si.matamalaikatAvatar border
TS
si.matamalaikat
H.O.S Tjokroaminoto, Sang Raja Jawa Tanpa Mahkota
Kembali lagi ditulisan sejarah ane gan sist, kali ini TS akan berbagi sedikit wawasan mengenai sosok pahlawan nasional yang punya peran penting dalam perkembangan Indonesia pada masanya. H.O.S Tjokroaminnoto adalah sosok yang akan kita bahas kali ini, setiap membaca kisahnya TS dibuat merinding. Karena kisah perjuangannya selalu membangkitkan semangat dalam diri ini, dan perlahan mulai menginspirasi TS untuk bangga telah menjadi bagian tanah air Indonesia. Mari kita mulai episode panjang ini, siapkan cemilan dan kopi agat tidak bosan sampai akhir episode nanti.



Keluarga Ningrat


Sebelum bergelar haji dan disebut dengan nama H.O.S Tjokroaminoto, sewaktu lahir beliau diberikan nama Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto oleh orangtuanya. Beliau dilahirkan di desa Bakur, tanggal 16 Agustus 1882 di Kota Reog, Ponorogo. Oemar Said mendapatkan gelar bangsawan dari nenek buyutnya, yang merupakan putri Susuhunan, salah satu bangsawan dari Surakarta.


Kakek buyut beliau merupakan ulama ternama, yang bermama Kyai Bagoes Kesan Besari. Ulama yang memiliki pondok pesantren di Desa Tegal Sari, Kabupaten Ponorogo. Dulu kakek buyut dari Oemar Said memperistri seorang putri dari Susuhunan II. Dengan pernikahan itu, Kyai Bagoes resmi menjadi keluarga Keraton Surakarta. Dari sang nenek buyutnya lah Oemar Said mendapat gelar Raden Mas-nya.


Dari pernikahan dengan putri Susuhunan tersebut, Kyai Bagoes Kesan Besari dikaruniai seorang putra yang bernama Raden Mas Tjokronegoro. Dalam kehidupannya, Tjokronegoro tidak mengikuti jejak sang ayah sebagai seorang ulama atau menjadi pemimpin pondok pesantren. Tjokronegoro memilih pekerjaan dipemerintahan, sebagai pegawai pemerintah dimasa Kolonial Belanda. Dalam kariernya, Tjokronegoro pernah menduduki jabatan penting, diantaranya sebagai bupati di Ponorogo. Oleh karenanya, ia dianugrahi bintang jasa Ridder der Nederlansche Leeuw dari pemerintah Hindia Belanda.




H.O.S Tjokroaminoto

Sumber



Tjokronegoro dianugrahi seorang putra, yang diberi nama Raden Mas
Tjokroamiseno. Tjokroamiseno juga mengikuti jejak ayahnya dengan bekerja sebagai pegawai pemerintahan pula. Tjokroamiseno juga pernah menduduki jabatan penting pemerintahan, antara lain sebagai wedana di Kawedanan Kletjo, Madiun. Kawedanan sendiri adalah wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan, berlaku pada masa Hindia Belanda. Pemimpinnya disebut sebagai wedana.


Raden Mas Tjokroamiseno adalah ayah dari Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokoroaminoto adalah anak ke dua dari 12 bersaudara, berikut nama 11 saudaranya.


Quote:



Masa Remaja Tjokroaminoto


Tjokroaminoto dulu dikenal sebagai anak yang nakal dan pemberani. Karena kenakalan dan keberaniannya, semasa di sekolah ia sering dikeluarkan dari sekolah. Kemudian ia pindah dari satu ke sekolah yang lain, walaupun demikian ia memiliki kecerdasan yang luar biasa.


Berkat kecerdasannya, Tjokro berhasil masuk ke sekolah OSVIA
(Opleidings School Voor Inlandsche Ambtenaren)
, di Magelang. Pada tahun 1902 ia berhasil menyelesaikan sekolahnya disana. OSVIA merupakan sekolah elite pada zaman Belanda, tak sembarang orang bisa sekolah disini. Biasanya anak dari pejabat pemerintah sampai anak-anak priyayi, yang bisa masuk sekolah ini.





Foto lawa sekolah OSVIA.

Sumber



Tentu anak pejabat dan priyayi dimasukkan ke OSVIA, dengan harapan kelak dapat menjadi seorang pejabat dalam pemerintahan Belanda. Sebagai seorang anak darah biru, Tjokroaminoto telah dijodohkan oleh orangtuanya dengan anak priyayi pula. Wanita itu bernama Raden Ajeng Soeharsikin, putri
seorang wakil bupati Ponorogo yang bernama Raden Mas Mangoensomo.


Raden Ajeng Soeharsikin, setelah menikah lebih dikenal dengan nama Raden Ayu Tjokroaminoto. Sosoknya dikenal sebagai wanita yang halus budi pekertinya, baik perangainya, serta besar sifat pengampunannya dan juga cekatan. Meski tidak tinggi pendidikan sekolahnya, namun ia sangat menyukai ilmu pengetahuan dan pengajian agama. Menurut asal-usulnya, beliau merupakan keturunan Panembahan Senopati dan Ki Ageng Mangir dari Madiun.



Ketika Harus Memilih, Suami Atau Keluarga ?


Keteguhan dan kecintaan Soeharsikin pada Tjokroaminoto dibuktikan sejak awal masa pernikahan, ketika itu dirinya dipaksa untuk memilih antara
berpisah dengan orang tuanya atau dengan Tjokroaminoto. Hal ini bermula ketika Tjokroaminoto berselisih dengan sang mertua. Perselisihan ini berawal dari
perbedaan pandangan antara keduanya, Tjokroaminoto tidak berkeinginan menjadi seorang birokrat (pegawai pemerintahan). Sedangkan mertuanya menginginkan Tjokroaminoto menjadi birokrat, sang mertua sebenarnya sudah menyiapkan rencana agar Tjokroaminoto menjadi bupati Ponorogo.


Mertuanya memang masih bersifat kolot, berpikir dengan mempunyai kedudukan penting dipemerintahan adalah cara hidup yang tepat. Apalagi mereka keturuanan darah biru, dimana waktu itu para bangsawan darah biru mulai banyak yang masuk pemerintahan. Mereka diberi gaji oleh pemerintah Hindia Belanda. Pada waktu itu Tjokroaminoto sudah berkarier selama tiga tahun dibidang pemerintahan, dimana ia menjadi juru tulis patih di Ngawi.




Potret Soeharsikin, istri Tjokroaminoto.

Sumber



Perbedaan pandangan antara mertua dan menantu semakin hari semakin memanas, Tjokroaminoto pun mengambil tindakan nekat. Dia meninggalkan rumah kediaman mertuanya, disaat sang istri sedang mengandung anak pertamanya.
Tindakan nekat Tjokroaminoto ini menimbulkan kemarahan serta kebencian Mangoensoemo, ia memaksa anaknya untuk bercerai dengan Tjokroaminoto. Sebab kepergiannya dinilai telah mencoreng martabat dan kehormatan keluarga.


Dihadapkan situasi sulit, Soeharsikin secara tegas tetap memilih suaminya, Tjokroaminoto. Jawaban dari Soeharsikin membuat kedua orang tuanya terdiam dan tidak mampu berbuat apa-apa.
Tepat setelah Soeharsikin
melahirkan anak pertamanya, ia bersama anaknya meninggalkan rumah untuk menyusul Tjokroaminoto. Namun beberapa waktu berselang, ia berhasil ditemukan oleh pesuruh ayahnya
yang menyusul untuk memintanya kembali. Ia pun kembali ke rumah orangtuanya, sementara Tjokroaminoto tetap berada diperantauan.


Menjadi Kuli di Semarang


Tak pernah terbayangkan seorang ningrat memilih menjadi kuli di pelabuhan Semarang, hal itu dilakoni Tjokroaminoto ketika sampai di kota Semarang.
Waktu itu tahun 1905, untuk menyambung hidup di Semarang, ia tidak segan menjadi kuli pelabuhan disana. Pengalaman yang tak terlupakan, mendorongnya untuk lebih memperhatikan kehidupan kaum buruh. Baik buruh di perkebunan, kereta api, pengadilan, pelabuhan dan sebagainya. Beliau juga yang mempelopori berdirinya ’Sarekat Pekerja’, yang bertujuan mengangkat harkat kaum buruh.


Karena merasa sulit berkembang di Semarang, beliau memutuskan pindah ke Surabaya. Kemudian ia bekerja pada sebuah firma yang
bernama Kooy & Co, yang merupakan sebuah perusahaan dibidang pedagangan untuk membiayai sekolahnya. Disamping bekerja beliau juga melanjutkan pendidikannya. Pada tahun 1907-1910, dia melanjutkan pendidikan di sekolah B.A.S (Burgerlijke Avond School), merupakan Sekolah Teknik Sipil Jurusan Mesin.Setelah menamatkan sekolahnya di B.A.S, Tjokroaminoto sudah tidak tertarik lagi untuk meneruskan pekerjaannya di perusahaan dagang itu.


Kemudian ia berhenti dari pekerjaannya selama satu tahun, dari tahun 1911 sampai 1912. Ia sempat menjadi leerling machinist (juru mesin) dalam kurun waktu itu. Kemudian ia mulai bekerja lagi ke
sebuah pabrik gula, pabrik itu bernama Rogojampi. Dekat kota Surabaya sebagai seorang chemiker, chemiker sendiri adalah istilah dari bahasa Belanda. Merupakan sebutan untuk kepala bagian giling di dalam pabrik gula.




Ilustrasi Pelabuhan Seamarang

Sumber



Diantara banyak pekerjaan yang pernah ia lakoni, pekerjaan sebagai jurnalistik yang paling disukainya. Beliau mengembangkan bakat dan kemampuannya dalam bidang itu, dengan memasukkan tulisannya dalam berbagai surat kabar pada masanya. Beliau pernah menjadi pembantu pada sebuah surat kabar di kota Surabaya, yaitu Suara Surabaya.


Bakatnya ini semakin tampak jelas, ketika dikemudian hari ia menjadi pemimpin Sarekat Islam dan PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) dimana ia mampu menerbitkan beberapa surat kabar harian dan mingguan serta majalah, yaitu surat kabar Oetoesan Hindia, surat kabar Fajar Asia, dan majalah Al-Jihad. Ia mulai menyadari fungsi utama dari surat kabar dan majalah sebagai alat perjuangan.


Dukungan Penuh Sang Istri


Setelah cukup lama merantau, Tjokroaminoto memutuskan untuk
menetap di Surabaya dan membawa serta istri dan lima anaknya. Lima anak beliau yaitu Siti Oetari, Oetarjo alias Anwar, Harsono alias Moestafa Kamil, Siti Islamijah, dan Soejoet Ahmad. Walaupun dalam suasana sederhana, keluarga ini hidup harmonis dan berbahagia. Sang istri Soeharsikin memberikan dukungan moral yang besar kepada
suaminya. Jika Tjokroaminoto bepergian, istri yang sederhana dan setia ini selalu mengiringi kepergian suaminya dengan sembahyang tahajud, puasa dan berdoa untuk suaminya.


Banyak orang yang mengakui bahwa ketinggian derajat yang
diperoleh dan dimiliki Tjokroaminoto, sebagian besar berkat bantuan sang istri. Tak heran jika ada pepatah dibalik suami yang hebat, pasti ada wanita tangguh disampingnya itu adalah benar adanya. Untuk membantu ekonomi keluarga, Soeharsikin membuka rumahnya di Kampung Peneleh untuk indekos para pelajar di Surabaya. Pelajar yang mondok di rumah Tjokroaminoto waktu itu sekitar 20 orang. Kebanyakan mereka bersekolah di M.U.L.O (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) dan H.B.S (Hollands Binnenlands School).


Pelajar yang mondok tersebut juga menjadikan sosok Tjokroaminoto sebagai guru, inspirasi , dan teladan. Para siswa yang indekos waktu itu adalah Soekarno, Kartosoewiryo, Semaoen, Sampoerno, Abikoesno, Alimin dan Moesso. Mereka tidak hanya makan dan tidur di rumah Tjokroaminoto, tapi juga sering berdiskusi baik dengan sesama teman maupun dengan Tjokroaminoto sendiri.




Rumah kos yang jadi saksi sejarah, masih berdiri di Kampung Peneleh, Surabaya.

Sumber



Rumah Tjokroaminoto ibarat kawah Candradimuka yang terus menggembleng dan membangun ideologi kerakyatan, demokrasi, sosialisme, dan anti imperialisme. Dalam mendidik anak-anak maupun mengatur para pelajar yang indekos, Soeharsikin dan Tjokroaminoto sangat disiplin meskipun tetap akrab. Untuk anak-anaknya diberi pendidikan dengan baik, tidak hanya pendidikan
duniawi tetapi juga pendidikan agama. Seperti mendatangkan guru untuk mengajar membaca Al-Qur’an ke rumah.


Sedangkan disiplin yang diterapkan untuk para pelajar yang indekos salah satunya sempat diceritakan oleh Soekarno berikut ini, ”Bu Tjokro sendiri yang mengumpulkan uang makan kami setiap minggu. Dia membuat peraturan seperti makan malam jam sembilan dan yang terlambat tidak akan dapat makan, anak sekolah sudah harus ada di kamarnya jam 10 malam, harus bangun jam 4 pagi untuk belajar, dan main-main dengan anak gadis sangat dilarang. Memang rata-rata penghuni kostnya adalah murid laki-laki waktu itu, sehingga acara main perempuan sangat dilarang oleh Bu Tjokro.



Ikut Dalam Pendirian Sarekat Islam


Sebelum Sarekat Islam dibentuk, terlebih dulu lahir sebuah ormas keamanan dengan nama Rekso Roemekso di Kota Solo yang dibentuk oleh H.Samanhoedi. Ormas ini termasuk ilegal, karena belum dapat legalitas dari Pemerintah Kolonial Belanda. Hal ini sempat diceritakan Samanhoedi kepada kenalannya yang bernama Djojomargoso, sang kenalan berjanji untuk mengurus masalah legalitas ini.


Djojomargoso lantas menghubungi Martodharsono, mantan jurnalis sekaligus redaktur Medan Prijaji. Surat kabar yang dimiliki seorang bangsawan berdarah ningrat Solo bernama Tirto Adhi Soerjo, Martodharsono yang mendapat kabar itu lantas menghubungi mantan bosnya, Tirto pun bersedia membantu. Tirto juga memimpin perhimpunan resmi yaitu Sarekat Dagang Islam (SDI), yang berdiri di Bogor pada 1909.


Setiap hari petugas kolonial datang untuk menanyakan legalitas ormas Rekso Roemekso. Martodharsono yang kerap menghadapi pertanyaan itu, memberi jawaban bahwa Rekso Roemekso adalah biro SDI yang berpusat di Bogor dan akan segera disahkan. Tirto pun tiba di Solo pada akhir awal Februari 1911, ia pun mulai merumuskan AD/ART Rekso Roemekso. Tanggal 11 November 1911, Rekso Roemekso resmi menjadi bagian SDI cabang Surakarta dengan AD/ART yang diteken langsung oleh Tirto Adhi Soerjo selaku ketua umum dewan pengurus pusat.




Sumber


H.Samanhoedi membentuk organisasi itu sebenarnya untuk melawan dominasi pedagang keturunan Tionghoa di Solo, yang juga memiliki organisasi bernama Kong Sing. Akibat persaingan dagang, sering terjadi pertikaian antara Kong Sing dengan Rekso Roemekso. Persaingan merembet ke perkelahian, kerap berlangsung di jalan kecil di Laweyan dan pusat perdagangan Kota Solo. Rekso Roemekso pada masanya, juga melakukan boikot massal terhadap perusahaan dan produk peranakan Cina.


Anggota Rekso Roemekso tercatat menembus 35 ribu orang pada Agustus 1911. Semakin besarnya jumlah anggota dan pengaruh SDI membuat Samanhoedi ingin lepas dari bayang-bayang Tirto Adhi Soerjo. Mulai muncul konflik internal, Hingga Samanhoedi dan Tirto mulai pecah kongsi. Sadar diri kurang bagus dalam berorganisasi, Samanhoedi merangkul pria muda berotak cemerlang bernama Oemar Said Tjokroaminoto. Tjokroaminoto yang berada di Surabaya, dipanggil ke Solo untuk merumuskan ulang AD-ART rumusan Tirto Adhi Soerjo.


Tjokroaminoto pun menyarankan agar SDI berganti nama jika ingin lepas dari Tirto Adhi Soerjo, Tjokroaminoto mengusulkan agar SDI diubah menjadi Sarekat Islam (SI). Kata “dagang” membatasi ruang gerak organisasi tersebut, Tjokroaminoto berpendapat, penghilangan kata “dagang” akan memberikan dampak positif. Karena organisasi bisa mencakup seluruh golongan dan tidak bergerak di sektor perdagangan, melainkan juga di ranah politik. Pada akhirnya SI lebih cenderung turun di kancah politik ketimbang menangani jual-beli.


AD/ART rumusan Tjokroaminoto selesai pada 14 September 1912, dan dikirimkan kepada pemerintah di Batavia untuk mendapatkan pengakuan resmi. Sarekat Dagang Islam resmi punya nama baru Sarekat Islam (SI), berkat Tjokroaminoto SI berkembang pesat. Cabang pertama berdiri di Kudus pada September 1912. Akhir 1912 hingga awal tahun 1913, SI semakin meluas. Hampir seluruh Jawa ada cabang SI, termasuk Madiun, Ngawi, Ponorogo, Semarang, Yogyakarta, Batavia, Bogor, Purwakarta.




Saat Kongres SI

Sumber



Sukses Tjokroaminoto dalam membangun SI diraih berkat koneksi yang dimiliki, Jawa Tengah dan Jawa Timur telah dikuasai bersama Samanhoedi. Untuk Yogyakarta, ia merangkul pendiri Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Raden Goenawan, mantan tokoh Boedi Oetomo yang bersama Marthodarsono bekerja di Medan Prijaji, menjadi perantara Tjokroaminoto dengan merekrut ribuan anggota SI di Batavia dan seluruh pelosok Jawa Barat.


Tjokroaminoto mengambil kendali penhuh SI dari Samanhoedi, dalam Kongres SI ke-2 di Yogyakarta pada 19-20 April 1914. Ia terpilih sebagai ketua baru, H.Samanhoedi disingkirkan dari kepengurusan pusat SI dan mengisi jabatan tanpa kewenangan sebagai ketua kehormatan. Kantor pusat SI dipindagkan dari Solo menuju Surabaya.


Tjokroaminoto juga sempat memimpin Tentara Kandjeng Nabi Mohammad (TKNM) di Surabaya awal Februari 1918, dan menggerakkan aksi bela Islam atas respons tulisan di majalah Djawi Hiswara yang dianggap menghina Nabi Muhammad. Massa SI kala itu berjumlah 450 ribu orang, dan tahun 1919 anggota SI menjadi 2,5 juta orang. Setelah bergelar haji, nama Tjokroaminoto sering dipanggil dengan nama H.O.S (Haji Oemar Said) Tjokroaminoto.


Bersama Agus Salim dan
Abdul Moeis, Tjokroaminoto membesarkan Sarekat Islam hingga menjadi organisasi pergerakan pertama yang berskala nasional. Mampu menarik anggota sebanyak 2,5 juta orang. Ketiga tokoh tersebut memiliki latar belakang yang berbeda, Tjokroaminoto keturunan ningrat Jawa, sementara Agus Salim adalah keturunan bangsawan di Padang, Abdul Moeis sebenarnya juga berasal dari keturunan bangsawan di Padang namun dibesarkan di Palembang. Ketiganya menjadi ’Tiga Serangkai’ pejuang muslim yang amat disegani.


Tjokroaminoto pun mendapat julukan Raja Jawa Tanpa Mahkota dari pemerintah kolonial, karena aksinya mampu menghimpun banyak massa. Dimana setelah perang Jawa usai dibawah pimpinan Diponegoro, tidak ada lagi sosok pemimpin Jawa yang mampu membangkitkan semangat perjuangan rakyat pada masanya. Bukan dengan bambu runcing dan mengokang senjata, serta pedang. Tjokro bergerak melalui organisasi dan juga surat kabar, menjadikan pergerakan baru diera modern yang berhasil menyatukan seluruh orang di Pulau Jawa. Tak berlebihan, jika beliau dijuluki sebagai Raja Jawa Tanpa Mahkota.



Referensi: 1.2.3.4.6.7
Ilustrasi: google image



Tulisan ini belum berakhir, ada lanjutannya dipost 1 gan sist. Ketika perseteruan ideologi antara guru dan murid melahirkan PKI.
m4ntanqv
babigila96
raliakbarrr
raliakbarrr dan 64 lainnya memberi reputasi
61
10.6K
96
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Sejarah & Xenology
Sejarah & XenologyKASKUS Official
6.5KThread10.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.