Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

gta007Avatar border
TS
gta007
Gelombang Kedua COVID-19 di IndonesiaVirus Corona Ratusan Kali Bermutasi
Pemerintah Indonesia diminta berhati-hati sebelum memutuskan melonggarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Gelombang Kedua COVID-19 di IndonesiaVirus Corona Ratusan Kali Bermutasi
Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, Puan Maharani, menyatakan alasan masih fluktuatifnya data dan angka perkembangan pasien positif COVID-19, selain juga minimnya tes massal di Indonesia  bisa picu gelombang kedua COVID-19.

Puan bukannya skeptis karena jika dilihat dari spektrum lebih luas lagi memang banyak kalangan dan pakar kesehatan di dunia menginginkan tak buru-buru merelaksasi aturan pembatasan dalam membendung penyebaran virus corona penyebab penyakit COVID-19 itu.
Mengapa demikian? Karena ada bukti yang muncul kemudian bahwa pandemi balik lagi bahkan saat grafik infeksi penyakit ini melandai.

Tanpa vaksin dan kekebalan skala luas, wabah muncul kembali. Inilah konsensus di kalangan pakar-pakar kesehatan di dunia.

Apa yang terjadi di Singapura, Korea Selatan dan Tiongkok  menunjukkan dunia belum bisa berpuas diri dengan cepat menyatakan virus terjinakkan hanya karena melihat grafik melandai, apalagi masih fluktuatif seperti di Indonesia di mana aturan pencegahan penularan penyakit ini disebut-sebut sangat longgar.

Di Singapura dan Korea Selatan, sebagian besar kasus baru ini muncul dari penular yang tak terdata atau terjangkau tes, padahal tes COVID-19 di dua negara itu jauh lebih masif dibandingkan dengan Indonesia.

Fakta seperti ini membuat sejumlah pemimpin dunia tak mau gegabah merelaksasi pembatasan bergerak rakyatnya. Salah satunya Perdana Menteri Inggris Boris Johnson yang nyawanya nyaris direnggut COVID-19 yang Minggu pekan lalu mengisyaratkan tak mau cepat-cepat merelaksasi lockdown.

Virus ini sama sekali belum ditundukkan, sebaliknya lockdown dan sejenisnya, termasuk Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), tak menciptakan imunitas massal yang menjadi satu-satunya intervensi oleh manusia yang paling ampuh dalam menghentikan pandemi.

Para pakar khawatir jika saat ini terlalu cepat dilonggarkan, maka manusia tak diingatkan untuk terus waspada sampai vaksin tersedia di rumah sakit.

Berulang kali pakar-pakar kesehatan, termasuk di Indonesia, mengungkapkan kekhawatiran bahwa relaksasi membuat manusia lengah menghadapi masa yang diprediksi lebih mengerikan ketika dunia memasuki musim gugur dan musim dingin kembali.Inilah masa ketika terjadi apa yang disebut gelombang kedua serangan virus.

Bahkan sejumlah negara yang berhasil mengendalikan COVID-19 dengan lockdown sangat keras seperti Australia dan Selandia Baru pun sudah bersiap menghadapinya.
Ini karena, mengutip Direktur Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC) Robert Redfield, gelombang kedua akan jauh lebih berbahaya dan lebih sulit dihadapi ketimbang yang saat ini terjadi.

Mengapa begitu? Karena gelombang kedua berbarengan dengan musim flu di seluruh dunia.

Quote:


Dari catatan masa yang sudah lewat, para ilmuwan yakin bakal ada gelombang kedua yang mungkin terjadi setelah musim panas atau musim kemarau tahun ini.

Oleh karena itu, cepat-cepat menganggap lockdown dan pembatasan sosial efektif menurunkan laju infeksi dan kematian terkait COVID-19 untuk kemudian menyimpulkan virus telah sirna, adalah asumsi yang gegabah.

Quote:


Sampai adanya vaksin, orang semestinya bisa mengendalikan keinginan untuk segera mengendurkan aturan jaga jarak sosial atau membiarkan kerumunan-kerumunan manusia tercipta.

Untuk itu relaksasi yang nantinya menjadi pintu bagi terciptanya kerumunan manusia ketika carrier-carrier tak terdeteksi juga masuk kerumunan, adalah sama saja dengan memicu gelombang baru serangan virus corona yang bisa jadi lebih berbahaya.

198 kali

Tanpa disiplin berjaga jarak sosial dan tes COVID-19 yang berkualitas, mengendurkan pembatasan hanya akan meningkatkan risiko terpaparnya mereka yang tak memiliki imunitas dari mereka yang sudah terinfeksi, khususnya yang tidak menunjukkan gejala.

Negara memang tak bisa terus menerapkan pembatasan terlalu lama karena ongkos ekonomi dan sosial-politiknya teramat mahal.
Quote:


Di beberapa tempat dengan temperatur lebih lembab dan panas seperti sebagian besar Asia Tenggara termasuk Indonesia, virus sepertinya memang mengendur fatalitasnya.

Tetapi itu tak boleh membuat manusia lengah, apalagi beberapa penelitian termutakhir menunjukkan virus corona baru atau SARS-CoV-2 ini terus bermutasi untuk menyesuaikan diri dengan inangnya, entah di daerah tropis ataupun subtropis.
Gelombang Kedua COVID-19 di IndonesiaVirus Corona Ratusan Kali Bermutasi
Penelitian UCL Genetics Institute yang diterbitkan jurnal Infection, Genetics and Evolution, menyebutkan bahwa berdasarkan analisis genom virus SARS-CoV-2 dari sekitar 7.500 pasien terinfeksi virus ini di seluruh dunia muncul 198 mutasi lebih dari satu kali yang menunjukkan virus corona baru ini terus beradaptasi.

Bahkan petunjuk ini bisa menciptakan tantangan baru dalam mencari obat dan vaksin yang efektif juga terhadap virus yang sudah bermutasi, sampai-sampai Ballox mengatakan "Kita perlu mengembangkan obat dan vaksin yang tak mudah dikelabui virus ini."

Ujungnya, pembatasan sosial apapun tak bisa dilonggarkan secara drastis ketika belum terbentuk kebiasaan-kebiasaan mulai dari mengadakan tes massal sampai tercipta kesadaran karantina mandiri ketika positif terjangkit, dan sebelum protokol kesehatan konsisten diterapkan secara ketat oleh pihak berwenang.

Urvish Patel di New York itu, seperti juga banyak dokter di Indonesia, menyatakan perlu adanya kebiasaan berjaga-jaga di mana pun, misalnya membiasakan kantor-kantor, pabrik-pabrik dan sejenisnya reguler melakukan uji medis dan skrining karyawan.
Gelombang Kedua COVID-19 di IndonesiaVirus Corona Ratusan Kali Bermutasi
Selain itu, sampai kebiasaan seperti itu terbentuk, masyarakat harus terus diingatkan bahwa saat berada di tempat umum mereka harus membiasakan diri cuci tangan, tak menyentuh wajah, membersihkan permukaan apapun yang disentuhnya dan mengenakan masker serta sarung tangan, selain tetap mempraktikkan jaga jarak sosial.

Pemeriksaan orang-orang tak bergejala juga harus intensif, khususnya demi melindungi dokter, perawat dan pekerja kesehatan lainnya terinfeksi virus ini, karena mereka adalah kekuatan garis depan yang bisa mencegah penyakit ini merenggut nyawa manusia.

Lebih dalam lagi, perlu memperkuat sistem rumah sakit dalam memperlakukan pasien tanpa gejala, guna memastikan tingkat kematian tetap minimal dan wabah tetap bisa dikendalikan, sampai obat atau vaksin tersedia untuk semua orang.


Quote:




fiaperm
alizazet
sarkaje
sarkaje dan 26 lainnya memberi reputasi
27
2.5K
41
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita dan Politik
Berita dan PolitikKASKUS Official
671.8KThread41.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.