Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

perojolan13Avatar border
TS
perojolan13
Bank Jangkar & Bukti Ketakutan BI akan Century Jilid II?
Bank Jangkar & Bukti Ketakutan BI akan Century Jilid II?


Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memperkenalkan mekanisme bantuan likuiditas bernama bank anchor (bank jangkar) atau dalam aturan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun disebut dengan Bank Peserta. Bank-bank ini akan menjadi penyedia likuiditas bagi bank-bank yang mengalami masalah likuiditas akibat COVID-19.

Bank jangkar akan menjadi bank yang menerima penempatan dana dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Ini akan dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).

Mekanisme bantuan likuiditas ini akan didapatkan bank pelaksana dengan menggadaikan kreditnya kepada bank jangkar. Hal ini dilakukan jika bank tersebut sudah mentok dari sisi likuiditas dan kondisinya sudah tak memungkinkan lagi melakukan gadai atau repo SBN (surat berharga negara) yang dimilikinya kepada BI.

Hal ini justru menimbulkan banyak perdebatan. Padahal Bank Sentral memiliki kekuatan dalam urusan likuiditas dan sebagai lender of last resort.

Adalah instrumen makroprudensial bernama Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP). Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek (PLJP) adalah pinjaman dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang dialami oleh Bank.

PLJP untuk bank konvensional. Adapula untuk bank syariah. Pembiayaan Likuiditas Jangka Pendek Syariah (PLJPS) adalah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah dari Bank Indonesia kepada Bank untuk mengatasi Kesulitan Likuiditas Jangka Pendek yang di alami oleh Bank.

"Kesulitan likuiditas jangka pendek adalah keadaan yang dialami Bank yang disebabkan oleh terjadinya arus dana masuk yang lebih kecil dibandingkan dengan arus dana keluar dalam rupiah yang dapat membuat Bank tidak dapat memenuhi kewajiban GWM," tulis BI dalam keterangan resminya seperti dikutip Senin (18/5/2020).

Aturan tersebut tertuang dalam :

PBI No. 20/16/PBI/2018 tanggal 21 Desember 2018 tentang Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 19/3/PBI/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional.


PADG No. 21/1/PADG/2019 tanggal 17 Januari 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Anggota Dewan Gubernur Nomor 19/6/PADG/2017 tentang Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek bagi Bank Umum Konvensional.

Kok Nggak Mau Dipakai?
Bankir Senior dan Eks Praktisi Kebanksentralan kepada CNBC Indonesia melontarkan sebuah pertanyaan menarik sekaligus jawaban yang menyentil.

"Kenapa kok BI tak buka kran likuiditas dengan jaminan kredit lancar kepada bank yang solvent? Ini namanya PLJP. Yaitu setelah semua jaminan dalam bentuk SBN dipakai untuk mendapatkan Term Repo dari BI," ujar bankir senior tersebut.

"Jawabannya adalah trauma FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek) tahun 1998 dan tahun 2008. Beginilah realitas negeri kita, semua pejabat takut kepada audit BPK, sehingga tak berani menjalankan kewenangannya terkait PLJP walaupun sudah ada perlindungan hukum," tegasnya.

Ekonom Samuel Sekuritas, Ahmad Mikail mengatakan Bank Indonesia (BI) selaku bank sentral seharusnya menjadi penyangga likuiditas bank-bank kecil yang terdampak COVID-19.

"Banyak faktornya, saya gatau kenapa Bank Indonesia ngga masuk untuk menyediakan likuiditas saja untuk semua bank. Kan harusnya bank sentral. Seharusnya aset back sekuritis ini direpokan oleh Bank Indonesia aja dengan term repo (repurchase agreement). Jadi ga perlu ada bank peserta (bank jangkar)," kata Mikail.

Menurutnya, pembentukan bank jangkar akan meningkatkan risiko kredit bermasalah (non-performing loan/NPL). Hal ini menjadi sentimen negatif bagi pasar.

Pasalnya, investor khawatir siapa yang nantinya akan menjamin risiko kredit dari penempatan likuiditas ke bank pelaksana oleh bank jangkar. Apalagi, jika terjadi under perform.

"Mungkin kalau market mau positif melihatnya, yang menanggung resiko dari kredit back sekuritis ini yang akan direpokan oleh bank-bank kecil ini, sebaiknya bank Indonesia yang pegang selaku bank sentral," ujarnya.

Dia memberi contoh. Misalnya bank kecil buku I/ buku II meminjamkan ke UMKM terus UMKM tidak bisa membayar karena COVID-19.

"UMKM ini kan dibungkus dalam aset back securities dalam kredit UMKM tadi. Nah kalau bank-bank ini kesulitan likuiditas karena ga punya likuiditas karena under perform kreditnya bisa dibungkus aset yang under perform itu, terus direpokan ke Bank Indonesia. Lalu Bank Indonesia beli dengan menambah likuiditas, entah menurunkan GWM atau BI gunakan cadangan devisanya untuk menyerap aset back sekurities ini," katanya.

link


"Kenapa kok BI tak buka kran likuiditas dengan jaminan kredit lancar kepada bank yang solvent? Ini namanya PLJP. Yaitu setelah semua jaminan dalam bentuk SBN dipakai untuk mendapatkan Term Repo dari BI," ujar bankir senior tersebut.

"Jawabannya adalah trauma FPJP (Fasilitas Pinjaman Jangka Pendek) tahun 1998 dan tahun 2008. Beginilah realitas negeri kita, semua pejabat takut kepada audit BPK, sehingga tak berani menjalankan kewenangannya terkait PLJP walaupun sudah ada perlindungan hukum," tegasnya.
nomorelies
atmajazone
eksspy
eksspy dan 4 lainnya memberi reputasi
5
960
6
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
672.2KThread41.9KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.