Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

NegaraTerbaruAvatar border
TS
NegaraTerbaru
Gigit Koruptor Anggaran Covid-19 yang Paksa Metode Rapid Test
Spoiler for Metode Rapid Test:


Spoiler for Video:


Ternyata ada saja oknum-oknum tertentu yang bisa saja memanfaatkan pandemi COVID-19 untuk memperkaya diri sendiri. Hal itu diungkapkan Presiden Jokowi dalam sambutannya pada peresmian Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Pemerintah Tahun 2020, 15 Juni lalu. Oleh karena itu, ia meminta aparat penegak hukum bekerja ekstra mengantisipasi niat jahat segelintir oknum tersebut. Jika ada yang membandel harus digigit dengan keras. Apalagi alokasi anggaran percepatan penanganan corona dan pemulihan ekonomi nasional meningkat dari Rp 677,2 triliun menjadi Rp 686,2 triliun.

Presiden Jokowi mengingatkan penggunaan anggaran harus tepat sasaran sehingga memberikan output dan outcome yang maksimal kepada kehidupan masyarakat. Itulah mengapa Presiden menginginkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), inspektorat, dan Lembaga Kebiajakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP) ikut andil dengan memperbaiki tata kelola penggunaan anggaran yang berkosentrasi pada upaya pencegahan korupsi.

Sumber : Kompas[Saat Jokowi Minta Koruptor Anggaran Covid-19 Digigit Keras]

Sungguh besar alokasi dana untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional. Wajar kiranya ketika presiden mengkhawatirkan adanya penyelewengan yang berpotensi merugikan negara dan rakyat. Tapi sepertinya kita semua telah merugi dengan kehadiran Rapid Test yang sebenarnya hanya merupakan pemubaziran, tidak berefek apa-apa, namun menambah panjang daftar ODP dan PDP corona. Sebab apabila rapid test seseorang reaktif, maka bukan berarti ia positif ataupun negatif Covid-19. Begitu pula sebaliknya, apabila rapid test tidak reaktif, bukan berarti seorang individu negatif corona. Sehingga apa gunanya pengadaan Rapid Test massal?

Rapid Test justru memperkeruh suasana dan menjadi salah satu pemicu makin tak percayanya masyarakat dengan pandemi Covid-19 beserta penanganannya. Tengok saja dalam kasus warga Desa Srimukti yang menjemput paksa jenazah PDP Covid-19 di RS Mekarsari, Bekasi Timur, 8 Juni lalu.

Menurut pihak keluarga melalui Kades Srimukti, Sadam Rinta, almarhum telah beberapa kali melakukan rapid test, namun hasilnya negatif. Hasil yang negatif menjadi alasan warga menolak pemakaman jenazah dengan protokol kesehatan dan mengambil jenazah secara paksa dari rumah sakit.

Sumber : Okezone [Alasan Warga Jemput Paksa Jenazah di Bekasi, Berawal dari Rapid Test Negatif]

Resistensi warga terkait protokol kesehatan corona tak hanya soal ketidakakuratan, namun tentang persoalan yang selanjutnya mengikuti sesudah diadakannya Rapid Test. Sebab secara protokol, mereka yang raktif Rapid Test secara otomatis akan mendapatkan label ODP dan harus menjalani karantina. Hal itu pula yang menyebabkan beberapa penolakan Rapid Test di beberapa daerah di Indonesia bahkan menolak pemakaman jenazah dengan protokol kesehatan.

Seperti yang terjadi di Kabupaten Kediri pada 8 Juni 2020 lalu. Sekitar 300 warga sempat menolak rapid test secara massal. Mereka mengaku sehat dan telah melewati masa isolasi mandiri selama 14 hari. Warga khawatir apabila hasil rapid test reaktif maka mereka harus kembali menjalani isolasi mandiri.

Bahkan di Pamekasan, Madura, masyarakat di suatu kecamatan menolak pemakaman dengan protokol Covid-19. Warga bahkan sempat mengancam akan membakar ambulans jika pemakaman dilakukan. Warga beralasan tak ingin wilayah Pamekasan yang berada dalam zona hijau menjadi zona merah. Alhasil pemakaman selanjutnya dimakamkan tanpa protokol Covid-19.

Sumber : Detik [Ratusan Warga di Kediri Unjuk Rasa Tolak Rapid Test]
Sumber : Detik [Ambulans Diancam Dibakar, Jenazah COVID-19 Dimakamkan Tanpa Protokol Corona]

Harus diingat, penerapan PSBB selama ini juga makin meningkatkan pemahaman masyarakat tentang fasilitas kesehatan dan penanganan Covid-19. Maka wajar pula banyak warga yang resisten ketika Rapid Test tetap dilakukan meski telah terbukti tidak menghasilkan kesimpulan apa-apa. Wajar kiranya ketika penerapan Rapid Test terus dilakukan, masyarakat makin tak mempercayai pemerintah.

Sia-sia namun massif dan menambah daftar panjang PDP serta ODP, itulah Rapid Test. Bahkan Menkes Terawan sempat beberapa kali menolak pengadaan Rapid test. Menurut dr. Terawan, Rapid Test bukanlah standar WHO dan hanya dapat digunakan sebagai penyelidikan awal. Itulah mengapa pada saat Menteri BUMN Erick Thohir menyatakan siap memesan 500.000 alat rapid test dari China melalui PT Rajawali Nusantara Indonesia, Menkes Terawan beberapa kali menolak penandatanganan pengadaaannya. 

Sumber : Bisnis [Jokowi Minta Rapid Test, Menkes Terawan Sebut Bukan Standar WHO]
Sumber: Tribunnews Kaltim [Menkes Terawan Tak Kunjung Izinkan Jajaran Erick Thohir Beli Rapid Test Canggih dari China, Ada Apa?]

Sesuai protokol Covid-19, hasil Reaktif Rapid Test, menjadi salah satu rujukan seseorang dimasukkan dalam klasifikasi ODP maupun PDP. Oleh karena itu, tingginya Angka PDP dan ODP, menjadi celah untuk melakukan korupsi berupa penimbunan alkes melalui Pengajuan Pengadaan. Patut dicurigai, pihak yang saat ini terus mempertahankan penggunaan Metode Rapid Test Massal (yang mana gagal mendeteksi Covid-19), adalah pihak yang berkepentingan untuk menyediakan celah korupsi pengadaan alkes.
Diubah oleh NegaraTerbaru 18-06-2020 06:37
kelvinlutfi
putrateratai.7
suryanaasep
suryanaasep dan 2 lainnya memberi reputasi
3
1.4K
12
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
923.3KThread84KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.