memahami kondisi perusahaan. Demikian juga komisaris yang ditunjuk oleh pemegang saham. Instrumen dalam sebuah perusahaan ini seharusnya mampu menjaga tata kelola yang baik dalam asuransi tertua di Indonesia tersebut.

Komisaris dapat menggunakan tools untuk pengawasan terhadap kinerja keuangan perusahaan, di antaranya dengan menggunakan Kantor Akuntan Publik (KAP) untuk memastikan perusahaan membuat laporan keuangan yang transparan dan akuntabel.

Industri Full and Heavy Regulated

Banyak pihak menyatakan bahwa kasus Jiwasraya adalah modus kasus manipulasi keuangan yang canggih dan sulit, karena pelaku-pelakunya berusaha melakukan manipulasi akuntasi dan rekayasa keuangan.

Membutuhkan ketelitan dan kejelian membaca neraca keuangan dan bentuk investasi yang dilakukan manajemen Jiwasraya.


Salah satu faktor penyebab, Jiwasraya adalah perusahaan tertutup, sehingga relatif sulit dilacak dan dimonitor setiap saat laporan keuangannya. Berbeda jika perusahaan publik yang tercatat di pasar modal, kemungkinan terjadinya kasus Jiwasraya dapat dicegah lebih awal dikarenakan kinerja keuangan perusahaan lebih transparan adan akuntabel.

Kondisi tersebut memudahkan regulator dan publik unntuk mengetahui kinerja perusahaan publik. Berdasarkan informasi kinerja keuangan maka nasabah pun sejak dari awal dapat diberikan peringatan dini (early warning) untuk tidak membeli polis yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi yang kinerja keuangan kurang/tidak baik.

Seperti diketahui, sejak tahun 2006-2017 PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) melakukan window dressing yaitu strategi yang dilakukan perusahaan untuk merekayasa laporan keuangan. Dalam periode tersebut, Jiwasraya selalu membukukan laba dan bebas utang meningkat tajam.


Banyak pihak menganggap, lemahnya penegakan peraturan dan pengawasan oleh OJK sebagai lembaga independen yang diberikan kewenangan untuk mengawasi industri keuangan menyebabkan terjadinya kasus Jiwasraya.

Sebenarnya industri asuransi adalah industri full and heavy regulated (regulasinya banyak dan sangat ketat), laporan keuangan perusahaan diminta, baik laporan bulan, triwulanan, enam bulanan dan tahunan.

Intinya regulasi dalam industry asuransi sangat ketat. Berdasarkan kondisi tersebut, sementara pihak banyak yang mempertanyakan mengapa kasus Jiwasraya bisa terjadi? Di sisi lain, OJK telah diberikan kekuasaan penuh melalui Undang-undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan.

Kewenangan tersebut antara lain memberikan izin operasi perusahaan asuransi, mengeluarkan izin berbagai produk asuransi, mengawasi perusahaan asuransi, hingga membuat aturannya.


Kasus Jiwasraya telah masuk ke sidang pengadilan. Masyarakat berharap bahwa dari persidangan akan terungkap secara transparan permasalahan yang menimpa PT. Asuransi Jiwasraya (Persero).

Menurut penulis, kasus Jiwasraya dan beberapa kasus lain yang sejenis ke depan seharusnya tidak terjadi. Regulasi dan aturan main dalam industri keuangan (perbankan dan non perbankan) sudah memadai dan sangat ketat, sehingga yang diperlukan lebih pada fungsi pengawasan dan penegakan dari regulasi tersebut.

Dalam jangka pendek dan jangka panjang, solusi kasus Jiwasraya di luar solusi hukum, harus dilakukan oleh pemerintah (c.q Kementerian BUMN). Salah satu angkah Kementerian BUMN menyelamatkan Jiwasraya dengan cara membentuk holding BUMN Asuransi.

Dalam skema itu, Jiwasraya akan dibantu pendanaan oleh BUMN lainnya dengan imbalan sinergi, sehingga menjadi semacam subsidi silang.

Langkah tersebut penting untuk dilakukan agar Jiwasraya mampu membayar kewajiban kepada para nasabah pemegang polis, jika perlu ada suntikan modal ke Jiwasraya.


Kementerian Keuangan yang sampai sekarang belum merealisasikan amanat Undang-undang (UU) Nomor 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Sebab, dalam Bab XI Perlindungan Polis, Tertanggung atau Perserta, Pasal 53 Ayat (1) menyebutkan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah wajib menjadi peserta program penjaminan polis.

Bahkan dalam Pasal 4 UU Nomor 40 Tahun 2014 juga mengatur mengenai UU sebagai payung hukum program penjaminan polis dibentuk paling lama tiga tahun sejak regulasi tersebut diundangkan atau pada 2017. Dengan demikian regulasi penjaminan polis agar segera dapat diwujudkan.

Sebagai penutup, penulis berharap semua pihak (Pemerintah/Kementerian BUMN dan OJK) melakukan innstropeksi dan belajar dari kasus ini agar tidak terulang lagi di masa mendatang. Pengawasan harus lebih ketat, penegakan aturan-aturan corporate governance dan sanksi yang tegas untuk para manajemen/pengelola yang terlibat.



Sumber :https://www.beritamoneter.com/menelu...us-jiwasraya/
0
538
5
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.1KThread41.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.