wawanbjmAvatar border
TS
wawanbjm
Memahami Estimasi Waktu yang Dibutuhkan untuk Membuat Vaksin COVID-19
Perlombaan membuat vaksin untuk COVID-19 terus berlanjut dan kabarnya, beberapa perusahaan farmasi ternama memastikan telah memiliki progres lebih cepat dari fase pembuatan vaksin pada umumnya. Beberapa negara besar – sekaligus dengan kasus positif COVID-19 terbanyak di dunia, seperti Amerika Serikat, Cina, Prancis, dan juga Jerman telah mengawali perlombaan pembuatan vaksin. 

Tak hanya negara-negara besar, Indonesia juga turut mengikuti lomba membuat vaksin. Presiden Joko Widodo mempercayakan tugas untuk membuat vaksin kepada Lembaga Eijkman segera setelah kasus pertama dan kedua COVID-19 diumumkan pada Maret lalu. “Kami yakin bisa membuat vaksin [COVID-19],” Amin Soebandrio, Kepala Lembaga Biologi Molekuler Eijkman mengatakan pada Tirto (24/04/2020). Soebandrio dalam keterangannya di Tirto juga menyatakan bahwa tim Eijkman masih memiliki waktu sampai 12 bulan ke depan untuk membuat vaksin.

Namun demikian, 12 bulan merupakan waktu yang sangat ambisius sekaligus terlampau optimis untuk mengembangkan sebuah vaksin. Bukan untuk mengatakan bahwa pengembangan vaksin selama 12 bulan di tangan yang tepat itu mustahil, tapi memang sejatinya pembuatan dan pengembangan sebuah vaksin tak sepenuhnya juga sesederhana dan secepat itu. Rekor tercepat dalam pembuatan vaksin setidaknya adalah empat tahun (virus ebola), dan sebuah rahasia umum di bidang tersebut bahwa pengembangan vaksin diukur dengan tahun, bukan bulan.


Yang menjadi pertanyaan adalah apakah misi pembuatan dan pengembangan vaksin selama 12 bulan ini akan berhasil? 

Terdapat dua masalah yang perlu mendapat sorotan ketika membicarakan langkah ambisius untuk menciptakan vaksin dalam 12 bulan. 
Pertama, masih belum jelasnya apakah vaksin sendiri ini bisa dikembangkan atau tidak. COVID-19 merupakan penyakit baru yang masih menyimpan berbagai misteri ,
Kedua. Waktu merupakan komponen penting yang diperlukan dalam penelitian terkait vaksin. Peneliti membutuhkan waktu bertahun-tahun tidak hanya untuk memastikan bahwa sebuah vaksin efektif, tapi yang lebih penting adalah untuk mengetahui apakah vaksin yang dikembangkan bersifat aman untuk digunakan. Unsur keamanan ini menjadi penting karena efek samping bisa saja muncul berminggu-minggu atau berbulan-bulan setelah vaksin diberikan. 

Berapa lama waktu pembuatan dan pengembangan vaksin?

Untuk memahami mengapa waktu yang dibutuhkan sangat lama, mari kita bahas fase-fase proses pembuatan dan pengembangan sebuah vaksin. 

Pertama adalah fase eksplorasi menggunakan riset akademik. Seperti yang telah kita sebutkan, penelitian terkait COVID-19 telah melaju begitu cepat. Namun, kecepatan ini sendiri sebenarnya bisa dikatakan berbahaya karena dalam sains, kecepatan tidaklah begitu penting dibandingkan keandalan sebuah penelitian
 fase ke-dua. Tahapan pre-clinical merupakan sebuah uji menggunakan kultur jaringan atau kultur sel dan uji pada binatang untuk mengukur unsur keamanan dan keselamatan (safety) dari sebuah kandidat vaksin sebelum akhirnya dilakukan uji coba pada manusia.
Banyak kandidat vaksin yang tidak melampaui tahap ini karena gagal menghasilkan respons imun yang diinginkan. Tahap pre-clinical ini seringnya berlangsung satu hingga dua tahunan.
Fase selanjutnya adalah tahap uji klinis dengan subjek manusia. Fase ini, seperti yang telah disebutkan, memiliki tiga tahapan yang biasanya disebut: uji klinis tahap pertama, uji klinis tahap kedua, dan uji klinis tahap ketiga. Masing-masing tahap tersebut memiliki sebuah jalur dan tujuan yang berbeda. Agar mudah memahami perbedaan dari tiga tahap ini (walaupun juga akan dijelaskan selanjutnya), apa yang membedakan tiga tahapan ini secara umum adalah jumlah subjek atau partisipan yang ikut serta dalam studi. Tahap pertama mungkin hanya melibatkan puluhan orang, tahap kedua melibatkan ratusan orang, dan tahap ketiga melibatkan ribuan orang.

Jika semua langkah baik fase uji dan penelitian di atas berjalan lancar, langkah selanjutnya adalah fase produksi vaksin. Perusahaan yang bergerak dalam pengembangan vaksin ini harus mulai memproduksi jutaan – bahkan miliaran – dosis vaksin. Setiap tahunnya, jutaan dosis vaksin untuk gondong, campak dan penyakit lainnya selalu dibuat. Bayangkan produksi yang sama ditambah kebutuhan vaksin untuk COVID-19. Ini tentu akan membutuhkan baik tenaga dan biaya produksi yang besar

Pembuatan pabrik vaksin juga tidak boleh sembaranganpabrik-pabrik itu harus mengikuti pedoman ketat yang mengatur fasilitas biologis dan biasanya membutuhkan waktu sekitar lima tahun untuk membangunnya. Biayanya, setidaknya tiga kali lebih banyak dibandingkan daripada pembuatan pabrik farmasi konvensional.
Selain proses manufaktur, sebuah kandidat vaksin juga harus melalui apa yang disebut CDC (Centers for Disease Control and Prevention) sebagai proses persetujuan produk vaksin.

Fase terakhir adalah distribusi. Sayangnya, kawan. Hal ini bukan berarti tantangan pengembangan sebuah vaksin sudah berakhir. Bayangkan jika sebuah vaksin untuk COVID-19 benar ditemukan, siapa yang akan membutuhkannya? Seluruh dunia. Terlebih lagi, siapa yang harus dan idealnya harus mendapatkan suntikan vaksin terlebih dahulu? Apakah vaksin akan diberikan kepada orang yang termasuk dalam karakteristik rentan terhadap SARS-CoV-2 saja atau untuk seluruh populasi?  
Dengan kecepatan riset saat ini didukung dengan temuan terkait dalam riset virus Corona sebelumnya, percepatan pada langkah penelitian akademis mungkin saja dapat dilakukan. Sampai hari ini (26/05/2020) terbukti bahwa sebanyak 113 vaksin sudah masuk daftar pengembangan yang salah satu di antaranya adalah mRNA-1273.

Selanjutnya, cara untuk memangkas waktu proses uji klinis yang memiliki tiga tahapan adalah dengan menggabungkan beberapa tahap dan menguji vaksin pada lebih banyak orang tanpa menunggu terlalu lama. Namun tentu saja, terdapat risiko yang besar di balik itu. Tanpa hasil pembuktian berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun memungkinkan tidak cukupnya bukti bahwa vaksin akan bekerja seperti yang dijanjikan.


Namun demikian, percepatan untuk membuat vaksin ini memang perlu diperhitungkan matang-matang. Realita sekarang sangat memprihatinkan. Selain telah merenggut nyawa ratusan ribu orang, COVID-19 juga telah merenggut mata pencaharian banyak orang, menutup sektor pendidikan, dan juga menyebabkan kebanyakan orang mengalami kecemasan ketika memikirkan pandemi ini. Percepatan untuk membuat vaksin mungkin membawa suatu bahaya, namun membiarkan bumi terjebak dalam situasi yang tak pasti seperti hari ini juga membawa risiko dan bahaya lainnya. Bahaya dari kelumpuhan sektor ekonomi adalah salah satu yang paling banyak dibicarakan. 

Adakah harapan alternatif selain vaksin?

 HIV adalah contoh yang bagus untuk kasus ini. Setelah berpogres selama 40 tahun, vaksin HIV setidaknya telah mengalami beberapa uji klinis tahap ketiga yang salah satu hasilnya bahkan memperburuk atau memperparah penyakit itu dan yang lainnya hanya memiliki tingkat keberhasilan 30 persen. Belum lama ini, sebuah uji coba vaksin HIV di Afrika Selatan yang melibatkan 104 juta dolar terpaksa dihentikan karena vaksin tersebut terbukti tak menunjukkan efikasi. Para ahli bahkan mengatakan bahwa mereka tidak bisa memastikan akan ada vaksin HIV hingga 2030 atau bahkan bisa lebih lama.

Namun kisah HIV yang menyedihkan ini juga membawa sebuah pelajaran bahwa, umat manusia tidak harus bergantung pada vaksin untuk keluar dari situasi sulit ini. Terdapat langkah alternatif yang bisa digunakan. HIV, sekali lagi, adalah buktinya. Peneliti dalam bidang terkait telah mengembangkan suatu obat antivirus yang menurunkan angka kematian dan meningkatkan kesehatan bagi orang dengan AIDS. Obat terapi antiretroviral (antiretroviral therapy, ART) merupakan cara memerangi HIV tanpa vaksin. ART berperan penting dalam kemajuan umat manusia melawan HIV/AIDS – yang memungkinkan orang dengan HIV hidup lebih lama dan mencegah infeksi HIV baru. 


Seperti juga yang telah kita ketahui, selain perawatan, terdapat intervensi kesehatan publik yang dapat membantu mengontrol virus Corona tanpa vaksin; testing dan contact tracing. Korea Selatan adalah contoh yang sangat baik dalam penerapan dua hal ini. Mereka secara masif melakukan tes dan penelusuran untuk mengisolasi orang-orang yang terinfeksi, mengkarantina kontak yang terhubung dengan orang positif, dan menerapkan pembatasan sosial atau fisik yang diperlukan oleh masyarakat. Langkah-langkah ini walau sebenarnya tidak secara langsung dapat mengembalikan kehidupan normal, tapi setidaknya dapat turut serta menekan angka penyebaran – menekan kurva.

Obat non-vaksin dan intervensi publik memang bukanlah senjata terampuh kita untuk mengalahkan SARS-CoV-2 – karena klaim itu masih milik vaksin – tapi setidaknya kedua hal tersebut jika diterapkan secara bersamaan dengan prosedur yang dikontrol, kehidupan mungkin akan kembali normal seperti sediakala sebelum pandemi ini melanda. Bahkan tanpa harus menunggu lama untuk vaksin

sumber : https://kumparan.com/melysantoso/mem...SqhLtZko6/full
Diubah oleh wawanbjm 27-05-2020 06:07
Zhendong.Wanmei
chestify
chestify dan Zhendong.Wanmei memberi reputasi
0
700
5
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
670KThread40.3KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.